DASAR MANDUL!
6 tahun sudah, Hanabi Lyxia harus mendengarkan kalimat tak menyenangkan itu dikarenakan ia belum bisa memberikan keturunan.
Kalimat sumbang sudah menjadi makanannya sehari-hari. Meskipun begitu, Hana merasa beruntung karena ia memiliki suami yang selalu dapat menenangkan hatinya. Setia, lembut bertutur kata dan siap membela saat ia di bully mertuanya.
Namun, siapa sangka? Ombak besar tiba-tiba menerjang biduk rumah tangga nya. Membuat Hana harus melewati seluruh tekanan dengan air mata.
Hana berusaha bangkit untuk mengembalikan harga dirinya yang kerap dikatai mandul.
Dapatkah wanita itu membuktikan bahwa ia bukanlah seorang wanita mandul?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ATM30
"Apa maksud dari semua ini, Hanabi?! Kamu hamil?!" Damar tersentak.
"Ya, sudah dua bulan," jelas Hana.
"Kenapa kamu gak cerita sama Mas, Yank?" suara Damar bergetar.
"Saya juga baru tau," jawab Hana datar.
Di kursi belakang, suara tawa Jumiah terdengar lantang. Wanita baya itu beranjak dari duduknya sambil berkacak pinggang.
"Apa kamu akan terkecoh, Damar? Mana mungkin istrimu yang pembangkang itu hamil, dia itu mandul! Jikapun dia hamil, pasti anak itu merupakan benih dari salah satu kedua pria yang menjadi saksi itu!" Tuduh Jumiah sembari mengacungkan telunjuknya pada Gavriil dan David.
"Apa kamu lupa, Damar? Dua pria itu kan sejak dulu lengket bagai ngengat dengan istri mu! Kamu mau membesarkan anak orang lain?!" timpal Jumiah.
Gavriil lekas berdiri, menatap Jumiah sengit. Begitupun juga dengan David.
"Perkataan anda barusan itu, asalnya dari dengkul ya?" ucap Gavriil dengan rahang yang mengeras.
Jumiah tersentak mendengar perkataan Gavriil.
"Apa anda bisa mempertanggungjawabkan fitnah keji yang anda ucapkan tadi wahai nenek lampir?" ada ancaman di nada bicara David.
"N-nenek lampir kata mu? Beraninya k-"
"Jika bisa, saya akan mengatur jadwal dengan beberapa pengacara untuk memperkarakan tuduhan-tuduhan yang anda katakan tadi, bagaimana? Namun, jika anda sadar bahwa anda tidak akan mampu mempertanggungjawabkan fitnah tersebut, saya harap anda sekarang DUDUK dan DIAM." Sorot mata David sangat mengintimidasi, hingga wanita baya itu terdiam.
Jumiah memalingkan wajah, hatinya kini sangat berisik. Namun, wanita baya itu akhirnya kembali memilih duduk.
Detik berikut nya, Gavriil dan David pun kembali duduk di kursi masing-masing.
Damar melirik dua pria tampan itu, lalu kembali melirik pada sang ibu. Panjang ia menghembuskan nafasnya.
'Hamil anak pria-pria bajingan itu? Mustahil! Aku yakin Hana belum lama komunikasi dengan dua pria itu. Sejak kapan ya mereka komunikasi lagi? -- Ah, apa sejak malam di mana Hana kabur dari rumah? Karena malam itu Hana mengganti pasword ponsel nya. Benar, sudah pasti sejak malam beberapa minggu yang lalu. Jika sejak malam itu, berarti tidak mungkin anak yang di kandung Hana merupakan anak dari dua pria sok keren itu!' batin Damar sembari menatap Hana.
Sedangkan Hana, wanita berwajah sembab itu maju ke depan. Mendekati para hakim yang terlihat asik menonton huru hara biduk rumah tangga nya.
"Ini surat keterangan dari Dokter yang menyatakan saya tengah mengandung dengan usia janin dua bulan." Hana menyodorkan selembar kertas yang di keluarkan resmi dari rumah sakit.
"Lalu, agar tidak ada kesalahpahaman, saya kembali berkomunikasi dengan para saksi belum lama ini. Baru sekitar hampir satu bulan, tepat beberapa hari sebelum suami saya menikah lagi. Tujuan para saksi menghubungi saya pun tak lebih dari ingin membongkar kebusukan suami saya, Pak Hakim. Jadi ... dengan kata lain, saat bertemu lagi dengan sahabat-sahabat saya ini, saya sudah dalam kondisi mengandung."
Tuti berdecih mendengar penjelasan Hana.
"Lantas, apa tujuanmu membongkar kehamilan di depan suami ku? Kau berharap di beri nafkah meskipun telah bercerai?"
"Tutup mulutmu, Tuti!" Damar menoleh ke belakang dan menggeram.
Kedua tangan Tuti mengepal erat hingga buku-buku tangannya memutih.
Damar menggeleng kepala, menghela napas panjang lalu kembali menatap hakim.
"Mohon maaf, Pak Hakim. Izinkan saya mengajukan sebuah pertanyaan." Damar mengangkat telapak tangan kanannya tepat ke atas dada.
"Silahkan." Sahut Hakim tanpa menoleh.
"Bukan kah dalam agama kita, wanita hamil tidak boleh diceraikan atau pun menggugat cerai?" Damar mengulas senyuman tipis, ada secercah harapan dalam benaknya.
Hakim wanita menatap Damar sinis.
"Kata siapa? Wanita hamil boleh menggugat cerai, karena perceraian saat hamil diperbolehkan dalam fikih Islam. Namun, ada ketentuan-ketentuan yang harus disepakati oleh pasangan suami istri tersebut. Contohnya, Bapak ataupun Ibu, tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya. Jika sewaktu-waktu ada perselisihan mengenai penguasaan anak, Bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan sang anak kelak. Jika bapak tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa sang Ibu wajib ikut memikul biaya tersebut," jelas Hakim wanita.
"Untuk kasus persidangan saat ini, mustahil jika gugatan cerai ini dibatalkan. Karena semua bukti-bukti sudah jelas dan valid," timpal Hakim tersebut.
Damar memejamkan mata sejenak, pandangannya mendadak gelap saat mendengarkan penjelasan sang hakim. Ia berusaha memutar otak, agar Hana tak berpaling dari sisinya. Bibir pria itu kembali mengukir senyuman licik, lekas ia membuka mata dan kembali menatap hakim.
"Wahai Bapak dan Ibu Hakim, saya menerima gugatan cerai ini. Namun, tolong pertimbangkan permintaan saya." Damar kembali tersenyum licik.
Tiga Hakim menatap Damar, menunggu pria itu melanjutkan ucapannya.
"Jika anak yang di kandung istri saya sudah lahir, saya ingin hak asuh anak tersebut jatuh ke tangan saya," lanjut Damar.
"Alasannya?" alis sang Hakim wanita terangkat satu.
"Hana tidak pantas menjadi seorang ibu. Istri saya ini sangat tempramental dan akhir-akhir ini sering bersikap kasar. Saya khawatir akan didikan yang ia berikan pada anak saya kelak. Selain itu, Hana hanya seorang wanita pengangguran. Dia tidak akan mampu secara finansial mengurus anak kami. Oleh sebab itu, saya mohon pada para hakim untuk memberikan hak asuh anak tersebut kepada saya!"
*
*
*