NovelToon NovelToon
Gadis Desa Vs Pewaris Sultan

Gadis Desa Vs Pewaris Sultan

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Cintamanis / Anak Yatim Piatu / Cinta Murni / Romansa
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: I Wayan Adi Sudiatmika

Di sebuah desa kecil yang dikelilingi hutan, hiduplah Kirana, gadis cantik, cerdas, dan mahir bela diri. Suatu hari, ia menemukan seorang pemuda terluka di tepi sungai dan membawanya ke rumah Kakek Sapto, sang guru silat.


Pemuda itu adalah Satria Nugroho, pewaris keluarga pengusaha ternama di Jakarta yang menjadi target kejahatan. Dalam perawatan Kirana, benih cinta mulai tumbuh di antara mereka. Namun, setelah sembuh, Satria kembali ke Jakarta, meninggalkan kenangan di hati Kirana.


Bertahun-tahun kemudian, Kirana merantau ke Jakarta dan tak disangka bertemu kembali dengan Satria yang kini sudah dijodohkan demi bisnis keluarganya. Akankah mereka bisa memperjuangkan cinta mereka, atau justru takdir berkata lain?


Sebuah kisah takdir, perjuangan, dan cinta yang diuji oleh waktu, hadir dalam novel ini! ❤️

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon I Wayan Adi Sudiatmika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21: Trauma Susi

Kirana dan Ririn segera masuk ke dalam gubuk setelah memastikan Daniel dan teman-temannya telah pergi. Suasana di dalam gubuk terasa pengap karena hanya sedikit cahaya yang masuk dari celah-celah dinding kayu yang lapuk. Udara terasa berat seolah ikut menanggung beban trauma yang baru saja terjadi. Bau apek dan kelembaban memenuhi ruangan menambah kesan suram yang menyelimuti tempat itu.

Di pojok ruangan terlihat Susi meringkuk dengan tubuh bergetar hebat. Rambutnya yang biasanya rapi tapi kini terlihat acak-acakan dan menutupi sebagian wajahnya yang pucat. Air matanya mengalir deras dan membasahi pipinya yang terlihat kotor oleh debu. Matanya menatap kosong seperti seseorang yang baru saja kehilangan segala harapan. Pakaiannya berserakan di lantai dan hanya menyisakan pakaian dalam yang masih melekat di tubuhnya. Beberapa bagian tubuhnya terlihat memerah seperti bekas cengkeraman dan sentuhan kasar yang membuat Kirana merasa sakit hati hanya dengan melihatnya.

“Kak Susi…,” bisik Kirana dengan suara lembut namun penuh keperihatinan. Dia perlahan mendekati Susi dengan langkah pelan dan hati-hati dan berusaha tidak membuatnya semakin ketakutan. “Kami di sini… kakak aman sekarang…,” ujarnya dengan suara yang mencoba menenangkan.

Susi tidak langsung merespon. Matanya masih kosong dan seolah tidak menyadari kehadiran Kirana dan Ririn. Tangannya memeluk erat tubuhnya sendiri seperti mencoba melindungi diri dari dunia luar yang terasa begitu kejam. Napasnya tersengal-sengal dan tubuhnya terus bergetar.

Kirana tidak menyerah. Dia berlutut di samping Susi dengan lututnya menempel pada lantai kayu yang dingin dan kasar. Kirana memeluk Susi dengan gerakan hati-hati. Pelukannya erat tapi lembut seperti pelindung yang mencoba menahan segala rasa sakit yang Susi rasakan. “Sudah Kak… Sudah…,” ujarnya dengan suara bergetar penuh emosi. Air matanya mulai menggenang di kelopak matanya tapi dia berusaha menahannya. “Kami di sini… kakak nggak sendirian,” bisiknya lagi kembali mencoba menenangkan Susi.

Susi akhirnya merespon. Tubuhnya bergetar lebih hebat dan dia menangis lebih keras seperti seseorang yang baru saja menemukan tempat aman untuk melepaskan segala ketakutannya. “Kir… aku… aku nggak bisa…,” ucapnya di antara isak tangis dengan suara pecah dan penuh keputusasaan. Tangannya mencengkeram erat baju Kirana seperti mencari pegangan di tengah kegelapan yang menyesakkan.

Kirana memeluknya lebih erat dan membiarkan Susi menangis di bahunya. “Nggak apa-apa Kak… nangis saja Kak… lepasin semuanya…,” ujarnya dengan suara lembut penuh perhatian. Tangannya mengusap punggung Susi dengan gerakan pelan dan mencoba memberikan kenyamanan.

Ririn yang berdiri di belakang Kirana merasa dadanya sesak melihat kondisi Susi yang begitu memperihatinkan. Matanya berkaca-kaca tapi dia berusaha menahan tangis. Dia segera membuka tasnya dengan tangan sedikit gemetar dan mengeluarkan botol air minum. “Kak… minum dulu ya… Tenangin diri kakak…,” ujarnya dengan suara lembut sambil menawarkan botol itu dengan tangan yang sedikit gemetar.

Susi mengangguk pelan dengan mata yang masih basah oleh air mata. Susi menerima botol air itu dengan tangan yang bergetar. Dia mencoba meneguk sedikit air tapi dengan tangis yang belum reda. Air yang masuk ke mulutnya terasa seperti beban yang sulit ditelan. “Aku… aku nggak mau ini terjadi…,” bisiknya dengan suara yang hampir tidak terdengar.

Kirana mengusap punggung Susi dengan lembut masih mencoba menenangkannya lagi. “Kami tahu kak… Ini bukan salah kakak. Kakak tidak sendirian dan kami akan selalu ada buat kakak,” ucap Kirana dengan suara lembut berusaha menenangkan. Matanya juga berkaca-kaca tapi dia berusaha tetap kuat untuk Susi.

Ririn yang melihat pakaian Susi berserakan di lantai… merasa amarahnya membara. Dia memunguti pakaian itu dengan gerakan cepat. “Kak… pakai pakaiannya dulu kak… biar kakak nggak kedinginan…,” ujarnya dengan suara lembut tapi penuh dengan emosi yang tertahan. 

Susi mengangguk lagi dengan mata yang masih terlihat kosong tapi ada sedikit kelegaan di dalamnya. Dia perlahan mengenakan pakaiannya dengan tangan yang masih gemetar tapi dia tetap berusaha memakainya. Kirana dan Ririn membantunya dengan gerakan penuh dengan kelembutan dan kepedulian.

“Kita pulang ya Kak…,” ujar Kirana dengan pelan. “Kami akan temani kakak. Nggak ada yang akan menyakiti kakak lagi.”

Susi mengangguk pelan dan matanya mulai terlihat lebih tenang. “Terima kasih…,” bisiknya dengan suara pelan. “Aku… aku nggak tahu harus bilang apa…”

“Nggak usah bilang apa-apa Kak…. Yang penting kakak sekarang aman,” ujar Ririn. Ririn memegang tangan Susi dengan erat dan mencoba memberikan kekuatan.

Kirana dan Ririn membantu Susi berdiri. Tubuh Susi masih lemah tapi mulai terlihat lebih tenang. Mereka berjalan pelan menuju pintu gubuk. Langkah mereka penuh dengan kebersamaan dan dukungan.

Sedangkan di luar gubuk, Dina masih bersembunyi di balik pohon namun matanya tak lepas memantau semua yang terjadi. Napasnya tertahan dengan jantung yang berdegup kencang setiap kali ada suara atau gerakan yang mencurigakan. Dia tahu dirinya tidak punya kemampuan bela diri seperti Kirana dan Ririn tapi dia tidak ingin menjadi beban. Dia hanya berharap Kirana dan Ririn bisa mengatasi segalanya.

Dina perlahan keluar dari tempat persembunyiannya setelah memastikan Daniel dan teman-temannya benar-benar telah pergi. Dia keluar dari tempat persembunyiannya dengan hati-hati dan matanya terus memindai sekeliling untuk memastikan tidak ada bahaya yang tersisa. Dina masih takut jika Daniel akan kembali dengan teman-temannya yang lain, walaupun tadi Dina melihat bagaimana Kirana dan Ririn memberikan pelajaran kepada Daniel dan teman-temannya. Setiap langkahnya terasa berat seperti ada beban besar yang menekan dadanya. Dia tidak tahu apa yang akan dia lihat di dalam gubuk itu tapi satu hal yang dia yakini bahwa teman-temannya membutuhkan bantuannya.

Hatinya semakin berdebar saat dia akan mendekati gubuk. Suasana di sekitar terasa mencekam seolah-olah menyimpan sisa-sisa kejadian yang baru saja terjadi. Dina menarik napas dalam-dalam dan mencoba menenangkan diri sebelum memasuki gubuk

“Kir… Rin…,” panggil Dina dengan suara pelan saat dia memasuki gubuk. Matanya langsung tertuju pada Susi yang dipapah oleh Kirana dan Ririn. Susi terlihat lemah dengan tubuh masih gemetar. Demikian juga air matanya belum juga berhenti keluar. “Aduh Kak Susi…,” ujarnya penuh rasa iba melihat kondisi Susi. Dia tidak bisa membayangkan apa yang telah dialami Susi tapi dia tahu bahwa ini bukan saatnya untuk bertanya.

Dina yang biasanya ceria dan penuh canda… kali ini terlihat serius. Matanya penuh keperihatinan dan sikapnya yang biasa santai kini berubah total. “Kita harus lapor ini ke pihak sekolah…,” ujarnya dengan suara tegas. “Daniel dan teman-temannya nggak boleh dibiarin begitu saja. Mereka harus bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan.”

Kirana mengangguk. “Iya… itu urusan nanti. Tapi sekarang yang penting Kak Susi tenang dulu. Kita ajak pulang ke rumahnya dulu. Dia butuh istirahat dan perawatan.”

“Iya… Kak Susi butuh waktu untuk pulih. Kita harus pastikan dia merasa aman dulu,” ujar Ririn yang masih memegang bahu Susi dengan lembut.

Mereka bertiga akhirnya membantu Susi berdiri dan memapahnya keluar dari gubuk. Matahari sore yang hangat menyambut mereka seolah memberikan sedikit kelegaan setelah semua kejadian yang menegangkan. Cahaya keemasan menyinari wajah mereka seperti memberikan harapan baru setelah kegelapan yang baru saja mereka lewati.

Dina memandang Susi dengan mata penuh kasih sayang. “Kak Susi… kakak nggak perlu khawatir. Kami akan selalu ada buat kakak. Nggak ada yang akan menyakiti kakak lagi.”

Susi mengangguk pelan dengan tangan masih gemetar saat memegang tangan Kirana. “Makasih… aku… aku nggak tahu harus bilang apa lagi…,” ucapnya dengan suara masih bergetar.

Dina yang biasanya paling cerewet… kali ini hanya diam dan mencoba memberikan dukungan dengan caranya sendiri. Dia tahu bahwa ini bukan saatnya bercanda. Ini adalah saat untuk saling mendukung dan melindungi.

Mereka bertiga akhirnya mengantar Susi pulang ke rumahnya. Udara sore terasa dingin tapi tidak sebanding dengan kehangatan yang Kirana dan kedua sahabatnya kepada Susi. Motor mereka melaju dengan pelan. Kirana mengendarai motornya dengan hati-hati dengan Susi duduk di belakangnya dan tangan Susi memeluk erat pinggang Kirana. Dina yang membonceng Ririn mengikuti dari belakang dengan mata yang terus mengawasi Susi untuk memastikan bahwa Susi baik-baik saja.

-----

Bagaimana tanggapan orang tua Susi? Simak pada bab selanjutnya.

1
Atik R@hma
pertemuan pertama, 😚😚
Atik R@hma
ok ka,,,,
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!