Aku menikah karena perjodohan. Tanpa dasar cinta, karena suamiku adalah paribanku. Sama seperti diriku, Arbi juga menolak perjodohan ini. Tapi apalah daya, kami tidak bisa menolak perjodohan itu. Mampukah kami menjalani rumah tangga yang menurut pandangan orang kami adalah pasangan yang bahagia?
Terlebih ada Gladys diantara kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21. Ibu mertua Syok.
"Apa! Kamu bicara apa Rania. Kamu pasti bohong 'kan? Bagaimana kalian bisa lakukan itu pada Inang!" beliak Ibu mertua menatapku tidak percaya. Setelah mendengar penuturanku. Aku tertunduk tidak berani mengangkat wajahku. Ah, seharusnya Arbian ada disini biar dia lihat sendiri betapa terlukanya hati wanita yang telah melahirkannya.
Mengapa kesialan selalu menghampiriku.Tidak seharusnya aku terseret terlalu jauh pada situasi ini. Semua ide ini datangnya dari Arbian. Aku menjalaninya juga karena terpaksa. Tapi kenapa justru aku yang terpapar langsung. Jadi bullyan Gladys dan temannya. Dan saat ini juga jadi pesakitan dihadapan ibu mertua.
Aku semakin benci pada sosok Arbi, yang membuat masalah dalam hidupku.
"Jadi selama setahun ini, Arbian tidak pernah menyentuhmu?" ucap ibu mertua menatapku dengan kedua manik matanya yang sulit kuartikan. Aku tertunduk dalam mendengar pertanyaan itu. Dan sudah cukup jadi jawaban untuk ibu mertua.
"Kalian benar-benar berhasil mengecoh kami, Ra. Inang pikir kalian pasangan yang bahagia selama ini. Tetapi semua itu hanya sandiwara. Bagaimana kamu bisa bertahan selama ini. Pantasan jawaban Arbi selalu berbelit-belit setiap kali Inang bertanya soal cucu. Tenyata, beginilah ceritanya. Baiklah Inang setuju kalian sebaiknya berpisah saja. Inang tidak ingin membebani hidupmu, Rania. Kamu berhak mencari kebahagian sendiri." Ibu mertua menghela nafas berat. Lalu membuang pandangannya ke arah lain. Seketika suasana mencekam kaku. Andai saja ada jarum jatuh, pasti kedengaran saking heningnya.
"Inang, maafkan Rania," desahku memecah keheningan diantara kami.
"Ini bukan salahmu. Semua salah Inang, karena Inang lah yang memaksa Arbian menikahimu.
Kamu tahu, Ra, kenapa Bapakmu pincang? Itu adalah kesalahan Inang. Demi menyelamatkan Inang dulu, beliau mengorbankan dirinya. Harusnya kaki Inang yang cacat."
Bapakmu dulu bercita-cita jadi tentara, karena kecelakaan itu impiannya hancur. Itulah sebabnya Inang menjodohkan kalian. Inang ingin membahagiakan Bapakmu dengan pernikahan ini. Tapi sayang, Arbi telah menyia-nyiakan kamu." aku sangat terkejut mendengar cerita Inang. Cerita yang baru aku dengar saat ini.
Selama ini yang aku tahu kecelakaan itu adalah kelalaian Bapak. Ternyata penyebabnya adalah Inang. Saudari dari Bapakku sendiri. Aku tidak tau kalau "Namboru" yang kupanggil jadi "Inang" setelah menikah dengan Arbi, menyimpan sebuah rahasia juga dibalik cacatnya kaki Bapakku. Beliau memang sangat perhatian pada Bapak. Beliau banyak membantu keluargaku terutama soal ekonomi.
Namboru pulalah yang membiayai kuliahku. Selama ini Namboru sudah banyak berkorban untuk biaya sekolahku . Hal itu baru aku tau disaat Ibu membujukku supaya mau menerima lamaran Namboru untuk menjadi menantunya.
Apakah Arbi tidak mengetahui kisah ini? Ataukah sebaliknya dia tahu sehingga tidak tega menolak perjodohan ini. Tidak kusangka ternyata liku-liku pernikahanku begitu rumit, syarat dengan upaya balas jasa.
...Inang yang ingin menebus kesalahan dan rasa bersalahnya. Aku juga ingin membalas kebaikan ibu mertua karena membiayai kuliahku. Dan Arbian tidak kuasa menolak karena merasa bertanggung jawab juga. Dia tidak punya pilihan. Seandainya dia memiliki saudara lelaki lain, masih mungkin untuk mengelak....
...Sebagai anak lelaki satu-satunya dia pastinya tidak berdaya. Dan disinilah kami terjebak, satu sama lain saling menyakiti atau tersakiti....
"Inang akan bicarakan masalah ini dengan, Arbi. Inang tidak menyangka Arbi tega berbohong selama ini. Begitu butanya dia mencintai, Gladys. Padahal Inang sudah melarangnya sejak dulu."
"Maafkan Rania, Inang."
"Berhentilah meminta maaf, Rania. Inang akan menyuruh Arbi tinggal bersama Inang sementara ini. Sampai urusan perceraian kalian selesai. Kamu tetaplah di rumah itu."
"Maaf Inang, Rania sudah pergi dari sana sudah satu minggu."
"Kenapa? Apakah Arbi mengusirmu?"
"Tidak Inang, Rania pergi sendiri."
"Pasti ada penyebabnya kan. Ayolah Rania, jangan bohong pada Inang lagi. Katakan sejujurnya apa yang telah terjadi."
Akhirnya dengan berat hati, aku terpaksa menceritakan peristiwa malam itu pada ibu mertua. Ibu mertua merasa geram dengan ulah anaknya.
"Kenapa baru kamu bilang sekarang, Rania. Jadi inilah alasan Arbi yang mengatakan kamu pulang kampung secara mendadak. Gak taunya dia menutup kelakuannya sendiri. Huh, sebagai ibunya Inang tidak bisa menerima perlakuannya padamu. Buat apa dia mau melakukan itu. Inang benar-benar tidak mengerti."
Ibu mertua mengambil ponselnya lalu menelepon seseorang. Mungkin menghubungi Arbi.
"Halo, Arbi, kamu temui Mama di kafe Embun, sekarang juga penting." ibu mertua langsung memutus panggilan. Nada bicara ibu mertua terlihat menekan amarahnya. Aku takut sekali ibu mertua tidak bisa menahan emosinya.
"Tenang saja Ra, Inang mau Arbian bersikap tegas. Bukan seperti ini membiarkan masalah makin rumit. Kita tunggu dia datang. Semuanya harus jelas."
Aku terdiam mendengar ucapan ibu mertua. Beliau bijak dan tegas. Yang aku takutkan selama ini terlalu berlebihan. Ibu mertua tidak selemah yang aku kira.
Tidak berapa lama Arbian muncul dihadapan kami. Dia tampak gugup sekali saat melihatku duduk bersama ibunya.
"Mama, ada apa ini?" ucapnya seraya menatapku tajam.
"Rania sudah bercerita semuanya. Mama sangat kecewa sama kamu, Arbi."
"Ma, Arbi bisa jelaskan, Ma." Arbi menelan salivanya.
"Mau jelaskan apa lagi, Bi. Mau berbohong lagi
ya?" ucap ibu mertua dingin.
"Tapi Ma, Mama juga harus dengar penjelasanku." nada bicara Arbi gugup.
"Setahun ini kamu kemana saja, Arbi. Kamu sudah bohongi Mama selama setahun. Oke, terserah kamu mau menikahi siapa. Mama tidak peduli lagi."
"Mama, maafkan Arbi telah membohongi Mama selama ini. Rania maafkan aku. Tolong beri aku kesempatan, kita mulai dari awal, please." Arbi meraih jemariku. Dia genggam erat seolah takut aku menepis tangannya.
"Maafkan aku, Bi. Aku tidak bisa." aku menarik lepas tanganku.
"Kamu sudah dengar sendiri, Bi. Sekarang urus lah cepat surat perceraian kalian," ucap ibu mertua tegas, " kamu sudah menyia-nyiakan hidup Rania selama setahun ini. Kamu harus keluar dari rumah itu. Biarkan Rania tinggal di sana." Ibu mertua mengdongak angkuh, mengabaikan Arbian yang terhenyak di kursi.
Ibu mertua berdiri dan menggeser kursi. Tapi tiba-tiba tubuhnya oleng hendak jatuh, seraya memegangi dadanya. Mendadak nafas ibu mertua sesak.
"Inang!" jeritku tertahan. Aku berdiri menopang tubuh ibu mertua.
"Mama!" teriak Arbi bersamaan denganku.
"Rania, tolong bawa Inang ke rumah sakit." lenguh ibu merta nyaris tak terdengar.
"Iya, Inang bertahan ya." tak kuasa aku menahan jatuhnya air mataku. Aku benar-benar takut terjadi sesuatu pada beliau. Mery dan Uly berlari mengikuti kami menuju mobil.
"Mama kenapa, Kak?" seru Mery cemas.
"Cepat bukakan pintu mobil, Mer!" bentakku. Aku masuk duluan supaya bisa memangku ibu mertua.
"Biar aku saja yang bawa." Uly masuk keruang kemudi menggantikan Arbi. Karena Arbi memangku kepala ibu mertua.
"Kak Uly, ayo bergegas ke rumah sakit terdekat!" seru Mery. Uly menyetir membawa kami keluar dari kafe itu menuju rumah sakit.
"Mama, maafkan Arbi, Ma." berkali-kali Arbi mengucapkan kata sesal itu. ***
di bab sebelumnya itu pram lho thor
semangat thor secepatnya rania bebas dari arbi ok thor
semangat thor