Satu digit, dua, tiga, empat, lima, hingga sejuta digit pun tidak akan mampu menjelaskan berapa banyak cinta yang ku terima. Aku menemukanmu diantara angka-angka dan lembar kertas, kau menemukanku di sela kata dan paragraf, dua hal yang berbeda tapi cukup kuat untuk mengikat kita berdua.
Rachel...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon timio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Poni Yang Diacak-acak
Seminggu sudah berlalu, Rachel menikmati masa trainingnya. Sejauh ini ia belum menemui kesulitan yang berarti, ia baik-baik saja dan menuruti semua arahan Vano. Melalui sekretaris pribadinya Vano akhirnya tahu Rachel adalah seorang yatim piatu, ia tumbuh dan besar di sebuah panti asuhan jauh di pedalaman Orion, seluruh pendidikan hingga mendapat gelar yang ia punya itu datangnya dari beasiswa yang ia usahakan.
Lalu setelah dewasa dan menyelesaikan pendidikannya ia pindah ke kota, untuk memulai kehidupan yang lebih baik, awalnya ia bekerja paruh waktu di banyak tempat kurang lebih 2 tahun, lalu ia mencoba melamar pekerjaan di Numbers yang kebetulan membuka lowongan sesuai keahliannya.
Sedangkan Samuel Kim, yang notabene masih memiliki hubungan keluarga dengan Vano, adalah mantan kekasih Rachel. Insiden tali sepatu itu sangat Membekas Di Hati Vano, selama ia hidup belum pernah ada seorangpun di dunia ini baginya yang memperlakukannya semanis itu dan setulus itu, bahkan ibunya sendiri pun tidak.
Vano sangat yakin kejadian itu tidak dibuat-buat, karena gerak refleks Rachel, begitu juga ekspresi wajahnya yang memang terkejut, ditambah lagi ketika Rachel melihat dirinya duduk di kursi direktur, bagaimana wajah terkejut gadis itu, membuatnya selalu terbayang dan gemas sendiri.
Dari sekian orang yang duduk di sana menunggu giliran untuk diwawancara, hanya satu yang melihat ke arah dirinya yang tersungkur. Bagi Vano, Margareth ibunya adalah gambaran para pelamar yang apatis itu, tidak berniat menolongnya bahkan tidak menoleh sama sekali, berbeda dengan Rachel.
"Bagaimana bisa meninggalkan gadis seperti itu?", tanya Vano dalam hati.
📞 Rach : Halo, iya Sam ada apa? ", seru Rachel selirih mungkin tapi masih bisa didengar oleh Vano dikarenakan meja mereka hanya dibatasi rak buku.
Deg
Jantungnya berdebar mendengar kata Sam.
📞Rach : "Oh iya, nanti ya, aku masih kerja. Oke bye."
Hanya dengan mendengar kalimat itu saja Vano sudah menerka-nerka banyak hal.
Tiba-tiba Rachel berdiri, dan Vano juga spontan berdiri, Rachel menoleh sedikit heran.
"Hmm, Kak Vano mau ikut makan siang? ".
"Gimana kalau kita makan siang di sini aja? ".
"Oh ya udah Kak, aku kabarin Mikha dulu takutnya dia nungguin aku." sambil mengeluarkan ponselnya dan mengirim pesan.
"Jadi kamu makan siangnya bareng Mikha?".
"Iya kak, jadi sama siapa lagi. Teman aku paling dekat ya Cuma dia."
Vano mengira Rachel janji makan siang dengan Samuel, sehingga ia mencoba menahan Rachel untuk makan siang dengannya.
"Jadi apa yang mereka rencanakan? ", batin Vano.
Belakangan Ia juga merasa aneh akan dirinya sendiri, untuk apa juga ia harus tahu semua urusan Rachel, toh mereka juga hanya sebatas atasan dan bawahan. Tapi pada bagaimanapun ia denial pada dirinya sendiri, tetap saja ia penasaran dan segera mencari tahu, sesuatu yang menyangkut Rachel.
Diam-diam hatinya mulai nyaman melihat sifat terbuka Rachel, Gadis itu sangat menghormatinya sebagai atasan tapi ia berani berargumen dan mengutarakan pendapatnya, tidak langsung mengiyakan mentah-mentah semua perkataan Vano, dan ia yakin ia sangat tertarik dengan gadis yang baru dikenalnya ini.
Seperti kata Mikha, jangankan makan siang, berbaur dengan karyawan lain saja tidak. Jika ada yang melihat bagaimana cara mereka makan siang bersama di dalam ruangan setiap harinya, Rachel dan Vano pasti sudah di gosip kan habis-habisan.
Bagaimana tidak? Sudah seminggu terakhir ini beberapa kali mereka makan siang bersama, duduk berhadapan, berbincang ringan, sesekali tertawa, kadang di meja Rachel, kadang juga di meja Vano, kadang juga di meja tamu.
Semua yang Mikha ceritakan tentang bagaimana dinginnya sikap Revano kepada semua orang, tidak terlalu Rachel rasakan, karena baginya pria tampan putih pucat ini memperlakukannya cukup hangat, dan ceria, memang sedikit datar, tapi menurut Rachel itu wajar demi menjaga wibawanya sebagai direktur Numbers. Bahkan semakin lama Rachel merasa Vano sama sekali bukan direkturnya tapi lebih seperti sekerja biasa, karena memang Vano se flexible itu terhadapnya.
"Kak, gimana kerjaan aku seminggu ini? ", tanya Rachel.
"Hmm kamu cukup bagus, mudah tanggap, lumayan cepat menguasai, tapi untuk estimasi Ws kamu masih kurang paham."
"Aku juga ngerasa bagian itu yang paling sulit."
"Nggak apa-apa, semua asisten emang di awal-awal kesulitannya di bagian itu, tapi dibanding yang lain yang pernah aku training, kamu lumayan cepet loh, cuma perlu dipoles sedikit lagi." Jelaskan sambil melahap makanannya.
"Sippp ka Vano." jawab Rachel sambil cengengesan, dan hanya ditanggapi senyum tipis oleh Vano.
🍀🍀
Rachel sedang sibuk dengan iPad yang diberikan Vano, begitu juga dengan kertas-kertas grafik, dan penghitungan di komputernya, hari ini ia berusaha menyelesaikan estimasi Ws dengan baik tanpa minta bantuan ke Vano lagi.
Tok tok tok
Pintu diketuk dari luar, dan membuatnya agak kesal karena ia sedang konsentrasi.
"Vano... ", seru seorang wanita berusia 50-an dengan tampilan elegan masuk ke dalam ruangan itu, Rachel langsung keluar dari mejanya di titik itu juga dan menyambut wanita itu.
"Selamat datang Bu, Ada yang bisa saya bantu? ", tanya Rachel sambil membungkukkan badannya.
"Saya mencari direktur."
"Beliau sedang pergi ke kantor pengawas bu, tapi sebentar lagi dia akan kembali. Silakan duduk Bu sembari menunggu." tawar Rachel, wanita itu pun duduk dan dan terus memperhatikan Rachel.
Wanita itu adalah Margareth Anggasta, CEO numbers sekaligus Ibu dari Vano yang sama sekali tidak dikenal oleh Rachel.
"Kamu karyawan baru ya? ", tanya Margareth.
"Iya Bu, saya masih asisten training di bawah bimbingan Kak Vano. Hmm... Kantor Kami punya teh chamomile yang bagus, sembari menunggu sebaiknya Ibu minum itu." tawar Rachel.
"Oh ya boleh." jawab Margaret.
Rachel segera membuatkannya dengan gembira, ia tidak perlu keluar ruangan karena ada pantry di dalam ruangan besar itu.
"Boleh tahu nama kamu? ", tanya Margaret sambil menyeruput tehnya.
"Rachel Bu, Rachel Capistran."
"Hmm... Bagaimana pengajar di numbers mendidik siswanya? Saya salah seorang orang tua siswa, jadi saya ingin tahu karena selama belajar di sini anak saya itu meningkat sekali belajarnya. Nilainya di sekolah juga membaik." Margareth menguji Rachel.
"Waahh, beneran bu? Senang sekali mendengarnya. Di numbers setiap anak diperlakukan berbeda, tergantung tingkat pemahaman dan kecepatannya. Baik anak yang cepat paham ataupun kurang, wajib melakukan pengulangan materi yang tujuannya supaya si anak terus mengingat materi itu. Setiap anak dituntun untuk Mandiri kecuali anak yang memang kemampuannya kurang, kami menuntunnya dengan memberi petunjuk bukan jawaban.
Agar si anak itu tetap menemukan jawaban dengan sendirinya bukan bergantung. Ditambah lagi di numbers ada lembar kerja yang dikerjakan setiap harinya, tujuannya untuk berlatih dan menghafalkan. Selain itu numbers juga membuat target untuk dicapai si anak, contohnya anak kelas 1 SD bisa saja mengejar target untuk pelajaran kelas 3 SD, jadi hal itu memudahkannya mengejar pelajaran di sekolah.
Ada motivasi yang tertanam dengan sendirinya ketika target materi dibuat, lagi ada penghargaan yang bisa dicapai si anak ketika ia bisa melampaui levelnya. Begitu kami mendidik siswa Kami bu." jelas Rachel. Margaret tersenyum puas mendengar jawaban itu.
Tok tok tok
Klek pintu dibuka, dan dari sana muncullah orang yang mereka tunggu.
"Mama? ", kaget Vano.
"MAMA?! ", tanya Rachel dan matanya membulat sempurna. Wajahnya yang tadi tenang dan ceria tiba-tiba saja berubah panik.
Lalu satu tepukan lembut mendarat di pundak Rachel, " jangan terlalu kaget Rachel." seru Margaret Dan Tersenyum.
"Asisten kamu hebat, kamu mendidiknya dengan baik, jawabannya ringan dan mudah dimengerti, cocok untuk menghadapi orang tua siswa. Dia cakap dan ceria, tapi tubuhnya terlalu mungil, mama kira tadinya dia siswa yang nyasar ke ruangan kamu. Kerja bagus Rahel." serunya menepuk pundak Rachel sekali lagi.
"Mama mau nemuin aku?". Tanya Vano.
"Rachel sudah cukup menjelaskan numbers baik-baik saja. Mama pergi ya." serunya dengan enteng lalu keluar ruangan.
Seperginya Margareth, Rachel menatap Vano dengan kaku. Ia bingung apa yang ia rasakan sebenarnya, antara kaget atau takut. Vano malah tepuk tangan dan tersenyum kepadanya.
"Wanita yang tadi kamu temui itu adalah wanita yang paling sulit dijinakkan di Numbers, bahkan untuk aku sendiri. Aku nggak tahu kamu punya apa tapi kamu dengan mudahnya membuat dia terkesan. Good job Rachel. " sambil mengajak-ngajak poni Rachel.
"Aku keluar sebentar Kak, permisi." seru Rachel tiba-tiba tanpa menunggu persetujuan Vano dan keluar begitu saja.
Tidak tanggung-tanggung ia malah pergi ke lantai 2, tepatnya tempat yang selalu ia kunjungi hampir setiap hari, gudang WS yang selalu sepi.
Klek, yang Mengunci pintu.
"Aaaaa.......... Astaga Ya Tuhan, adududu... Poni gua yang diacak-acak, Kenapa malah hati gua yang berantakan." teriaknya senang, sambil menggosok-gosok wajahnya sendiri hingga memerah. Ia juga mengingat bahwa dirinya di puji orang nomor satu di Numbers Institute, Margareth.
"Mimpi apa gue... ".
.
.
.
TBC... 💜