Cintia tumbuh di lingkungan yang penuh luka—bukan cinta yang ia kenal, melainkan pukulan, hinaan, dan pengkhianatan. Sejak kecil, hidupnya adalah derita tanpa akhir, membuatnya membangun dinding kebencian yang tebal. Saat dewasa, satu hal yang menjadi tujuannya: balas dendam.
Dengan cermat, ia merancang kehancuran bagi mereka yang pernah menyakitinya. Namun, semakin dalam ia melangkah, semakin ia terseret dalam kobaran api yang ia nyalakan sendiri. Apakah balas dendam akan menjadi kemenangan yang ia dambakan, atau justru menjadi neraka yang menelannya hidup-hidup?
Ketika masa lalu kembali menghantui dan batas antara korban serta pelaku mulai kabur, Cintia dihadapkan pada pilihan: terus membakar atau memadamkan api sebelum semuanya terlambat.
Ikuti terus kisah Cintia...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maurahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25 TARGET BARU
Beberapa bulan kemudian, Cintia berhenti sejenak dengan balas dendam yang ia punya kepada Luna. Yang Cintia fikirkan, belum saatnya. Masih ada target lain yang harus ia susun juga. Untuk membalaskan perbuatan yang mereka perbuat. Karena seperti pepatah bilang Tabur tuah itu ada. karena kalau bukan kita yang buat karma Maka-- tidak akan ada karma.
......................
"Apa maksud kamu sebenarnya, Cin?" Suara Araf meninggi, penuh ketidakpastian. Ia berdiri dengan tangan mengepal di sisi tubuhnya, menatap tajam ke arah Cintia. Wajahnya memerah, emosi yang tidak biasa terpancar dari pria yang biasanya lembut itu.
Cintia mendongak perlahan, matanya yang tajam dan dingin terpaku pada Araf. "Aku nggak ngerti maksud kamu, Raf. Jangan sok tahu," jawabnya santai, meskipun nada suaranya menyiratkan ketegangan. Ia berusaha tetap tenang, meski dadanya terasa sesak.
"Jangan pura-pura nggak tahu, Cin!" bentak Araf, mengambil langkah maju mendekatinya. "Aku lihat bagaimana kamu bersikap ke Raditya. Kamu nggak suka dia dari awal, kan? Tapi kenapa tiba-tiba kamu berubah ramah? Ada apa sebenarnya?"
Nama itu—Raditya—membuat tubuh Cintia menegang seketika. Ia tidak menyangka Araf akan menyadari perubahan sikapnya secepat ini. Ia mencoba menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Raditya itu teman kamu. Aku cuma berusaha untuk sopan. Nggak mungkin aku terus-terusan dingin sama dia kalau dia sering main ke sini, kan?"
Araf mengernyit, ekspresi wajahnya mencerminkan campuran kekecewaan dan kecurigaan. "Sopan? Cin, aku kenal kamu lebih baik dari itu. Kamu nggak pernah peduli soal jaga sopan santun sama orang yang nggak kamu suka. Jadi, apa yang sebenarnya kamu rencanakan?"
Cintia terdiam sejenak, membiarkan keheningan menggantung di antara mereka. Ia tahu Araf mulai mencium sesuatu, tapi ia tidak bisa mengungkapkan kebenarannya. Tidak sekarang. "Kamu berlebihan, Raf. Aku cuma berusaha jaga hubungan baik. Itu aja."
Araf menggelengkan kepala, lalu mengusap wajahnya dengan kasar. "Aku nggak tahu apa yang kamu sembunyikan, tapi aku harap kamu nggak melakukan sesuatu yang bakal bikin kamu menyesal."
Cintia tersenyum kecil, dingin. "Aku tahu apa yang aku lakukan."
Cintia duduk di kursi kayu di bawah pohon besar di halaman belakang rumah Bu Rini. Matanya menatap lurus ke depan, tapi pikirannya melayang jauh ke masa lalu. Nama Raditya kembali menggema di kepalanya, seperti mimpi buruk yang tak pernah berakhir.
Raditya. Nama yang ia benci lebih dari apa pun.
Ia ingat dengan jelas bagaimana lelaki itu menyiksanya semasa sekolah dulu. Raditya, si anak kaya yang selalu merasa berhak memperlakukan orang lain sesuka hati. Ia tidak hanya ikut-ikutan Luna dan gengnya merundung Cintia, tetapi juga melakukan hal yang jauh lebih mengerikan. Cintia menggigit bibirnya, mencoba menahan rasa mual yang muncul saat ingatan itu kembali menyerangnya.
Waktu itu, ia masih remaja. Raditya pernah mengunci Cintia di ruang olahraga sekolah, lalu mencoba melakukan hal yang tidak pantas padanya. Untung saja, seorang guru datang tepat waktu dan menggagalkan niat busuknya. Namun, peristiwa itu tetap meninggalkan luka yang mendalam di hati Cintia. Tidak ada yang percaya padanya ketika ia mencoba melapor. Raditya, dengan pengaruh keluarganya, lolos tanpa hukuman. Bahkan, ia tetap dipuja-puja oleh teman-temannya.
Dan sekarang, bertahun-tahun kemudian, lelaki itu muncul kembali dalam hidupnya. Raditya, yang kini menjadi teman baik Araf, seolah tidak mengenali Cintia. Baginya, Cintia hanyalah seorang kasir di toko kecil di Tamansari. Ia tidak menyadari bahwa gadis yang dulu ia sakiti kini berdiri di hadapannya, penuh dendam dan amarah.
"Raditya," gumam Cintia pelan, hampir seperti bisikan. "Kamu nggak akan lolos kali ini."
Malam itu, Cintia duduk di kamarnya yang kecil dengan cahaya lampu redup menerangi wajahnya. Di atas meja kayu sederhana, ia membuka laptop tua miliknya. Jari-jarinya bergerak cepat di atas keyboard, mencari informasi tentang Raditya. Ia tahu bahwa lelaki itu bekerja sebagai seorang manajer di sebuah perusahaan properti besar di Bandung. Ia juga menemukan akun media sosialnya, lengkap dengan foto-foto penuh senyum palsu yang membuat darah Cintia mendidih.
"Masih sama sombongnya," gumam Cintia, matanya menyipit penuh kebencian.
Ia mulai mencatat hal-hal penting. Nama-nama teman Raditya, kebiasaan sehari-harinya, tempat-tempat yang sering ia kunjungi. Semua informasi itu ia kumpulkan dengan hati-hati. Ia tahu bahwa untuk menghancurkan seseorang, ia harus mengenal targetnya luar dalam.
Namun, ada satu hal yang membuat rencananya semakin menarik: kedekatan Raditya dengan Araf. Ia bisa menggunakan Araf untuk mendekati Raditya tanpa menimbulkan kecurigaan. Lagi pula, Araf selalu mendukungnya tanpa banyak bertanya. Ia tahu bahwa pria itu benar-benar mencintainya, meskipun ia sendiri masih ragu apakah ia memiliki perasaan yang sama.
"Maaf, Raf," bisiknya pelan, seolah berbicara pada bayangan Araf yang tidak ada di sana. "Tapi aku harus melakukan ini."
Dua hari kemudian, Araf mengajak Raditya ke toko tempat Cintia bekerja. Seperti biasa, Cintia berdiri di balik meja kasir, mengenakan seragam sederhana dengan senyum tipis yang sulit ditebak.
"Cin, kenalin. Ini Raditya, temen lama aku," kata Araf dengan nada ceria, mendorong Raditya maju.
Cintia menatap Raditya dengan pandangan datar, meskipun dalam hatinya ia ingin berteriak dan meluapkan semua kebenciannya. Namun, ia tahu ia harus bermain peran dengan baik. Ia mengulurkan tangan, memaksakan senyum yang terlihat tulus. "Cintia," katanya singkat.
Raditya menjabat tangannya tanpa ragu. "Senang kenal kamu, Cintia. Kamu kerja di sini, ya? Toko kecil yang nyaman."
Cintia hanya mengangguk, menahan diri untuk tidak melontarkan komentar tajam. Dalam hati, ia mencatat bagaimana Raditya sama sekali tidak mengenalinya. Ia merasa lega sekaligus marah. Bagaimana bisa seseorang yang telah menghancurkan hidupnya begitu saja melupakannya?
"Raf sering cerita soal kamu," tambah Raditya, mencoba bersikap ramah. "Dia bilang kamu orangnya pendiam, tapi baik hati."
Cintia hanya tersenyum tipis. "Kamu terlalu banyak cerita, Raf," katanya, menatap Araf dengan pandangan yang sulit diartikan.
Araf hanya mengangkat bahu sambil tersenyum. "Aku cuma bilang yang sebenarnya."
Setelah pertemuan itu, Cintia mulai mendekati Raditya secara perlahan. Ia tidak menunjukkan ketidaksukaannya, malah bersikap ramah setiap kali mereka bertemu. Ia tahu bahwa untuk menghancurkan Raditya, ia harus membuat lelaki itu percaya bahwa ia adalah sekutu, bukan musuh.
"Aku nggak nyangka kamu bisa akrab sama Radit," komentar Araf suatu malam saat mereka duduk bersama di beranda rumah Cintia.
Cintia tersenyum kecil, menatap langit malam yang gelap. "Aku cuma berusaha lebih terbuka. Lagipula, dia temen kamu, kan? Aku nggak mau bikin kamu nggak nyaman."
Araf tersenyum, senang mendengar jawaban itu. "Aku senang kamu mulai bisa nerima orang lain, Cin. Itu artinya kamu udah mulai ngelepas masa lalu."
Cintia tidak menjawab. Ia hanya tersenyum, meskipun dalam hatinya ia tahu bahwa kata-kata Araf jauh dari kebenaran.
Malam itu, Cintia mengirim pesan singkat kepada Raditya melalui aplikasi chat. Pesan itu singkat dan sederhana, tetapi cukup untuk memulai rencananya.
"Radit, aku butuh bantuanmu. Ada hal yang pengen aku diskusikan. Bisa ketemu?"
Raditya membalas dengan cepat. "Tentu. Kapan dan di mana?"
Cintia tersenyum kecil, merasa puas. Ia tahu bahwa ini baru awal dari rencana panjangnya. "Besok malam. Aku akan kasih tahu lokasinya nanti."
Di dalam kamarnya, Cintia menatap bayangannya di cermin. Ia melihat seorang wanita yang berbeda dari dulu. Wanita yang lebih kuat, tetapi juga lebih gelap. Ia tahu apa yang ia lakukan salah, tetapi ia tidak peduli. Ia telah memutuskan untuk melanjutkan jalan ini, apa pun risikonya.
Ponselnya bergetar di atas meja. Sebuah pesan masuk dari Araf.
"Aku cuma mau bilang kalau aku selalu ada buat kamu, apa pun yang kamu hadapi."
[ BERSAMBUNG ]
Takut Lupa Vitual🙃
Mana Luna mana Cintia?
Raf
Radit
tetel semangat ya Cintia
jadi Mak yg merasa takut tauuu
ambil hikmah dari kejadian dlu. it yg membuat km bertahan smpe skg
sebenarnya Cintia mimpi mu adakah gambaran yg terjadi kelak,rasa luka yg membawa dendam dan rasa dendam yg akan membawa celaka
apa sakit thor
mampir juga ya di cerita aku