Airin dan Assandi adalah pasangan suami istri yang saling dijodohkan oleh kedua orang tuanya dari kecil. Namun Assandi sangat tidak suka dengan perjodohan ini. Dia merasa ini adalah paksaan untuk hidupnya, bahkan bisa bersikap dingin dan Kasar kepada Airin. Namun Airin tetap sabar dan setia mendampingi Assandi karena dia sudah berjanji kepada orang tuanya untuk menjaga keutuhan rumah tangga mereka. Akankah Airin sanggup bertahan selamanya? Ataukah Assandi akan luluh bersama Airin? Atau malah rumah tangga mereka akan retak?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DewiNurma28, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mabuk
Assandi dan teman-temannya berpesta di sebuah cafe. Mereka merayakan hasil ujian yang begitu memuaskan.
Bahkan dirinya bisa mendapatkan peringkat pertama. Dimana bonusnya sangat banyak, bisa mendapatkan kemudahan untuk masuk perguruan tinggi dimanapun.
Dia mengundang ketiga temannya yang sering bermain basket bersama. Ada William, Paul, dan Rivan.
Mereka bersulang untuk merayakan keberhasilan mereka dalam ujian.
Karena mereka berempat bisa masuk sepuluh besar. Yang nantinya akan ikut kelulusan kelas dua belas empat bulan mendatang.
"Ayo teman-teman kita bersulang lagi." Ucap Assandi yang sudah mengangkat gelasnya.
Dia terus menuangkan wine ke dalam gelas teman-temannya.
"Cukup San, sudah cukup." Ucap William karena melihat Assandi yang sudah mabuk berat.
"Ayolah Will, sekali aja. Hehehe." Paksa Assandi.
Tangannya dengan cepat meraih gelas William untuk dia tuangi sebotol wine.
"Aaahhh, segar rasanya." Ucap Rivan.
"Sudah bro, sudah pusing kepalaku." Sahut Paul yang menghentikan tangan Assandi saat akan menuangkan winenya.
"Hahaha lemah kamu Paul." Ujar Assandi mengejek.
William menggelengkan kepalanya melihat tingkah temannya itu.
Dia merebut botol wine yang dipegang Assandi. William kemudian menuangkan wine ke gelasnya.
Dia menghabiskan wine tersebut agar Assandi tidak keterusan menuangkan ke dalam gelas temannya yang lain.
"Ayo pulang, kalian sudah mabuk berat." Ucap William.
Assandi menggeram, "Arrgghh, kenapa buru-buru amat sih Will. Santailah sedikit nikmati minuman ini."
Nada bicara Assandi sudah mulai meracau. William menggelengkan kepala melihat temannya itu.
"Kamu mau menginap disini begitu?" Sahut Rivan.
Paul mengangkat tangannya menyerah. Kepalanya sudah sangat pusing untuk berada disana.
"Mmbbbhhh, aku rasanya ingin muntah." Ujar Paul membekap mulutnya.
"Hissshh, jorok banget. Sana ke toilet dulu, kita tunggu disini."
William mendorong pelan tubuh Paul agar segera pergi ke toilet. Karena dia tidak ingin temannya itu membuang semua cairan tubuhnya di keramaian.
"San ayolah pulang, kasihan Paul udah sampai muntah itu." Ajak William.
William sendiri yang bertahan kuat tidak mabuk meski minum terlalu banyak. Beda dengan teman-temannya yang lain sudah teler lebih dulu.
Riva mengerjapkan matanya untuk fokus melihat ke depan. Dia hanya minum sedikit sehingga tidak membuat tubuhnya terlalu mabuk seperti Assandi dan Paul.
"Enggak, aku mau disini. Percuma aku pulang jika istriku nggak ada di rumah." Racau Assandi.
William dan Rivan saling berpandangan. Mereka melirik wajah Assandi yang sudah merah seperti kepiting rebus karena terlalu banyak minum.
"Pulanglah dulu, aku akan disini menunggu Airinku." Sambung Assandi.
William menghela napas pelan, "Sekarang sudah sadar dirimu, memang tidak bisa jauh darinya."
Assandi mengangguk, "Iya, aku sangat mencintainya. Aku sudah membuatnya menderita. Sampai dia pergi meninggalkanku."
"Ayolah San, dia pergi jauh ke luar negeri. Kamu mau menunggunya disini nggak bakal ketemu dia." Sahut Rivan.
"Kalian pulanglah dulu nggak apa-apa. Aku disini sendiri juga berani, aku ingin menemui Airinku."
"Aku sangat merindukannya." Sambung Assandi lagi.
William dan Rivan memijat kening masing-masing. Mereka bingung harus membawa temannya itu pulang dengan cara apa.
Sebab ditarik pun dia akan tetap bertahan pada tempatnya. Karena Assandi tidak mau pergi sebelum bertemu dengan Airin.
"Ayolah San, jangan membuat kita kesulitan seperti ini." Rivan mencoba menarik tubuh Assandi.
Tetapi tangannya ditepis keras oleh temannya itu. Rivan melotot tajam merasakan panas ditangannya.
"Nih anak susah bener dah, bagaimana ini Will?" Tanya Rivan.
William hanya diam memandang wajah Assandi yang sudah senyum-senyum sendiri.
"Kamu pulang dulu aja sama Paul. Kasihan tuh anak sudah teler." Tunjuk William ke arah Paul yang sudah tergeletak di sofa sebelah.
Rivan mengangguk, "Baiklah kalau begitu, aku pulang dulu. Nasihati itu bocah, kalau memang menyukai Airin jangan sia-siakan dia lagi."
William mengangguk paham, dia mengisyaratkan kepada Rivan agar segera pergi.
Rivan berlalu membawa Paul keluar dari cafe. Tinggallah William dan Assandi yang masih duduk disana.
Para pengunjung lain juga sudah ada yang mulai bepergian. Karena jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
William memajukan wajahnya menatap lekat wajah Assandi.
"San, serius kamu nggak mau pulang? Udah malam ini, nanti orang tuamu marah lagi."
Assandi menggeleng cepat, "Aku tetap disini akan menunggu Airin."
"Tapi San, Airin tidak ada di negara kita. Dia kan sedang pergi ke Paris."
"Aku tau Will, makanya aku ingin menunggunya disini."
William menghela napas kesal, "Kamu benar-benar mencintai dia?"
Assandi mengangguk, "Sudah aku bilang kan tadi, aku sangat mencintai dia."
"Iya aku tau San, tapi kamu sebelumnya sangat anti dengannya."
"Aku sudah salah Will, perbuatanku kepadanya kemarin-kemarin memang sangat buruk. Aku sudah keterlaluan."
"Kamu benar-benar sudah menyesalinya?"
"Iya, aku sangat menyesalinya. Mungkin sekarang dia pergi karena aku. Waktu itu aku mengucapkan tidak pernah mencintainya. Bahkan aku bilang aku hanya mencintai Rosy."
William memutar bola matanya. Temannya ini memang sangat keterlaluan.
Jelas saja Airin akan marah dan cemburu jika mendengar kalimat itu.
"Kamu kalau bicara memang tidak pernah dipikirkan dulu. Jelaslah istrimu itu kabur meninggalkanmu."
Assandi menatap wajah William, "Benarkah dia pergi karena aku? Bagaimana ini? Aku sudah keterlaluan."
Assandi mengacak-acak rambutnya. Dia mulai panik mendengar perkataan William.
"Kalau kamu ingin menebus kesalahanmu dengannya. Pergilah sana susul dia ke Paris." Saran William.
"Tapi aku harus meluluskan sekolahku dulu agar bisa meneruskan bisnis kakekku."
"Lebih penting mana? Bisnis kakekmu yang baik-baik saja atau cintamu yang tidak baik-baik saja?"
Assandi diam membuang mukanya, dia menunduk mengacak rambutnya lagi.
Kepalanya sekarang sudah mulai pusing karena terlalu banyak minum.
"Sekarang kamu tinggal pilih aja, mau Airin semakin menjauh darimu atau bisnis kakekmu yang sudah kaya raya."
"Entahlah Will aku bingung."
Assandi berdiri beranjak dari duduknya. Membuat William kebingungan melihat tingkahnya itu.
"Kamu mau kemana hah?"
"Mau pulang!!" Teriak Assandi dengan tubuh sempoyongan.
William berlari mengejar Assandi membantunya berjalan ke mobil.
Kali ini William yang mengendarai mobil Assandi. Dia sengaja meninggalkan mobilnya di cafe untuk mengantar Assandi pulang lebih dulu.
Mereka sudah melaju pelan dalam perjalanan pulang ke rumah Assandi.
Sesampainya disana, kedua orang tua Assandi sudah berdiri tegap menunggu kedatangannya.
"Assandi!! Kenapa dia?" Tanya Rosalina yang mulai panik.
"Maaf tante, dia minum terlalu banyak tadi sehingga mabuk seperti ini." Jelas William.
"Oh astaga sayang, kamu itu kenapa sih selalu membuat mama khawatir."
"Udahlah ma, aku mau masuk."
Assandi menepis pelan tangan ibunya. Dia sempoyongan masuk ke kamarnya.
Rosalina menatap nanar keadaan putra sulungnya. Begitu juga Fandi yang melihat Assandi dengan sedih.
"Terima kasih nak, sudah mengantarnya pulang." Ucap Fandi.
William mengangguk, "Sama-sama om, kalau begitu saya pamit dulu."
"Kamu naik apa?" Tanya Fandi celingukan.
"Tenang saja om, saya sudah memesan taksi online."
Tin...
"Nah itu dia sudah datang." Tunjuk William.
"Oh, baiklah kamu hati-hati dijalan ya."
William tersenyum kemudian meninggalkan rumah Assandi.
Fandi dan Rosalina masuk ke rumah menuju kamar putranya.
Tetapi pintunya dikunci rapat oleh Assandi. Rosalina menggeram karena tidak bisa membuka pintu kamar putranya.
Tok...
Tok...
Tok...
"Assandi sayang, buka pintunya nak. Mama dan papa ingin bicara denganmu." Ucap Rosalina.
Namun Assandi sudah merebahkan dirinya menutup mata. Dia tidak mau diganggu siapapun saat ini.
"Assandi."
Fandi menyentuh bahu istrinya, "Ma, sudahlah biar dia istirahat karena habis mabuk berat."
"Tapi pa, aku ingin bertanya padanya kenapa bisa semabuk itu."
"Besok sajalah ma, nanti malah dia tambah marah."
"Hisssh, papa ini. Kalau sampai kakeknya tau bisa gawat. Dia tidak akan mendapatkan warisannya nanti."
"Halah ma, kamu itu warisan, warisan terus yang dibicarakan."
"Loh harus pa, untuk masa depan Assandi nantinya."
"Halah, udah. Papa mau tidur."
Fandi meninggalkan istrinya yang masih panik di depan kamar Assandi.
Dia sudah muak dengan Rosalina yang terus membahas masalah warisan.
Padahal jika dilihat perusahaan yang sudah dia kelola sejak lama juga sudah membesar dan banyak cabangnya.
Tapi Rosalina itu terus mengingikan warisan dari ayahnya yang memang sangat menggiurkan.
Kisah cinta yang cuek tetapi sebenarnya dia sangat perhatian.
Alurnya juga mudah dipahami, semua kata dan kalimat di cerita ini ringan untuk dibaca.
Keren pokoknya.
The Best 👍