Seorang anak terlahir tanpa bakat sama sekali di dunia yang keras, di mana kekuatan dan kemampuan ilmu kanuragan menjadi tolak ukurnya.
Siapa sangka takdir berbicara lain, dia menemukan sebuah kitab kuno dan bertemu dengan gurunya ketika terjatuh ke dalam sebuah jurang yang dalam dan terkenal angker di saat dia meninggalkan desanya yang sedang terjadi perampokan dan membuat kedua orang tuanya terbunuh.
Sebelum Moksa, sang guru memberinya tugas untuk mengumpulkan 4 pusaka dan juga mencari Pedang Api yang merupakan pusaka terkuat di belahan bumi manapun. Dialah sang terpilih yang akan menjadi penerus Pendekar Dewa Api selanjutnya untuk memberikan kedamaian di bumi Mampukah Ranubaya membalaskan dendamnya dan juga memenuhi tugas yang diberikan gurunya? apakah ranu baya sanggup menghadapi nya semua. ikuti kisah ranu baya hanya ada di LEGENDA PENDEKAR DEWA API
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fikri Anja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 25
Namun sesaat kemudian Woto merasakan sebuah hujaman energi yang menembus punggungnya hingga tembus dada.
"Jurus yang aneh!" Seketika Woto muntah darah dan ambruk ke tanah dengan mata terbelalak lebar. Nyawanya telah terlepas dari raga.
Tewas sudah sepasang pendekar yang berjuluk ular beracun.
Melihat lawanya sudah mati, Ranu meloncat tinngi sambil mengepalkan tangannya.
"Yeeeey... berhasil!" teriaknya kegirangan karena bisa memodifikasi jurus Pukulan Tanpo Wujud dengan menggunakan pedang.
Seusai mengekspresikan kemenangannya, Ranu menatap dua jasad pendekar aliran hitam yang sudah dibunuhnya. "Kalau kalian tidak memilih jalan yang salah, kalian pasti saat ini masih hidup," ucapnya pelan.
Dia lalu melangkah sambil menatap dengan tajam mengawasi ke sekeliling agar tidak bertemu dengan pendekar aliran hitam yang lain. Badannya sudah terlalu lelah jika harus bertarung lagi. Dia ingin segera kembali ke penginapan dan istirahat dengan tenang.
Ranu teringat harus membelikan makanan untuk Resi Winara dan Dewi, juga untuknya sendiri yang sudah kelaparan. Terlebih baru saja dia menjalani pertarungan panjang yang jelas menguras tenaganya
Seusai kembali masuk ke dalam desa, Ranu berbelok masuk ke dalam sebuah kedai makan dan membungkus tiga porsi makanan. Sambil menunggu selesainya makanan yang dipesan, pendekar muda itu duduk di sebuah kursi yang menghadap ke jalan. Sengaja dia memilih kursi tersebut agar sekalian bisa mengawasi jalanan,andaikata dua pendekar aliran hitam yang tersisa melewati kedai makan tersebut.
"Ini makanannya sudah selesai, Nak," ucap pemilik warung makan mengagetkan Ranu yang fokus melihat ke jalanan.
Ranu merogoh kantongnya memberikan sejumlah koin perunggu kepada lelali setengah baya pemilik warung makan.
"Terima kasih, Paman!" Ranu meraih tiga bungkus makanan dan membawanya keluar dari warung makan tersebut.
Sekeluarnya dari tempat makan, Ranu berlari sekencang mungkin menuju penginapan dengan tatapan mata tetap tajam mengawasi situasi.
Sesampainya di penginapan, Ranu langsung masuk ke kamarnya dan memberikan makanan yang dibawanya kepada Resi Winara dan Dewi. Mereka bertiga pun makan dengan lahapnya karena perut sudah benar-benar keroncongan.
"Kakek, tadi aku sudah membunuh Sepasang Ular Beracun di luar desa. Mereka ternyata masih di sini mencari kita. Sebaiknya kita tunggu sampai besok saja jika mau keluar dari penginapan ini!"
"Benar, Ranu. Dewi harus benar-benar dijaga agar jangan sampai tertangkap oleh mereka," balas Resi Winara.
"Baiklah, Kek. Aku mau istirahat dulu. Badanku sangat lelah sekali setelah pertarungan tadi," ucap Ranu lalu merebahkan tubuhnya.
Tak berselang lama, pemuda itu kemudian bangkit lagi dan menggapai pedang yang tidak jauh darinya. Pikirannya masih terfokus pada jurus Pedang Tanpo Wujud yang tadi dia pakai. Jika memakai Pedang Segoro Geni, pasti dampaknya akan lebih mengerikan, pikirnya.
Tak terasa, karena saking lelahnya, Ranu tertidur sambil tetap dengan memegang pedangnya sampai pagi menjelang.
***
Paginya, Ranu sudah bersiap untuk membawa Dewi ke gunung Arjuno. Sebelum berangkat, dia keluar dari penginapan dahulu untuk melihat keadaan. Setelah dirasanya aman, dia lalu kembali ke dalam penginapan dan menggendong Dewi di punggungnya.
"Kakek, kita berpisah di sini. Setelah mengantarkan Dewi, aku akan meneruskan misiku mencari tiga pusaka lainnya."
"Hati-hati, Ranu. Jaga Dewi baik-baik, bahkan kalau perlu dengan nyawamu. Anak ini bisa menjadi sumber kebaikan maupun keburukan di muka bumi ini!"
Ranu mengangguk dengan pasti. Setelahnya dia berjalan keluar dari penginapan tersebut dan kemudian berlari untuk bisa segera keluar dari desa.
Resi Winara memandang kepergian Ranu dengan sebuah harapan tinggi, bahwa pemuda tersebut kelak akan menjadi pendekar besar yang berbudi luhur tinggi.
Setelah bayangan Ranu menghilang di luar batas desa, Resi Winara kemudian melangkahkan kakinya untuk mengikuti kata hati yang bakal menuntunnya entah kemana.
"Bagaimana bisa mereka mati? Siapa yang telah membunuh mereka berdua?" tanya Datuk Sesat, ketika salah seorang anak buahnya menemuinya di salah satu penginapan.
"Menurut informasi yang aku terima, ada seorang penduduk desa ini yang melihat Woto bertarung dengan seorang pemuda. saat itu Marni sudah mati."
"Apa mungkin pemuda yang kemarin bisa mengalahkan Sepasang Ular beracun?" Datuk Sesat bertanya-tanya dalam hati.
Pendekar bertubuh pendek itu berpikir dan menganalisa kekuatan pemuda yang telah menyelamatkan Resi Winara dan gadis kecil itu.
Jika memang pemuda tersebut yang mengalahkan Sepasang Ular Beracun, tentunya kekuatan pemuda tersebut lebih tinggi darinya.
Sebab jika dia sendirian bertarung melawan Sepasang Ular Beracun, belum tentu dia akan bisa menang.
"Sebaiknya kita hentikan pencarian ini, dari pada nyawa kita yang jadi taruhannya!"
"Baik, Ketua!"
"Saat ini kita tidak akan bisa mengalahkan pemuda itu. Beritahu teman-temanmu, kita pergi dari sini sekarang!"
Empat orang pendekar aliran hitam itu pun keluar dari penginapan. Mereka sudah tidak berhasrat untuk mencari gadis kecil yang mempunyai tubuh murni dari pada harus berjudi kehilangan nyawa.
Sementara itu Ranu terus berlari dengan ajian Saipi Angin agar bisa menghindari dua orang pendekar aliran hitam yang berada di desa. Dia merasa memiliki tanggung jawab yang besar untuk mengantarkan gadis kecil tersebut hingga sampai di kuil keabadian yang berada di puncak gunung Arjuno.
Setelah sampai di desa berikutnya, Ranu berjalan pelan seperti biasa sambil melihat sekeliling untuk mencari orang-orang yang kehidupannya kurang beruntung.
Tatapan matanya kemudian tertuju kepada seorang anak kecil yang mengemis di pinggir jalan. Bajunya lusuh dan tubuhnya penuh kotoran seperti sudah lama tidak mandi. Ranu mendekati Pengemis kecil tersebut lalu berjongkok di depannya.
"Kamu sudah makan?"Anak kecil itu hanya menggeleng dan tidak berbicara sepatah kata pun.
"Rumahmu di mana?"
Pengemis kecil itu hanya diam saja, kemudian menitikkan air mata. Ranu lalu menggaruk kepalanya yang tidak gatal karena bingung, adakah pertanyaannya yang membuat anak itu sampai bersedih.
"Ini aku beri uang, pulanglah dan berikan kepada orang tuamu!" ucap Ranu sambil menyodorkan satu koin emas.
Pengemis kecil tersebut membelalak matanya melihat koin emas yang sudah berada di telapak tangannya.
Setelah mengelus rambut pengemis kecil tersebut, Ranu kemudian melangkahkan kakinya menuju sebuah warung makan yang tidak jauh darinya. Dia berencana untuk membelikan makanan untuk pemgemis kecil tadi dan juga mengisi perutnya serta Dewi yang belum sarapan.
Baru saja dia menurunkan Dewi dari gendongannya, dia menolehkan kepalanya ketika mendengar teriakan dari belakang.
Terlihat tiga orang pria dewasa sedang tertawa terbahak-bahak di dekat pengemis kecil yang baru saja diberinya koin emas. Si pengemis kecil itu sudah tergeletak di tanah sambil memegangi perutnya.
"Paman, aku titip adikku di sini sebentar. Aku mau kesana dulu!"
"Jangan, Anak muda. Jangan mencari masalah dengan ketiga orang itu. Mereka para preman di desa ini dan tidak ada yang mau mencari masalah dengan mereka bertiga," balas pemilik warung mengingatkan Ranu.
"Paman tenang saja. Aku tidak mencari masalah dengan mereka, tapi mereka yang sudah mencari masalah denganku," jawab Ranu sambil tersenyum kecil.
"Hahaha... Dengan koin emas ini kita bisa mabuk dan mencari wanita penghibur. Kita bisa berpesta hari ini, hahaha!"
"Berpesta kepalamu korengan! Mau senang dan dapat uang itu bekerja, jangan jadi tukang palak!"
Ketiga lelaki itu sontak membalikkan badannya dan melihat seorang pemuda yang berdiri di belakang mereka sambil memainkan sebatang rumput di bibirnya.