Mencari Daddy Sugar? Oh no!
Vina Rijayani, mahasiswi 21 tahun, diperhadapkan pada ekonomi sulit, serba berkekurangan ini dan itu. Selain dirinya, ia harus menafkahi dua adiknya yang masih sangat tanggung.
Bimo, presdir kaya dan tampan, menawarkan segala kenyamanan hidup, asal bersedia menjadi seorang sugar baby baginya.
Akankah Vina menerima tawaran Bimo? Yuk, ikuti kisahnya di SUGAR DATING!
Kisah ini hanya fantasi author semata😍
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Payang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4. Aku Sudah Melihat Semuanya.
"Oh tidak... bajuku?" Aku terlonjak kaget begitu bangun dari tidurku, menyadari kalau baju yang aku kenakan bukanlah pakaian kuliahku tapi longnight lingerie merah hati yang tipis, memperlihatkan dalam an ku yang bisa di terawang.
"Kamu cari ini?"
Pandanganku gegas mencari sumber suara.
"Dasar, om-om mesum!" umpatku marah, wajahku memerah melihat pria itu begitu santainya melambaikan kain segi tiga merah mudaku bersama bra senada disamping wajahnya.
"Kamu malu?" ledeknya tidak berperasaan.
"Aku bahkan sudah melihat semuanya semalam," imbuhnya sembari melempar pembungkus aset-aset berhargaku itu ke atas lemari pakaian setelah mengendus-endus aromanya.
"Manusia tidak waras," aku seketika mual melihat kelakuannya. Aku saja tak sudi mencium pakaian kotorku sendiri.
"Kembalikan pakaianku tuan, aku harus pulang sekarang, adik-adikku pasti cemas mencariku," aku mencengkram jubah tidur bagian dada pria itu, berharap ia bermurah hati mengembalikan semua pakaianku, termasuk yang barusan ia lempar ke atap lemari.
"Ini bukan waktunya pulang, tapi berangkat kuliah. Mandilah," datarnya.
"Apa?" aku memicingkan sebelah mataku, gegas kupalingkan wajahku kesana kemari mencari keberadaan jam dinding, benar pukul 6 pagi, seketika emosiku kembali bangkit.
"Tuan memang tidak punya hati!" aku berang, kian mengeratkan cengkramanku hingga pria itu mundur selangkah kebelakang karena beban tubuhku mampu menggeser posisi berdirinya. Tapi aku kembali memepetinya supaya cengkramanku tidak terlepas, aku sangat marah!
"Mereka takut sendirian dimalam hari! Tapi tuan dengan teganya menculik dan menahanku ditempat ini!" pekikku penuh emosi.
Melihatnya diam saja tanpa reaksi, aku yang sudah emosi langsung menerkam dadanya, menggigit otot-otot yang menyembul itu dengan sekuat tenaga.
Sempat kudengar suara pekikan tertahan dari mulutnya... setalah itu senyap, hanya suara geramanku yang rusuh menggigit.
Aku berhenti karena lelah, juga karena sesuatu yang tumpul menusuk pusar perutku. Tanganku turun, berniat menyingkirkan benda tumpul yang cukup mengganggu itu.
Seketika tubuh ini membatu, begitu sadar benda apa yang sedang ada dalam genggaman kedua tanganku, sama berototnya dengan lengan dan dadanya, juga menggeliat-geliat semakin mengeras, seperti bernyawa.
"Bukan salahku kalau dia bangun, aku sudah berusaha menghindarimu, mundur satu langkah kebelakang, tapi kamu malah maju dan terus menempel padaku."
"DIAM!!!" hardikku, menyembunyikan rasa panik, takut, ngeri, cemas, bergidik, semuanya yang serupa itu.
Tak ku sangka, dia menutup mulutnya, patuh pada ucapanku, tidak bergerak bagaikan patung hidup.
Aku mundur satu langkah, dua langkah, tiga langkah, empat langkah, sambil mengawasi pria itu yang masih bergeming di posisinya yang semula.
Setelah memastikan dia tetap ditempatnya, aku berbalik, mengambil langkah seribu berlari kencang menuju kamar mandi dan menguncinya dari dalam.
Aku terkulai lemas, dengan tubuh gemetar, menyandar dibelakang pintu. Mengatur napasku yang tinggal satu dua serasa mau pupus. Umurku sudah 21 tahun, tentu aku mengerti apa yang ku genggam tadi.
Aku memang miskin, tapi aku tidak mau mahkotaku terenggut percuma oleh laki-laki yang bukan suamiku. Itu sebabnya aku belum mau menjalin hubungan dengan lawan jenis sebelum kuliahku kelar.
"Oh Tuhan tolonglah aku," doaku penuh pengharapan pada Sang Penciptaku, berharap keselamatan, dan segala kebaikan selalu menyertai tiap langkahku. Adik-adikku masih membutuhkanku.
Andai saja beberapa hari lalu aku tidak datang ke kantor pria itu untuk melamar pekerjaan, dia pasti tidak mengenalku, dan tidak menculikku seperti ini, sesalku.
Aku memutar shower, dinginnya air tercurah membasahi rambut panjangku hingga seluruh permukaan tubuhku. Lama aku membersihkan tubuhku, hingga aroma lembut sabun yang kugunakan cukup membantu menenangkan hatiku.
Dengan hati-hati kubuka kamar mandi tidak ada siapa-siapa. Aku mencari pakaianku, juga menaiki lemari, tapi pembungkus asetku tidak kutemukan disana.
Tanpa pikir panjang, aku buru-buru memakai pakaian yang sudah disediakan diranjang tempat aku tidur semalam, walau sebenarnya aku bingung semua size-nya sesuai ukuran ditubuhku.
Niatku, segera melarikan diri setelah selesai berpakaian.
Cklek.
Aku menoleh ke pintu, ternyata pria itu lagi. Dia sudah rapi, aroma tubuhnya menyebar, menyerang indera penciumanku.
"Begitu caramu berpenampilan ke kampus? Aku sudah menyiapkan seperangkat make-up untukmu di meja rias, gunakan itu supaya tidak kucel. Begitu selesai, temui aku di meja makan. Kita sarapan sebelum berangkat," ucapnya, lalu berbalik badan untuk keluar.
"Satu lagi," pria itu berhenti diambang pintu tapi tidak berbalik, hanya lehernya yang berputar setengah lingkaran.
"Singkirkan niat melarikan dirimu, kamu tidak bakal lepas dariku, mengerti."
Aku menelan ludah, menatap punggung lebarnya yang menghilang dibalik pintu yang menutup rapat. Bagaimana bisa dia tahu kalau aku mau melarikan diri?
Aku berjalan gontai menuju meja rias, memoles wajahku menggunakan make-up yang telah disediakan, khususnya menyamarkan lebam akibat tamparan kak Riska kemaren.
...***...
Setelah keluar dari unit luar biasa mewah itu, aku baru menyadari kalau semalam aku menginap di penthouse milik pria itu. Ya, ini pertama kali aku berada ditempat semewah itu.
"Katakan, siapa yang menampar pipi kananmu?" tanya pria itu, begitu langkah kaki kami keluar dari lift.
"Bukan siapa-siapa? Lalu apa perduli tuan? Bukannya tuan lebih jahat dari orang yang sudah menamparku? Menyekapku disini dan tidak membiarkanku bertemu adik-adikku!" emosiku langsung tersulut melihat sikapnya yang sok perduli itu.
Sreet....
Pria itu menyeret lenganku lalu mengunci tubuhku pada tembok kaca dibelakangku.
"Tanpa bertanya padamu, dengan mudah aku bisa tahu siapa yang melakukan itu padamu," ia menatapku dalam tanpa emosi.
"Aku bisa saja membawa adik-adikmu tinggal bersama kita disini. Tapi aku tidak bertanggung jawab untuk kesehatan mental mereka saat melihat kakaknya hidup seatap dengan seorang pria tanpa ikatan pernikahan. Apa kamu mau, kita mempertontonkan contoh yang seharusnya tidak mereka lihat?"
Aku kembali menelan ludahku, tatapan kami saling mengunci satu sama lain.
"K-kalau begitu... L-lepaskan aku, tuan. Aku mohon tuan... adik-adikku sangat membutuhkanku," aku memelas, hampir menangis.
"Aku sudah mengurus semuanya, ada orang-orangku yang mengawasi adik-adikmu untuk sementara waktu ini, juga bude Romlah, wanita itu sudah kutitipkan perongkosan untuk biaya hidup adik-adikmu selama kamu tidak ada bersama mereka."
Aku terdiam lama. Alasan apa lagi supaya bisa lepas dari pria ini?
"Kalau begitu, saya akan melaporkan tuan ke polisi, karena sudah menculik dan menyekap saya," ancamku menatapnya tajam.
"Mimpi. Ancaman kerupuk," pria itu mundur, melepaskan kunciannya.
"Lihat itu."
Aku melihat kearah yang ia tunjukan, aku kaget, bukannya itu pintu ruang kerja yang aku banting hingga rubuh waktu itu? Itu artinya, penthouse pria itu berada dihotel kantornya sendiri.
"Kenapa tidak diperbaiki? Tuan kekurangan uang?" ucapku asal dengan mata terbelalak.
"Konyol. Aku sengaja tidak memasangnya, untuk dijadikan bukti."
Aku mengusap jidatku yang disentil pelan olehnya.
"Silahkan kamu melarikan diri dariku, aku tidak akan segan-segan melaporkanmu balik ke polisi, karena sudah merusak kantorku dan barang-barang diruang kerjaku. Kamu tahu kan? Hukum itu tajam kebawah, tapi tumpul keatas. Berpihak pada orang-orang yang berkantong tebal."
"Lalu... Siapa yang akan merawat adik-adikmu saat kamu mendekam di penjara? Tidak ada, apalagi wanita besar yang kamu panggil bibi Anggi itu. Adik-adikmu akan di lempar ke panti asuhan, atau lebih buruknya ke jalanan. Mereka bisa mati kelaparan! Dan aku bahkan bisa melakukan yang jauh lebih buruk dari itu kalau kamu berani melawanku, apa kamu mengerti?" ancamnya balik dengan penjelasan panjang lebar.
Aku bungkam, hanya bisa pasrah.
"Selamat pagi tuan, nona,' Tania merunduk hormat saat kami melintas didepannya.
"Sepulang dari kampus Vina, berkas yang aku minta harus sudah siap dimejaku."
"Baik tuan," Tania kembali merunduk hormat, membiarkan aku dan bosnya itu berlalu memasuki lift menuju lantai dasar hotel itu.
"Saya tidak mau ke kampus, tuan?" aku ngedumel.
"Kenapa?" pria itu menoleh padaku saat akan memasang sabuk pengaman ditubuhnya.
"Memangnya saya mau rekreasi, masa ke kampus tidak bawa diktat atau buku catatan!" aku mendelik, memasang wajah kesal.
"Jangan khawatir, aku sudah mengurusnya. Kita akan menemui dekanmu, pak Murdiono, untuk mengambil semua diktatmu yang baru."
Aku tidak bicara lagi, pupus sudah harapanku untuk mencari 1001 alasan, bahkan pria ini tahu Bude Romlah, bibi Anggi, juga dekanku pak Murdiono. Entah apalagi yang dia tahu? Aku mendesah, serasa bebanku bertambah-tambah kali lipat, melebihi saat aku sering berhutang diwarung.
Bersambung...✍️
✍️Penthouse adalah unit hunian yang terletak di lantai paling atas gedung bertingkat, seperti apartemen atau hotel. Penthouse merupakan simbol kemewahan dan eksklusivitas, dengan desain yang premium, fasilitas lengkap, dan pemandangan kota yang indah.
✍️Pesan Moral : Tetap tenang, analisa keadaan, dan tetap waspada. (By : Author Tenth_Soldier)
🤣