Berawal dari kematian tragis sang kekasih.
Kehidupan seorang gadis berparas cantik bernama Annalese kembali diselimuti kegelapan dan penyesalan yang teramat sangat.
Jika saja Anna bisa menurunkan ego dan berfikir jernih pada insiden di malam itu, akankah semuanya tetap baik-baik saja?
Yuk simak selengkapnya di novel "Cinta di Musim Semi".
_Cover by Pinterest_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon seoyoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 4 {Hari kebebasan}
3 bulan kemudian, di sebuah pemakaman khusus yang diperuntukan bagi umat non muslim, yang terletak di kota Bandung.
Terlihat sosok pria bertubuh besar dan tinggi tengah berdiri di hadapan 1 makam yang diyakini makam tersebut adalah makam keluarganya. Terbukti dari raut wajah nya yang jelas tergambar sebuah perasaan emosional yang cukup mendalam.
Usai menaruh bucket bunga di atas tumpukan tanah yang sudah di tumbuhi rerumputan hijau segar disekelilingnya. Pria itu hanya terus menatap nisan yang bertuliskan ‘Bennedict Gabriel’ dengan tatapan sendu yang bercampur dengan rasa penyesalan nya.
“Maaf mengganggu pak,” ujar asisten nya yang baru saja bergabung di tengah suasana mellow yang diciptakan oleh pria bersetelan jas lengkap itu.
Pria yang sedari tadi memandang nisan Bennedict pun memutuskan fokusnya dan beralih merespon kemunculan seorang pria yang usianya tak terpaut jauh darinya.
“Pengacara nona Anna memenangkan persidangan pak, mereka berhasil menemukan keberadaan petugas kebersihan yang mampu memberikan alibi pada nona Anna di malam itu, kemungkinan nona Anna akan dibebaskan pada akhir pekan nanti,” ia melaporkan mengenai putusan sidang yang telah berakhir beberapa hari yang lalu.
“Ya, saya sudah menduganya, beritahu Matthias untuk menjalankan rencana B,” perintahnya yang kembali mengarahkan atensinya pada nisan pria yang sudah terbaring dengan damai.
“Tapi … maaf pak, jika saya lancang, saya mengikuti persidangan awal nona Anna sampai putusan akhir hakim, dan saya berpendapat jika memang yang dikatakan oleh nona Anna adalah benar, bukan nona Anna yang menyebabkan tuan Bennedict terjatuh dari balkon, nona Anna hanya berada di waktu dan tempat yang tidak tepat,” asistennya yang bernama Rega itu memaparkan opininya.
“Saya tahu, tapi bagaimana pun juga wanita itu ikut andil dalam kematian adikku, dia yang telah mencampakkan adikku sampai Bennedict kehilangan kendali dan berakhir mengakhiri hidupnya sendiri, saya tak akan pernah membiarkan wanita itu hidup bahagia, sementara adik lelakiku terbaring tak berdaya didalam peti.
Kalau perlu saya akan mengirimkan wanita itu di samping Bennedict, disini, tepat di sebelahnya,” ujar nya mantap dengan diakhiri seringai penuh arti yang terukir di wajahnya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
1 pekan kemudian.
Akhirnya setelah 5 tahun berlalu, Anna kini bisa menghirup udara segar kembali.
“Selamat atas kebebasanmu nona Anna, (ujar sang polisi yang mengantarkan kepergian Anna ke pintu utama lapas) akhirnya Tuhan menjawab doa-doamu, Tuhan telah menunjukan kebesarannya melalui pengacara Kayle.
Sudah saya bilang bukan, Tuhan tidak pernah tidur nona, kebenaran pasti terungkap dengan cara yang tak pernah kita duga, kau sudah berhasil melalui semua masa sulit mu disini nona,” pria paruh baya itu menepuk lembut pundak Anna untuk memberikan dukungan morilnya beserta senyuman teduh layaknya kasih seorang ayah kepada putrinya.
“Terimakasih pak Anton, jika bukan karena pak Anton, entah bagaimana saya bisa bertahan, saya akan berusaha hidup lebih baik lagi,” ujar Anna seraya menundukkan pandangannya untuk mengakhiri salam perpisahannya dengan pria paruh baya yang selama ini telah banyak berjasa padanya.
Baru saja Anna memijakan kakinya beberapa langkah dari pintu utama lapas, sebuah mobil SUV berwarna hitam langsung menghadangnya. Dahinya berkerut bersamaan dengan perasaan bingungnya, karena tak mungkin yang menjemputnya itu adalah ayahnya, lantas siapa orang yang ada di balik kemudi itu?
Anna memiringkan kepalanya seraya menatap lekat ke arah jendela mobil, berharap jika sang pengemudi itu menurunkan kaca dan menunjukan dirinya pada Anna yang masih terdiam dengan rasa penasarannya.
Harapan Anna terkabul, kaca jendela yang gelap itu pun perlahan turun dan mulai menampakan sosok pria yang tak asing baginya.
Anna terkekeh sebagai reaksi spontan nya, ia benar-benar tak menduga jika pengacara yang sekaligus kini sudah menjadi temannya akan menjemput dirinya di hari kebebasannya.
“Ayoo masuk kak Anna!” seru Kayle dari dalam mobil diiringi senyum cerahnya yang mirip sekali dengan senyum yang dimiliki mantan kekasihnya dulu.
Tanpa membuang waktu, Anna pun menerima ajakan Kayle dengan senang hati. Ia masuk dan duduk di sebelah kursi pengemudi.
“Kau pembohong!” sinis Kayle dengan nada yang terdengar seperti rajukan anak-anak, sebelum ia menancap gas dan meninggalkan area depan lapas.
“Aku? Bohong? (sahut Anna yang tak mengerti dengan tuduhan tak berdasar Kayle, namun masih diselingi kekeuhan tawa, sebab merasa lucu dengan raut wajah merajuk nya Kayle yang lebih terlihat seperti seorang bocah yang sedang ngambek)
Bohong tentang apa?” tambah Anna.
Kayle melirik tajam sejenak ke arah Anna di tengah fokusnya mengemudi.
“Sebelumnya kak Anna melarang ku untuk menjemputmu karena kau akan di jemput oleh temanmu, tapi mana?!
Mana temanmu huh? Jika aku tak datang tadi, kau mungkin akan pulang sendirian dengan ekspresi menyedihkan mu itu,” gerutu Kayle yang tak terima karena merasa di bohongi oleh Anna, pikirnya Anna hanya ingin menolak niat baik untuk menjemputnya saja.
“Hahahha! Ahh itu, hahaha! (bukannya langsung menjelaskan, Anna malah tampak tertawa yang terdengar seperti tawa ejekan) aku gak bohong kok, awal nya memang temanku Edrea akan menjemput ku, tapi tiba-tiba saja cafenya penuh dengan pengunjung yang membuat dia tak bisa meninggalkan café dengan pegawai nya yang hanya 3 orang.
Lagipula memangnya kenapa kalau aku pulang sendiri? 5 tahun di penjara tak membuatku hilang ingatan, Kayle.
Aku masih ingat dengan jelas jalanan serta tempat-tempat yang ada di Jakarta. Aku tak mungkin tersesat, hahaha!” celoteh Anna sedang Kayle hanya terdiam sembari menghela nafas kasarnya selagi pandangan nya terfokus pada jalanan yang ada di hadapannya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sebelumnya, 1 hari sebelum pembebasan Anna.
Di Shooky Café.
Sore itu Brian meminta teman yang juga seniornya Kayle untuk bertemu di café.
Karena lokasi apartemen Kayle tak terlalu jauh dari café tersebut, pria muda yang baru saja masuk ke dalam dunia pengacara hanya mengenakan kaos oblong berwarna hitam yang biasa ia pakai tidur, dan celana pendek cargo dengan warna senada.
Namun meskipun penampilannya cukup sederhana, tak lantas mengurangi aura ketampanannya yang sudah mendarah daging sejak lahir.
Kulitnya yang putih bersih berseri membuktikan betapa rajinnya ia merawat tubuhnya. Di tambah kedua lengannya yang kekar tak terlepas dari pandangan para ciwi-ciwi yang sedang asyik nongkrong di café tersebut.
Café yang sebelumnya terdengar cukup berisik dengan alunan musik yang di play oleh sang pemilik café, di tambah suara riuh rendah para pengunjung dari berbagai penjuru menambah gaduh suasana café kala itu.
Namun begitu Kayle masuk dan melewati meja para ciwi-ciwi yang kebanyakan diantaranya adalah para mahasiswa kampus yang berada di sebrang café Shooky. Suara gaduh itu tiba-tiba hening, layaknya nyamuk yang di tepuk oleh kedua tangan, kini hanya terdengar suara alunan musik penuh energi yang menjadi latar belakang suasana cerah yang diciptakan oleh Kayle.
“Anjay ganteng banget! Udah kaya idol korea, apa dia pakai make up ya?” celetuk salah satu ciwi ketika Kayle lewat di hadapannya.
“Wangi banget lagi, jiiir lah! Pokoknya gue harus minta nomornya,” serunya yang tak kalah heboh dengan temannya sembari mengeluarkan ponsel dari tas kecil yang ditaruh diatas meja.
Sementara itu, sesampainya Kayle di meja Brian, Kayle pun lantas mendaratkan bokongnya di kursi yang bersebrangan dengan Brian sembari menyilangkan kedua kakinya.
“Ada apa, akhir-akhir ini kau sering memintaku bertemu, ini akhir pekan loh! Kau tak ada kencan memangnya?” celetuk Kayle dengan nada seloroh dan dilanjut dengan menyambar kopi milik Brian.
“Dan apa itu, masker? (Kayle kembali mengoceh seraya menyandarkan punggungnya di sandaran kursi) kau sedang sakit huh?!” tebak Kayle.
“Kalau gak pakai masker, pasti akan sangat merepotkan,” balas Brian seraya memiringkan kepalanya mencoba memperhatikan seorang gadis yang sedang berjalan malu-malu untuk menghampiri meja mereka.
“Huh?!” sahut Kayle yang tak mengerti dengan maksud perkataan Brian.
“Amm … ma … maaf saya boleh minta nomor kakak, saya Anjani mahasiswa di Universitas Hansei,” ujarnya seraya memberikan ponselnya pada Kayle dengan harapan Kayle bersedia memberikan nomor pribadinya.
“Aduuh maaf ya, ponsel saya ketinggalan dan saya juga tidak hafal nomor nya,” tolak Kayle halus yang diakhiri senyum manis yang berhasil kembali melelehkan hati ciwi yang bernama Anjani itu.
“Gak apa-apa kalau gitu, saya akan mencatat nomor saya,” serunya yang lalu berlari kecil menuju tempat pemesanan untuk meminjam bolpoin dan meminta secarik kertas yang nantinya akan ia tulisi nomor ponsel nya.
“Lihat! (kata Brian dengan nada yang memekik ketika sang gadis genit tadi sudah pergi untuk sementara) mereka semua sangat merepotkan,” imbuh Brian yang lalu menyilangkan kedua tangan diatas dadanya.
“Hmmp, ya sudah langsung ke intinya saja, aku juga tidak bisa lama-lama disini,” balas Kayle yang meminta Brian langsung mengatakan tujuannya meminta ia datang kemari.
“Tolong jemput kak Anna, kedua orang tuaku masih belum kembali dari luar negeri, dan juga dia pasti gak akan mau ikut kalau aku yang menjemputnya,” pinta Brian dengan penuh harap seraya kembali meneguk es kopi nya.
“Kenapa? Memangnya kak Anna anak kecil, dia pasti tahu jalan kembali bukan?” timpal Kayle yang sebenarnya enggan menjemput Anna, karena takut perasaan yang seharusnya tak boleh tumbuh itu kembali mengendalikan akal sehatnya.
“Bukan begitu, kak Anna buta arah, dia bahkan pernah tersesat di hari pertamanya sekolah SMA, harusnya dia pergi ke SMA Kirin, dia malah pergi ke arah sebaliknya dan berakhir di SMA Pelita Bangsa, udah gitu, dia benar-benar gak sadar dan terus mengikuti pelajaran sampai akhir,” celoteh Brian.
“HhhahahAha! Yak kau bercanda! Kakakmu benar-benar lucu sekali,” terdengar ledakan tawa Kayle meramaikan suasana café kala itu.
“Yak! Aku serius!” seru Brian yang tak terima dengan reaksi yang diberikan Kayle padanya, seakan fakta tersebut hanya bualan semata.
“Oke oke, aku akan menjemputnya besok, sudah kan?
Aku harus pergi, bye!” pamitnya yang lalu bangkit dari kursi setelah puas mentertawakan tingkah random kakak nya Brian.
Kayle mengeluarkan ponsel yang ada dalam saku celananya dan kemudian menempelkannya di telinga untuk menerima telfon dari seseorang di tengah perjalanannya menuju pintu keluar café.
Sang gadis yang bernama Anjani itu hanya bisa terdiam melongo sembari memegangi secarik kertas yang sudah ia tulisi dengan nomor ponsel serta rangkaian kata manis guna merayu pria incarannya.
Namun mendapati jika pria idamannya tersebut membohonginya, ia hanya bisa menelan ludah sembari menyembunyikan perasaan kecewanya begitu Kayle berjalan melewatinya tanpa melihatnya sama sekali, seolah dirinya benar-benar tak terlihat oleh mata Kayle.
Kayle hanya berlalu pergi di tengah percakapan seriusnya dengan seseorang melalui ponselnya.
“Brengsek!” umpat gadis tadi dengan mulut tertutup sebelum Kayle menghilang dari pandangannya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Bersambung...