NovelToon NovelToon
Tetangga Gilaku

Tetangga Gilaku

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Cinta Murni / Teman lama bertemu kembali / Enemy to Lovers
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Karangkuna

"Meskipun aku ditodong dengan pisau, aku tidak akan pernah mau menjadi pacarnya. Kalau begitu aku permisi."

"Apa?! Kau pikir aku bersedia? Tentu saja aku juga menolaknya. Cih! Siapa yang sudi!"

Raga heran kenapa setiap kali di hadapkan pada gadis itu selalu akan muncul perdebatan sengit. Bri jelas tak mau kalah, karena baginya sang tetangga adalah orang yang paling dibencinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karangkuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 18

Malam itu, langit tampak pekat tanpa satu pun bintang. Udara dingin menyusup melalui celah jendela, membawa kesunyian yang semakin mencekam di kompleks perumahan itu.

Bri duduk di ruang tamu, menatap layar ponselnya yang nyaris kehabisan baterai. Baru saja ia hendak menghubungi seseorang, tiba-tiba— klik!

Listrik padam.

Sekejap, seluruh ruangan terbenam dalam kegelapan total.

“Astaga! Tidak! Tidak!" Bri menjerit, lalu langsung berdiri dengan panik. "Kenapa harus sekarang?! Aku belum siap mental!"

Dengan nafas memburu, ia mencoba meraba-raba meja, berharap menemukan sesuatu yang bisa menerangi ruangan. Dalam kegelisahannya, ia justru menyenggol gelas yang berada di dekatnya.

PRAAANG!

Bri menjerit lagi. Kali ini lebih kencang.

Di rumah sebelah, Raga yang sedang membaca buku dengan tenang sontak mendongak. Begitu melihat lampu mati, ia menghela napas pelan.

"Ah, pemadaman lagi."

Namun, teriakan dari rumah sebelah membuatnya mengernyit. "Apa itu?"

Raga melirik ke luar jendela. Rumah Bri gelap gulita. Lalu, terdengar suara lain—seperti langkah tergesa-gesa dan benda jatuh lagi.

Merasa ada yang tidak beres, ia segera mengambil senter dari laci, lalu berjalan keluar rumah. Begitu tiba di depan rumah Bri, ia melihat pintu pagar sedikit terbuka.

Tanpa berpikir panjang, ia mengetuk pintu beberapa kali. "Bri? Kau baik-baik saja?" Tidak ada jawaban, hanya terdengar suara napas panik dari dalam.

Dengan waspada, Raga mencoba mendorong pintu dan ternyata tidak terkunci. Begitu ia masuk dan menyorotkan senter ke ruangan, ia menemukan Bri yang tengah berdiri di sudut ruangan, memeluk dirinya sendiri dengan wajah ketakutan.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Raga sambil menyorotkan senter ke wajah Bri.

Bri langsung memejamkan mata dan mengangkat tangan. "Tolong jangan ambil apa pun! Aku tidak punya barang berharga!"

Raga terdiam sejenak, lalu mendengus. "Apa? Kau pikir aku maling?"

Bri membuka mata dan melihat sosok Raga. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, lalu wajahnya berubah merah. "Raga?! KENAPA KAU MASUK KE SINI SEPERTI PENCURI?!"

"Aku mengetuk pintu, kau tidak menjawab. Aku kira kau pingsan atau semacamnya," balas Raga santai.

Bri mendengus kesal. "Aku baik-baik saja! Aku hanya, tidak suka gelap."

Raga menyalakan lilin yang ada di meja. Begitu cahaya mulai menerangi ruangan, ia menoleh ke arah Bri. "Jadi, kau ini takut gelap?"

Bri melipat tangan di dada. "Bukan takut, hanya tidak terbiasa!"

"Ya, ya, tentu saja," ujar Raga sambil duduk santai di sofa.

Bri menatapnya dengan kesal. "Hei! Itu sofaku! Kau tidak bisa begitu saja masuk dan bertindak seperti pemilik rumah!"

"Aku baru saja menyelamatkanmu dari kegelapan," kata Raga tenang. "Kau harusnya berterima kasih padaku."

Bri menatapnya dengan mata menyipit. "Kau menyebalkan."

"Aku tahu," jawab Raga tanpa dosa.

Bri mendesah, lalu akhirnya duduk di kursi seberang Raga. Begitu suasana mulai lebih terkendali, mereka mulai berbicara tentang kehidupan masing-masing.

"Aku merasa kesepian sejak pindah ke sini," ungkap Bri. "Dulu aku tinggal di lingkungan yang ramai, maksudku dirumah tanteku, sepupuku orangnya tidak bisa diam dan selalu menceritakan apapun. Sekarang aku sendirian hampir setiap hari."

Raga mengangguk, lalu berkata pelan, "Aku juga tahu bagaimana rasanya sendiri."

Bri menoleh. "Oh ya, di mana ayah dan ibumu?"

Raga menghela napas. "Ibuku meninggal tidak lama setelah kau pindah dari rumah ini."

Bri terdiam. "Apa? Tante Astrid? Maaf, aku tidak tahu."

"Tidak apa-apa," balas Raga. "Aku tidak sering membicarakannya." Hening menyelimuti mereka sesaat.

Kemudian, Bri bertanya, "Bagaimana hubunganmu dengan ayahmu sekarang?"

Raga menyeringai tipis. "Ya begitulah. Dia menikah lagi dan sekarang menetap di Jogja."

Bri terperangah. "Bagaiman denganmu? Apa kau menerimanya?!"

Raga mengangkat bahu. "Ya. Aku tidak bisa menyalahkannya. Tapi rasanya, aneh."

Bri mengangguk. "Aku bisa mengerti."

Raga menanggapinya. "Tante Restu orang yang baik, terkadang aku merasa bersikap berlebihan terhadapnya. Tentu saja dia selalu sabar menghadapiku."

Bri mengangguk perlahan. "Aku rasa mungkin dia merasa serba salah, dia ingin meyakinkanmu bahwa semua akan baik-baik saja namun di sisi lain dia juga menghormati batasan yang kau buat."

Raga mencoba berpikir dan ikut setuju dengan apa yang dikatakannya.

Mereka terdiam sesaat, sampai akhirnya Bri bertanya, "Ngomong-ngomong, apa yang kau lakukan biasanya, kau pekerja kantoran ya?"

"Arsitek," jawab Raga.

Bri menatapnya dengan bingung. "Serius? Kau lebih terlihat seperti seseorang yang suka menulis puisi di kedai kopi sambil menatap hujan."

Raga tertawa kecil. "Aku memang suka membaca, tapi tidak sedramatis itu. Aku bahkan tidak bisa membayangkan diriku menulis kalimat cinta dengan puitis sembari terharu mengingat kisah cinta yang mengharu biru."

Bri mendengus. "Aku pikir kau pasti orang yang kaku."

"Dan aku pikir kau orang yang terlalu emosional," balas Raga.

Mata Bri menyipit. "Kau tahu? Aku mulai menyesali percakapan ini."

Raga tersenyum santai. "Kau yang mulai duluan."

Bri mendengus kesal. "Baiklah, kalau begitu, mari kita uji logikamu yang hebat itu. Jika ada zombie menyerang sekarang, apa langkah pertamamu?"

Raga mengernyit. "Zombie? Kenapa tiba-tiba menanyakan sesuatu yang tidak masuk akal sih."

"Anggap saja ini skenario darurat," ujar Bri sambil menyilangkan tangan.

Raga berpikir sejenak. "Aku akan mencari tempat berlindung yang aman dan mengumpulkan persediaan makanan."

Bri mendecak. "Salah! Jawaban yang benar adalah menyiapkan senjata dan memeriksa apakah ada orang lain yang bisa diajak kerja sama!"

Raga menatapnya dengan datar. "Bri, ini bukan film. Dalam situasi sebenarnya, manusia akan lebih dulu kelaparan daripada mati karena zombie."

Bri melipat tangan. "Kau terlalu realistis."

"Kau terlalu banyak menonton film," balas Raga.

Perdebatan mereka terus berlanjut hingga akhirnya listrik menyala kembali.

Bri dan Raga saling bertatapan, lalu tertawa kecil.

"Sejujurnya, ini tidak biasa. Bicara seserius ini denganmu, bahkan dalam mimpi pun tidak akan terjadi," kata Bri sambil tersenyum.

"Apa itu berarti aku mungkin suatu hari nanti bisa saja ada dalam mimpimu kan? Atau jangan-jangan kau sering memimpikanku? Oh Bri! Itu tindakan tidak beradab," balas Raga.

Bri menyesali percakapan yang terjadi diantara mereka. Dengan cepat dia melempar bantal kursi ke wajah Raga. "Pergi dari rumahku!" ucapnya kesal.

"Kau bisa mengucapkan ucapan terima kasih lewat SMS. Akan kutunggu," balas Raga sambil melemparkan kerlingan nakal yang membuat kepala Bri semakin berasap.

1
Siska Amelia
okayy update kok dikit dikit
lilacz
dari segi alur dan penulisan membuat aku tertarik
lilacz
jgnn lama-lama update part selanjutnya ya thor
Karangkuna: terima kasih untuk dukungannya :)
total 1 replies
ulfa
wah genre favorit aku, dan ceritanya tentang enemy to lovers. ditunggu next part ya kak. semangat /Smile/
Karangkuna: happy reading, terima kasih sudah mampir :)
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!