Cincin Raja Tiga Dunia
Kevin mengumpan pancingnya seperti biasa, berteduh di bawah rindangnya pohon keberuntungan. Di mana ia sering mendapat banyak strike hingga mampu membawa pulang 3kg ikan sungai.
"Aku lapar"
"Itu bagianku"
"Enak sekali kan berteduh di situ"
"Segar bukan"
Kevin mendengar banyak suara yang begitu lirih di gendang telinganya, sangat pelan namun tetap saja ia mendengar seperti bisikan. Pemuda 20 tahun itu menoleh ke sekitarnya, namun hanya ada ia sendiri di sana.
"Ini, tak mungkin siang hari muncul hantu kan?", gumam Kevin, mengusap tengkuknya yang tiba-tiba bergidik.
"Perasaan, kemarin ngga ada apa-apa deh", lirih Kevin, mengabaikan suara-suara itu dan fokus menarik joran pancing, karena umpannya telah dimakan.
"Strike! ", pekik Kevin seraya terus menggulung senarnya.
"Ah, sakit"
"Hm, siapa yang mengeluh?", gumam Kevin saat menangkap ikan yang tersangkut di mata kailnya. Pemuda itu pun melihat ke arah ikan di tangannya, lantas meletakkan ikan itu ke dalam jaring ikan hasil tangkapan yang ia tenggelamkan sebagian di dalam air.
"Alhamdulillah"
"Woi! Siapa woi!", pekik Kevin, tak tahan lagi dengan suara-suara di telinganya.
"Keluar kalian! Jangan sembunyi dan menakutiku!", pekik Kevin. Namun tak ada siapapun yang menyahut seruannya.
Beberapa orang yang mendengar seruan Kevin dari jauh, malah mengira pemuda ini ODGJ. Karena tampilannya yang kumal dan kulitnya yang kusam.
Kevin Zeivin, putra dari seorang pria kaya yang menghamili pembantunya. Ia dibuang di depan panti asuhan dengan kalung bertulis namanya, juga uang senilai 400 juta sebagai biaya sementara.
Sejak kecil Kevin sudah dididik untuk memiliki skil bertahan hidup seperti dasar memasak, menjahit, berkebun, dan berdagang. Namun pemuda ini begitu keras kepala dan memilih hobinya, memancing di sungai dan menjual sebagian jika hasilnya melimpah, sisanya ia makan. Sehari-hari ia tinggal di rumah pohon buatannya di pinggir makam kampung.
Kemarin ia menemukan sebuah cincin kusam di dalam perut ikan lele yang cukup besar. Karena merasa cukup bagus sebagai aksesoris, ia pun mengenakannya di jari manis. Sejak saat itu, ia mulai mendengar lirih suara-suara yang belum ia ketahui asalnya.
"Duh, kalau begini terus, aku bisa saja mengalami gangguan jiwa. Mancing pun tak tenang sekarang", keluh Kevin, mencoba melempar umpannya lagi. Meski terganggu, tangkapan hari ini sudah sekira 2 kilo. Tentu ia akan terus menangkap setidaknya 5 kilo agar bisa menjual sebagian ke pedagang ikan langganannya.
Saat itu, awan mendung pun tiba. Kevin tidak peduli dengan cuaca. Asalkan tidak ekstrim, ia akan terjang demi hobi yang berulang kali cuan baginya.
"Vin!", sapa Hendra, orang yang biasa iseng mencuri ikannya.
"Ngapain kamu? Mancing sendiri sana! Sungai ini panjang dan lebar, jangan ganggu aku!", usir Kevin saat Hendra baru saja duduk di sampingnya.
"Beuh! Galak amat kau Vin. Belum sarapan ya? Tuh hidungmu kembang kempis kayak kurang tenaga", ledek Hendra.
"Sialan kau Ndra! Pergi sana!", Kevin kembali mengusir Hendra dengan mengacungkan telunjuknya ke arah kanan agar dia menjauhinya.
"Sabar lah Vin. Sudah miskin, muka pas pasan, gampang naik darah pula. Nanti mati muda baru tahu rasa", ujar Hendra.
"Ck! Itu karena kau suka maling ikanku Ndra! Cepat pergi sana!", usir Kevin.
"Makanya, bagi lah rezekimu, satu saja untukku", Hendra pun mengatakan keinginannya.
"Tuh kan!", Kevin jelas tidak suka karena Hendra begitu pelit dan perhitungan, namun saat meminta seakan dirinya adalah orang paling miskin di dunia. Apalagi jika tidak diberi, ia akan mencuri meski hanya satu saja.
"Ambil lah satu. Ingat, satu!", Kevin tidak ingin menambah masalah, karena telinganya masih diganggu suara-suara yang tak ia ketahui asalnya.
"Nah, gitu dari tadi kek, kan cakep", ucap Hendra, lantas mengambil ikan paling besar dari tangkapan Kevin.
"Tuh, ngga tahu diri kan? Udah minta, milih lagi yang paling gede", hardik Kevin.
"Udah lah Vin, kau kan orang paling dermawan di dunia. Jadi, tak apa lah membantu orang ini yang tak punya apa-apa", sahut Hendra tanpa rasa malu, menenteng ikan mujaer dengan memasukkan dua jarinya ke insang ikan seberat 600 gram itu.
"Ah, sakit"
Kevin mendengar suara yang berasal dari ikan di tangan Hendra. Berulang kali ia menajamkan pendengaran, suara lirih itu memang berasal dari si ikan.
"Apa aku sudah gila?", batin Kevin.
"Terimakasih dermawanku. Kalau butuh bantuan, panggil saja aku. Kita kan nggak punya kontak atau ponsel, jadi berdoa saja. Semoga Tuhan mengabariku", kelakar Hendra lantas tertawa.
"Pergi cepat!", usir Kevin, tak peduli dengan ucapan Hendra yang segera melangkah bahagia membawa ikan sebesar itu di tangannya.
"Sejak kapan aku jadi gila, bisa dengar suara ikan", gumam Kevin. Ia sebenarnya tidak mendengar suara ikan seperti suara manusia. Namun entah bagaimana, otaknya bisa menerjemahkan suara sepelan dan seaneh itu menjadi bahasa manusia yang seolah digemakan ke gendang telinganya.
Seharian memancing, Kevin berhasil mendapat 10 kg ikan. Dua ia konsumsi sendiri, sisanya ia jual dan memperoleh uang 125 ribu.
"Lumayan lah. Bisa buat beli jaring yang lebih besar, joran, dan sambel", ucap Kevin. Tampilannya seperti gelandangan juga wajahnya yang pas pasan, membuatnya dijauhi banyak orang.
Kevin tak bergeming karena memang sudah biasa. Sore itu ia mandi di tepi sungai, berusaha mengabaikan semua suara-suara yang bergema di telinganya.
Malam itu, Kevin tengah berbaring di dahan pohon yang ia tambahkan papan seadanya dan dipasak dengan pasak kayu.
"Sebenarnya, kenapa Tuhan menciptakan manusia tanpa daya sepertiku? Aku merasa tidak ada bedanya dengan tikus got yang mencari makan, dihina, dan mudah ditindas siapa saja", gumam Kevin.
Kevin terus berpikir namun tidak menemukan jawaban apapun di benaknya. Samar-samar ia melihat gemerlap bintang jarang-jarang, nampak di sela dedaunan yang bergoyang tertiup angin malam.
"Mereka sama denganku, ada sebagai pajangan saja. Untuk apa sebenarnya aku hidup dan berjuang hanya demi makan. Toh akhirnya mati juga tanpa tahu tujuannya. Begitu juga denganmu saat tiba ajalmu kan bintang?", gumam Kevin yang pernah mendengar teori ledakan bintang saat kehabisan energinya di kala ia sekolah dulu.
Puas memandang bintang ditemani suara hewan malam dalam kesunyian khas sekitar makam, Kevin pun terlelap tidur. Ia bermimpi didatangi seberkas cahaya namun bisa berbicara. Anehnya, cahaya itu tidak menyilaukan saat dipandang, namun juga tak mampu ia melihat bentuk sebenarnya dari sosok cahaya di hadapannya.
"Kutitipkan cincin ini kepadamu. Berbuat lah kebaikan. Tingkatkan kemampuanmu sampai bisa menguasai kerajaan hewan, tumbuhan, dan angin"
Sosok cahaya itu pun melesat ke dahi Kevin hingga pemuda itu merasakan nyeri.
"Aagh!", pekik Kevin di malam sunyi, berteman suara burung hantu di dekat pemakaman umum. Semua ingatan terkait kemampuan berbicara dengan hewan, tumbuhan, dan udara, juga pengedalian mereka, tertanam dalam benaknya.
Pemuda itu terbangun dengan dahi bercucuran keringat dingin. Ia menyentuh dahinya yang serasa berlubang.
"Hufh, ternyata cuma mimpi", gumam Kevin setelah memastikan, tidak ada darah atau lubang di dahinya.
Ia melihat cincin yang sebelumnya ada di jari manisnya, kini menghilang entah ke mana.
"Aneh!", batin Kevin, masih belum percaya dengan apa yang ia lihat dalam mimpi, juga hilangnya cincin itu dengan tiba-tiba.
Keesokan pagi, Kevin kembali mencari umpan berupa cacing tanah dan bersiap memancing lagi. Namun anehnya, ia semakin jelas mendengar suara-suara hewan, bahkan semut yang dipijaknya, juga pohon yang semalam ia gunakan untuk tempat tinggalnya.
"Apa mimpi semalam itu benar?", mau tak mau, Kevin pun semakin penasaran dan mencoba membuktikannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments