Arka, detektif yang di pindah tugaskan di desa terpencil karena skandalnya, harus menyelesaikan teka-teki tentang pembunuhan berantai dan seikat mawar kuning yang di letakkan pelaku di dekat tubuh korbannya. Di bantu dengan Kirana, seorang dokter forensik yang mengungkap kematian korban. Akankah Arka dan Kirana menangkap pelaku pembunuhan berantai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faustina Maretta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jatuh cinta
Di ruang interogasi, Andri duduk dengan tangan gemetar, sesekali mengusap wajahnya yang basah oleh keringat. Arka berdiri di depannya dengan buku catatan terbuka, menunjukkan halaman yang penuh dengan nama-nama.
"Ini ditemukan di rumahmu," ujar Arka dengan nada datar, menunjuk nama-nama dalam buku itu. "Termasuk namamu sendiri, Andri. Kau tidak bisa mengelak, lebih baik kau katakan yang sebenarnya!"
Andri menggeleng keras. "Aku tidak tahu apa-apa soal buku itu. Aku bahkan belum pernah melihatnya sebelumnya."
Arka mengerutkan kening, berusaha membaca kejujuran di balik kata-kata Andri. "Nama-nama ini tidak muncul begitu saja. Salah satu di antaranya adalah Nila, korban yang hilang dua tahun lalu. Kau yakin tidak mengenalnya?"
Andri menatap Arka dengan mata memelas. "Aku tidak kenal siapa pun di buku itu. Aku bukan pembunuh!"
Arka mengetuk buku itu dengan jarinya. "Lalu bagaimana dengan alat-alat medis, kotak kayu dengan noda darah, dan mawar kuning di rumahmu?"
Andri menghela napas panjang, wajahnya tampak putus asa. "Aku sudah bilang ... aku petani bunga dan untuk alat medis aku tidak tahu. Aku juga tidak tahu siapa yang menaruhnya di sana."
Arka terdiam sejenak, lalu berkata, "Kalau begitu, siapa menurutmu yang ingin menjebakmu?"
Andri menggeleng lagi, kebingungan semakin terpancar di wajahnya. "Aku tidak tahu. Aku hanya orang biasa. Tidak ada yang punya alasan untuk melakukan ini padaku."
Arka menatapnya dalam-dalam, mencoba menemukan petunjuk dari gerak-gerik Andri. Namun, tidak ada tanda-tanda kebohongan. Ia merasa ada sesuatu yang luput dari perhatiannya.
Sementara itu, Bayu berada di ruang barang bukti, memeriksa kembali kotak kayu yang ditemukan di rumah Andri. Matanya tertuju pada ukiran kecil di sudut kotak. Ia memanggil Arka melalui panggilan di ponselnya.
"Pak Arka, saya menemukan sesuatu di kotak kayu ini. Ada ukiran inisial huruf K dan A di salah satu sudutnya," lapor Bayu.
Arka tiba tak lama kemudian, mengamati ukiran itu dengan saksama. "Inisial ini bukan milik Andri. Ini bisa menjadi petunjuk baru."
Bayu mengangguk. "Saya juga sudah meminta forensik memeriksa noda darah di kotak ini. Hasilnya akan segera keluar."
Arka menyimpan informasi itu di kepalanya, berusaha menghubungkan titik-titik yang masih tersebar.
---
Di tempat lain, Kirana sedang sibuk di ruang kerjanya, meneliti hasil autopsi terbaru. Ia tampak tenang, bahkan tersenyum tipis saat membaca detail yang tertulis di laporan. Asistennya, Sarah, masuk dengan membawa setumpuk berkas.
"Dokter Kirana, ini hasil analisis tambahan dari korban terakhir," kata Sarah sambil menyerahkan dokumen tersebut.
Kirana menerimanya dan membacanya dengan serius. "Terima kasih, Sarah. Pastikan laporan ini segera dikirim ke kantor polisi."
"Baik, Dokter," jawab Sarah sebelum keluar dari ruangan.
Setelah sendirian, Kirana bersandar di kursinya. Tatapannya tertuju pada mawar kuning yang diletakkan di sudut meja. Ia mengambilnya, memutar-mutar batangnya perlahan, lalu meletakkannya kembali tanpa ekspresi apa pun.
Beberapa jam kemudian, hasil tes darah dari kotak kayu tiba di kantor polisi. Bayu menyerahkan laporan itu kepada Arka.
"Pak, hasilnya sudah keluar. Noda darah ini bukan milik korban mana pun yang sudah kita temukan. Tapi ini juga bukan darah Andri," kata Bayu.
Arka membaca laporan itu dengan seksama, alisnya berkerut. "Ini darah baru. Artinya, ada kemungkinan ini milik seseorang yang masih hidup."
Bayu mengangguk. "Dan inisial pada kotak itu, K dan A bisa jadi milik pemilik aslinya."
Arka terdiam, pikirannya berputar cepat. "Kita perlu menyelidiki semua orang yang mungkin berhubungan dengan Andri. Fokus pada inisial ini."
Bayu langsung bergerak untuk mengumpulkan data lebih lanjut. Sementara itu, Arka merasakan instingnya mengarah pada sesuatu yang belum jelas. Namun, ia tahu, langkah berikutnya akan sangat menentukan.
---
Arka duduk di mejanya, memandangi papan besar yang penuh dengan foto-foto bukti dan laporan kasus. Namun, pikirannya terus kembali ke sosok Kirana. Ada sesuatu tentang wanita itu yang memikatnya, meskipun ia belum bisa menjelaskan apa.
Bayu mengetuk pintu dan menyerahkan laporan tambahan. "Pak, ini hasil analisis sementara dari tanah di lokasi penemuan korban pertama. Partikelnya cocok dengan jenis tanah di sekitar Sungai Pancar."
Arka menerima laporan itu, membacanya sekilas. "Sungai Pancar, ya? Terima kasih, Bayu. Saya akan memeriksanya nanti."
Bayu mengangguk dan pergi. Arka merenung sejenak sebelum memutuskan untuk menemui Kirana.
Sementara itu, di gedung forensik, Kirana sedang memeriksa sampel di bawah mikroskop saat Arka masuk. Ia mengetuk pintu pelan dan melongok ke dalam.
"Dokter Kirana, saya ingin bicara," ujarnya dengan senyum tipis.
Kirana menoleh, tersenyum kecil. "Tentu, Arka. Ada apa kali ini?"
"Saya ingin membahas temuan baru terkait tanah di lokasi korban. Tapi …" Arka terdiam sejenak, menatap Kirana yang tampak tenang di tengah kesibukannya. "Saya juga ingin mengenal Anda lebih jauh."
Kirana mengangkat alis, sedikit terkejut. "Mengenal saya? Maksud Anda?"
Arka tersenyum lebih lebar. "Anda selalu tampak tenang dan fokus, bahkan di tengah tekanan. Itu membuat saya penasaran. Bagaimana Anda bisa begitu?"
Kirana tertawa kecil, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Mungkin karena saya sudah terbiasa. Dalam pekerjaan ini, terlalu banyak emosi hanya akan membuat segalanya lebih sulit."
"Dan itu membuat Anda menarik," kata Arka spontan, membuat Kirana terdiam sejenak.
"Menarik?" Kirana mengulang kata itu dengan nada heran.
"Ya," ujar Arka, menatapnya dengan serius. "Saya tahu ini bukan waktu yang tepat untuk membahas hal ini, tapi saya ingin mengenal Anda, Kirana. Tidak hanya sebagai rekan kerja, tapi lebih dari itu."
Kirana terdiam, mencoba membaca ketulusan di wajah Arka. Setelah beberapa detik, ia tersenyum tipis. "Itu … sesuatu yang tidak saya duga, Arka. Tapi terima kasih atas keberanian Anda untuk mengatakannya."
Arka mengundang Kirana untuk makan malam, menggunakan alasan diskusi kasus. Kirana awalnya ragu, namun akhirnya setuju.
Di restoran kecil yang tenang, mereka duduk berhadapan. Arka memanfaatkan momen itu untuk mengenal Kirana lebih jauh.
"Kirana, kami terlihat sangat profesional dan terorganisir. Tapi saya yakin, ada sisi lain dari Anda yang tidak banyak orang tahu," ujar Arka sambil menatapnya dengan penuh perhatian.
Kirana tersenyum kecil. "Aku hanya melakukan apa yang seharusnya. Tidak ada yang istimewa tentangku, Arka."
"Kurasa kamu terlalu merendah," kata Arka. "Orang yang bisa tetap tenang dan fokus dalam situasi seperti ini pasti memiliki cerita yang menarik di baliknya."
Kirana tertawa kecil, tetapi tatapannya melembut. "Mungkin. Tapi aku lebih suka mendengar cerita tentangmu, Arka. Kenapa kamu memilih menjadi seorang detektif?"
Arka tersenyum, senang melihat Kirana mulai terbuka. "Karena aku ingin membantu orang-orang mendapatkan keadilan. Tapi sekarang, aku merasa, aku juga ingin memahami seseorang yang penuh teka-teki seperti kamu."
Kirana terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. "Kamu memang detektif yang hebat. Bahkan dalam percakapan ini, kamu mencoba memecahkan teka-teki hidupku."
Arka tertawa kecil. "Mungkin. Tapi aku harap, aku bisa memecahkannya perlahan-lahan."
Detektif itu semakin terjerumus dalam perasaannya saat menatap Kirana yang tersenyum lebar di hadapannya.
To be continued ...