Agnes tak pernah menyangka, sebuah foto yang disalahartikan memaksanya menikah dengan Fajar—dosen pembimbing terkenal galak dan tak kenal kompromi. Pernikahan dadakan itu menjadi mimpi buruk bagi Agnes yang masih muda dan tak siap menghadapi label "ibu rumah tangga."
Berbekal rasa takut dan ketidaksukaan, Agnes sengaja mencari masalah demi mendengar kata "talak" dari suaminya. Namun, rencananya tak berjalan mulus. Fajar, yang ia kira akan keras, justru perlahan menunjukkan sisi lembut dan penuh perhatian.
Bagaimana kelanjutan hubungan mereka? Apakah cinta bisa tumbuh di tengah pernikahan yang diawali paksaan? Temukan jawabannya di cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Di Bioskop Mall X
Fajar berdiri di depan pintu masuk bioskop, mengenakan jaket hitam dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku. Wajahnya datar, dengan tatapan tajam yang menyapu sekeliling. Setelah menerima pesan dari Agnes yang memintanya datang ke tempat ini, ia merasakan campuran emosi—antara senang dan bingung. Sebelumnya Agnes begitu marah padanya, tapi kini, tiba-tiba, sang istri memintanya datang ke bioskop, bahkan disertai ancaman jika ia tidak hadir.
Fajar melirik jam tangannya. "Kenapa dia belum datang?" gumamnya, sembari terus mengamati sekitar. Namun, yang muncul di depannya bukan Agnes, melainkan Sherly, yang melambaikan tangan dengan penuh antusias.
"Kak Fajar!" seru Sherly dengan nada ceria, membuat beberapa orang di sekitar menoleh.
Fajar mengernyit, dahinya berkerut. "Sherly?" Ia menatapnya dengan pandangan penuh tanda tanya, tetapi nada suaranya tetap datar. "Kenapa kamu di sini?"
Sherly tersenyum malu-malu, lalu mengeluarkan tiket bioskop dari tasnya. "Aku pikir, kita bisa nonton bareng. Agnes yang bilang, kan?"
Mata Fajar menyipit tajam, ekspresinya berubah menjadi dingin. Ia melipat kedua lengannya di dada, tubuhnya tegak seperti sedang menahan amarah. "Jadi, dia sengaja nyuruh kamu ke sini?"
Sherly menelan ludah, merasa sedikit terintimidasi oleh tatapan tajam Fajar. "I-iya... Agnes bilang—"
"Berhenti mencari alasan atas namanya," potong Fajar dengan nada rendah namun penuh ketegasan. "Dia istriku. Aku nggak akan percaya begitu saja sama kamu."
Sherly tertegun, tetapi berusaha tersenyum lagi. "Tapi, Kak, aku nggak bohong. Agnes sendiri yang bilang..."
Fajar mendekat, membuat Sherly mundur selangkah. "Yang apa? Memintamu ngisi tempat yang bahkan nggak pernah kosong?" suaranya rendah, hampir seperti desisan, namun sarat dengan kemarahan yang terkontrol.
Sherly terdiam, matanya berkedip beberapa kali. "Kak, aku..."
"Jangan panggil aku 'Kak' lagi," potong Fajar sekali lagi, suaranya semakin dingin. "Dan mulai sekarang, berhenti nyari alasan buat deket-deket aku. Kalau kamu pikir Agnes sengaja kasih kamu jalan, kamu salah besar. Itu cuma cara dia buat nunjukin betapa bodohnya kamu."
Sherly terdiam, bibirnya gemetar. Ia tak menyangka Fajar akan bersikap sekeras itu.
Fajar menghela napas panjang, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Saat itu juga, matanya menangkap sosok Agnes yang sedang mengawasinya dari kejauhan.
"Agnes," panggil Fajar dengan suara rendah tapi penuh emosi.
Agnes, yang sejak tadi sudah berada di sekitar bioskop dan mendengar kemarahan Fajar, ingin segera melarikan diri. Tapi sayangnya, ia justru tertangkap basah.
"Agnes!" panggil Fajar sekali lagi dengan nada tegas.
Langkah Agnes seketika terhenti. Ia menutup mata rapat-rapat sambil berbisik pelan, "Ketangkap..."
Dengan ragu, Agnes membalikkan badan, memamerkan senyum palsu terbaiknya. "Eh, Pak... kok di sini? Kebetulan banget ya... Hai juga, Sherly."
"Agnes, bisa jelaskan ini semua?" tanya Fajar dengan nada tajam.
Agnes hendak membuka mulut, tetapi Sherly langsung menyela, "Agnes, kamu merencanakan ini semua, jangan jadikan orang lain kambing hitam demi kepentinganmu sendiri!"
Agnes menelan ludah dengan susah payah, lalu menunduk kecil. Perlahan-lahan, ia menganggukkan kepala, mengakui semuanya.
Sherly pun tersenyum puas. "Lihat, Kak, bukan aku yang memaksanya. Tapi dia sendiri. Dia juga bilang ingin berpisah denganmu dan menggunakanku sebagai tamengnya."
"Apa itu benar, Nes?" tanya Fajar lagi dengan nada datar.
Agnes memejamkan matanya lebih erat, tubuhnya menegang seolah menunggu amarah Fajar yang akan segera meledak.
"Kak Fajar," Sherly mencoba memegang lengan Fajar dan ingin bergelayut manja. Namun, Fajar langsung menepis tangannya.
Sherly tak marah, malah tersenyum kecil. "Kak, di dunia ini masih banyak yang mencintaimu. Kalau Agnes sudah tidak ingin bersamamu, lebih baik lepaskan. Dan aku—"
Belum selesai Sherly berbicara, Fajar menyela tegas, "Pergi dari sini."
Ucapan itu menggelegar, membuat Agnes membuka mata dan Sherly melongo tak percaya.
"Agnes, apa yang kamu inginkan sudah tercapai, kan? Kenapa masih di sini?" ujar Sherly dengan nada sinis.
Entah mengapa, kata-kata Sherly terasa seperti duri bagi Agnes. Meskipun apa yang dikatakannya benar, ada rasa sakit yang menyayat hatinya, seperti separuh nyawanya menghilang, bukankah ini yang ia mau? Tapi kenapa?
Agnes berbalik dengan langkah berat, berniat pergi dari tempat itu. Baru saja ia melangkah, lengannya dicekal oleh Fajar.
"Mau ke mana kamu?" tanya Fajar dingin.
"Hah?!" sahut Agnes bingung, wajahnya cengoh. "Bukannya tadi Bapak menyuruhku pergi?"
"Apa aku menyebut namamu?"
"Kalau bukan aku..." Agnes menunjuk dirinya sendiri, "berarti dia?" tanyanya sambil melirik Sherly.
"Aku? Kak Fajar, ini..." Sherly terbelalak, bingung dengan situasi yang berbalik arah.
"Istriku sudah di sini. Kami mau menghabiskan waktu bersama. Anggap saja semua ini drama yang diciptakan istriku," ucap Fajar sembari merangkul Agnes.
"Ta... Tapi Kak..."
"Aku ingat di depan ada diskon tas bermerek. Kamu bisa membelinya sebagai gajimu karena sudah membintangi drama ini." Fajar memindahkan tangannya ke jari-jari Agnes, menggenggamnya erat. Sebelum pergi, ia menambahkan, "Tagihannya kirim ke ruanganku, besok."
"Kak Fajar! Agnes!" teriak Sherly dengan nada kesal.
Fajar tak menggubris teriakan Sherly. Ia hanya fokus pada Agnes yang masih terlihat canggung di sisinya. Ia menarik tangan Agnes dengan lembut, membawanya masuk ke dalam bioskop tanpa berkata apa-apa. Begitu mereka sampai di dalam studio, Fajar memilih tempat duduk di barisan tengah, jauh dari keramaian.
Suasana hening, fajar diam seribu bahasa setelah mereka duduk, membuat Agnes tak enak hati. Ia pun mulai bicara, "Pak, Maaf... Aku..." Agnes bingung ingin mengatakan apa terlebih saat ini Fajar mulai fokus pada layar monitor.
Fajar tetap diam, pandangannya terpaku pada layar di depan. Agnes menatapnya dengan gugup, mencoba mencari keberanian untuk melanjutkan kata-katanya.
"Pak... Aku tahu aku salah. Aku nggak seharusnya merencanakan hal aneh tadi," katanya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara film. "Aku cuma... Aku kesel aja, Bapak gak nepati janji Bapak untuk tidak memberitahu siapapun tentang pernikahan kita, tapi Bapak justru memberitahu Sherly."
Fajar tetap diam. Ia hanya melirik sekilas ke arah Agnes yang kini mencoba untuk membuka mulut lagi, "Pak jangan diam aja dong. Bapak dengar gak sih apa yang aku bilang?"
Melihat Fajar tetap diam dan lebih memilih fokus pada layar monitor, dada Agnes bergemuruh hebat, ia tahu jika dirinya salah, tapi gak seharusnya diabaikan seperti ini kan?
Merasa tertantang dengan sikap Fajar, dengan napas memburu Agnes merai wajah fajar memaksa untuk melihat dirinya.
Fajar terkejut ketika tangan Agnes dengan cepat menyentuh wajahnya, memaksa pandangannya beralih dari layar ke dirinya. Mata mereka bertemu, dan dalam cahaya redup bioskop, Fajar bisa melihat sorot emosi yang menggelegak di mata Agnes—campuran marah, terluka, dan penuh kerinduan.
"Pak, aku tahu aku salah," katanya dengan suara yang lebih pelan namun tegas. "Tapi aku nggak bisa terus diabaikan seperti ini. Kalau Bapak marah, aku terima. Kalau Bapak mau aku pergi, aku juga akan pergi... Tapi tolong jangan diam seperti ini. Rasanya sakit."
Fajar tetap diam, membuatnya benar-benar frustasi. Tanpa berpikir panjang, Agnes menarik wajah Fajar lebih dekat dan mengecup bibirnya dengan cepat. Ciuman itu singkat, namun sarat dengan keputusasaan dan ketulusan. Agnes menjauh sedikit, napasnya memburu, wajahnya memerah karena keberaniannya sendiri.
Namun, saat Agnes menjauh, Fajar menarik tengkuk Agnes dan melanjutkan kembali ciuman itu. Kali ini Fajar merasa, tidak ada penolakan lagi dari sang istri.
eh ini kok malah minta tolong ke fajar buat jd kekasih adiknya sehari.. haduuh itu malah bikin sherly tambah gila lah
licik sekali kamu Serly,,,,,,