NovelToon NovelToon
Civil War: Bali

Civil War: Bali

Status: tamat
Genre:Action / Sci-Fi / Tamat / Spiritual / Kehidupan Tentara / Perperangan / Persahabatan
Popularitas:565
Nilai: 5
Nama Author: indrakoi

Di masa depan, dunia telah hancur akibat ledakan bom nuklir yang menyebabkan musim dingin global. Gelombang radiasi elektromagnetik yang dahsyat melumpuhkan seluruh teknologi modern, membuat manusia kembali ke zaman kegelapan.

Akibat kekacauan ini, Pulau Bali yang dulunya damai menjadi terjerumus dalam perang saudara. Dalam kehidupan tanpa hukum ini, Indra memimpin kelompok Monasphatika untuk bertahan hidup bersama di tanah kelahiran mereka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 4

Indra menghela napas berat saat melangkah masuk ke rumah Kertih. Suasana di dalam ruangan terasa berat dan dipenuhi dengan aroma obat-obatan untuk menangani luka. Kertih terbaring lemah. Wajahnya pucat namun masih tersisa senyum tipis saat melihat Indra.

"Di luar dugaan, ternyata banyak sekali warga yang gugur. Syukurlah kau masih hidup, Pak Kertih." Ucap Indra.

Sejak Adi berangkat ke Singaraja untuk memanggil bantuan Monasphatika, situasi di Pancasari berubah menjadi semakin kacau. Desa yang biasanya tenang dan damai itu kini dipenuhi jeritan dan tangisan.

Para warga, yang sebagian besar adalah petani, berusaha mati-matian mempertahankan ladang dan hasil panen mereka dari para penjarah. Banyak yang terluka, bahkan tak sedikit juga yang tewas. Kertih, sebagai salah satu petani yang ikut bertarung, menderita luka tebasan di lengannya dan beberapa tusukan di tubuhnya.

Ketika Indra dan Pasukan Monasphatika tiba, mereka langsung terjun menangani korban. Mereka memeriksa satu per satu warga yang terluka, serta memeriksa kebun-kebun yang nyaris dijarah. Untungnya, tidak ada kebun atau lumbung yang berhasil dijarah. Pasokan kentang masih utuh, tak berkurang sedikit pun.

Di sudut ruangan, Ayu, putri Kertih, menangis tersedu-sedu. Tubuhnya gemetar seolah masih ketakutan dengan kejadian mengerikan yang baru saja menimpa mereka.

Sementara itu, Indra bersandar di pintu menatap Kertih dengan perasaan campur aduk. Baginya, Kertih bukan sekadar petani biasa. Dia adalah dosen yang pernah mengajarnya di bangku kuliah dulu. Saat ini, Kertih adalah kepala petani di desa Pancasari yang memasok makanan Pasukan Monasphatika serta warga kota Singaraja.

"Aku tahu ini bukan saat yang tepat." Ujar Indra, memecah keheningan. "Tapi bisakah kau ceritakan dari mana para penjarah itu datang?"

Kertih mengerang kesakitan saat Kiara mengencangkan perban di lengannya. "Mereka datang dari wilayah Baturiti." Jawab Kertih sembari menahan rasa sakit.

"Mereka tampaknya bagian dari kelompok terorganisir. Aku melihat mereka memakai seragam rompi hitam dengan warna merah di pundaknya." Tambahnya lagi.

Indra mengangguk pelan dan meninggalkan ruangan. "Kalau begitu, aku mau ke sana."

"Hei, tunggu! Kau mau ke mana? Itu bukan wilayah kita!" Teriak Kiara mencoba menghentikan Indra. Akan tetapi, Indra sudah pergi meninggalkan rumah Kertih dengan kudanya.

...***...

Sesampainya di Baturiti, tepatnya di desa Batunya, Indra disambut oleh pemandangan yang memilukan. Para warga berlarian ke segala arah dengan jeritan dan tangisan yang memenuhi udara. Mayat-mayat orang yang baru saja tewas juga berserakan begitu saja di pinggir jalan.

Beberapa meter di depan, salah satu warga terlihat sedang dipukuli di tengah jalan oleh dua pria berompi hitam dengan aksen merah di pundak mereka. Salah satu pria itu berambut gondrong, sementara yang lain botak. Wajah mereka keras dan tanpa belas kasihan, seolah-olah mereka adalah algojo yang sedang menjalankan tugas.

Indra mengendalikan kudanya dengan tenang. Matanya menyapu seluruh pemandangan yang kacau balau itu. Tanpa ragu, ia mengarahkan kudanya ke arah dua pria berompi itu, sengaja membuat kudanya melintas dekat hingga hampir menginjak mereka.

"Woi, kau sengaja, ya?! Siapa kau, bangsat?!" Bentak pria berambut gondrong dengan wajah merah penuh amarah.

Indra berhenti sejenak, lalu memutar kudanya dengan pelan. Ia turun dengan tenang menghampiri kedua pria itu dengan senyum tipis di bibirnya.

"Wah... Maaf ya, aku baru belajar naik kuda. Jadi, belum terlalu paham cara menghentikannya. Hehehe," Ujar Indra berpura-pura polos sambil menggaruk belakang kepalanya.

"HAH?! Baru belajar? Jelas-jelas kau bisa muter balik kudamu!" Pria gondrong itu membentak lagi.

"Ahahaha..." Indra tertawa masam, tapi matanya tetap waspada. "Ngomong-ngomong, apa yang terjadi di sini? Kalian penjarah, ya?"

Wajah kedua pria itu langsung berubah. Alis mereka mengerut dan urat-urat di pelipisnya menonjol. Pria botak yang sebelumnya diam, tiba-tiba melangkah mendekat. Tangannya mencengkram jubah hitam Indra dengan kasar.

"PENJARAH KAU BILANG?! JUSTRU KAMI YANG MELINDUNGI MEREKA DARI PENJARAH!" Teriaknya, sambil menunjuk ke arah warga yang baru saja mereka aniaya.

"Kami adalah pasukan keamanan wilayah Tabanan. Karena kau nggak tahu siapa kami, bisa aku simpulkan kau bukan dari sini, kan?" Ia melepaskan cengkramannya dengan kasar, mendorong Indra sedikit mundur.

"Iya, hehehe. Maaf ya, aku nggak tau." Kata Indra masih berpura-pura cengengesan. "Tapi, kalau kalian melindungi mereka, kenapa malah menimbulkan kekacauan di sini?"

Pria botak itu menghela napas berat, wajahnya masih dipenuhi amarah. "Wah, kau banyak tanya, ya, sialan. Ini karena Pasukan Keamanan Tabanan sedang kekurangan makanan dan mereka tidak mau menyalurkan hasil panennya. Kami melindungi seluruh wilayah Tabanan dengan tenaga dan kerja keras, tapi mereka malah enggan memberi sedikit saja makanan sebagai balas jasa kami."

Indra mengangguk pelan dan ekspresinya berubah serius. "Ah, aku mengerti."

Dia berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan suara dingin, "Tapi apakah kau tahu, beberapa di antara kalian juga menjarah Pancasari, yang merupakan wilayah kekuasaanku."

Kedua pria itu saling memandang, lalu menatap Indra dengan sinis.

"Yah, kalau masalah itu kami nggak peduli," ujar pria gondrong dengan nada acuh. "Yang penting, kami mendapatkan makanan yang sesuai untuk menjalankan tugas. Selain itu, semua orang berusaha untuk bertahan hidup di masa krisis ini, jadi jangan heran akan hal itu."

Indra tersenyum lebar seperti seorang psikopat jahat yang gila. "Betul sekali. Kita semua berusaha untuk bertahan hidup."

Sesaat kemudian, Indra menghunus pedangnya dan menebas leher pria botak di depannya secepat kilat. Darahnya menyembur deras, sehingga Indra mundur beberapa langkah untuk menghindari cipratannya.

"BA-BAJINGAN KAU!" Teriak pria gondrong itu dipenuhi ketakutan dan kemarahan. Ia mengangkat pentungannya untuk menyerang Indra. "WAAAARRGHH!"

Dengan satu gerakan cepat, Indra menusukkan pedangnya ke mulut pria itu hingga menembus tengkuknya. Pria itu tersungkur ke tanah. Tubuhnya kejang-kejang sebelum akhirnya tewas.

Indra berdiri tegak, memandangi kedua mayat di hadapannya dengan ekspresi datar. "Pro tips, jangan menyerang sambil berteriak." Ujarnya sambil membersihkan pedangnya dengan tenang.

...***...

Jalanan yang sepi berselimut kabut tipis diterjang oleh Luthfi dan Adi yang sedang memacu kudanya menuju Baturiti. Mereka diperintahkan oleh Kiara untuk menyusul Indra setelah selesai mengobati Kertih. Sepanjang perjalanan, Luthfi tak henti-hentinya mengoceh dan mengeluhkan tingkah Indra yang selalu membuatnya repot.

"Ah, Indra sialan! Bikin kita repot saja!" Keluh Luthfi sambil menggoyang-goyangkan tali kekang kudanya.

Adi, yang lebih tenang, hanya menghela napas. "Aku harap dia nggak bikin kekacauan di wilayah kekuasaan orang lain. Bakal repot kalau terjadi pertikaian yang lebih besar lagi."

"Kau benar, aku harap dia—" Ucapan Luthfi terhenti tiba-tiba. Matanya menangkap dua mayat tergeletak di jalanan. Salah satu dari mereka menderita tebasan di leher, sementara yang lainnya tertusuk hingga menembus tengkuk.

"Shit, kayaknya kita telat." Ujar Luthfi. Ia menghentikan kudanya dan turun untuk memeriksa kedua mayat itu lebih dekat.

Sementara Luthfi sibuk memeriksa mayat, Adi melanjutkan perjalanan dengan langkah pelan. Matanya terlihat waspada memindai situasi di sekeliling. Belum terlalu jauh melangkah, ia mendapati pemandangan yang jauh lebih mengerikan.

Mayat-mayat berserakan di sepanjang jalan. Kebanyakan adalah warga desa, terlihat dari pakaian lusuh yang masih melekat di tubuh mereka. Namun, ada juga beberapa mayat dengan seragam rompi hitam milik Pasukan Keamanan Tabanan.

"Luthfi!" Panggil Adi terbelalak. Ia menunjuk ke arah pemandangan mengerikan di depannya.

Luthfi berlari menyusul Adi dan terkejut ketika melihat pemandangan di hadapannya. "Wah, ini kacau sekali." Celetuknya singkat.

"Tapi, aku rasa nggak mungkin Indra bisa melakukan semua ini." Tambahnya lagi.

"Ya jelas nggak lah." Sahut suara yang tiba-tiba muncul dari samping.

Luthfi dan Adi menoleh serempak. Indra muncul menunggangi kudanya dengan wajah tenang seperti biasa. Yang mengejutkan, ia sedang membonceng seorang pria tua bertubuh kurus dengan rambut yang hampir botak sepenuhnya.

"Wah, kelihatannya kau baik-baik aja. Aku kira kau bakal berakhir kayak di Mall Bali Galeria kemarin." Canda Luthfi yang terlihat lega melihat Indra baik-baik saja.

Indra tersenyum tipis. "Iya lah. Aku hampir nggak bertarung sama sekali waktu sampai di sini."

Adi, yang masih bingung, mengerutkan alisnya. "Lalu, ada apa dengan orang-orang ini dan siapa orang yang kau bonceng itu?"

"Well, mereka tewas karena bentrok satu sama lain. Mereka sudah seperti itu saat aku datang." Jawab Indra kepada Adi. Ia lalu menoleh ke pria yang duduk di belakangnya. "Dan ini adalah Sirat, tetua Desa Batunya. Dia bertanggung jawab mengelola wilayah ini. Aku menemukannya sedang bersembunyi di pasar dengan wajah ketakutan."

Sirat mengangguk lemah, wajahnya masih dipenuhi ketakutan.

"Ayo ikuti aku!" Ajak Indra tiba-tiba. "Malam ini aku akan menggelar rapat dengan para warga sekitar sini. Bantu aku mengumpulkan mereka."

"Apa?!" Luthfi dan Adi berseru serempak dengan wajah dipenuhi kebingungan.

...***...

Udara dingin malam hari menusuk hingga ke tulang siapapun yang berada di luar ruangan. Cahaya lentera yang redup menerangi wajah-wajah lelah dan sedih di Balai Desa Batunya. Indra, Luthfi, dan Adi duduk di tengah lingkaran warga yang berkumpul. Suasana berat terasa di udara, dipenuhi oleh duka dan kehilangan.

Sirat, sang tetua desa, memulai rapat dengan suara yang berat. "Para warga sekalian, pertama-tama aku ingin meminta maaf karena mengadakan rapat di situasi yang kacau seperti ini. Sebagai tetua wilayah ini, aku sangat berduka karena banyak dari saudara kita yang tewas pada kejadian tadi."

Para warga menunduk dipenuhi kesedihan yang mendalam. Sebagian besar yang hadir adalah para wanita dan orang tua yang kehilangan suami serta anak-anak mereka dalam pertikaian itu.

"Sekarang, izinkan aku memperkenalkan ketiga orang ini." Lanjut Sirat menunjuk ke arah Indra dan kawan-kawan. "Mereka adalah anggota kelompok Monasphatika dari Singaraja."

Indra berdiri untuk berkenalan dengan wajah tenang. "Selamat malam semuanya. Perkenalkan, saya Indra Bhupendra, pemimpin kelompok Monasphatika. Dua orang di samping ini bernama Luthfi Putra Efendi dan Putu Adi Tama."

Ia berhenti sejenak, memastikan semua mata tertuju padanya. "Baik, langsung saja ke intinya. Aku berencana untuk mengambil alih sekaligus melindungi wilayah desa ini."

Suasana seketika berubah. Para warga terkejut, saling memandang dengan kebingungan. Luthfi dan Adi juga menoleh ke Indra dengan cepat. Mata mereka melebar karena kebingungan juga.

"Oi, kau pasti bercanda, kan?" Luthfi menyela lirih penuh keraguan.

Seorang ibu di antara warga berdiri. Wajahnya dipenuhi amarah dan kesedihan. "Tolong jangan bicara sembarangan! Kami sedang berduka hari ini. Suami dan anak-anak kami tewas di depan mata kami, tahu?" Suaranya gemetar menahan tangis.

Indra mengangguk pelan dengan ekspresi yang tetap tenang. "Aku mengerti. Sama seperti kalian, kami juga mengalami hal yang sama. Orang-orang berompi itu telah menyerang Pancasari dan menghilangkan banyak nyawa juga di sana."

Ia melanjutkan dengan suara yang lebih tegas. "Maka dari itu, aku ingin menjadikan desa ini sebagai milikku. Aku akan membangun benteng pertahanan di sini, lengkap dengan menara pemanah dan penembak jitu untuk melindungi kita semua."

Para warga tertegun dan mulai berbisik satu sama lain dengan penuh keraguan di suara mereka.

Sirat, sebagai tetua desa, maju mewakilkan para warga. "Kau bilang akan mengambil alih dan melindungi wilayah ini. Kedengarannya kau seperti orang baik yang menawarkan bantuan di saat-saat susah. Tapi sayangnya, orang seperti itu tidak ada lagi di masa krisis seperti ini. Apa motivasimu dan apa yang menjamin kami tetap aman di bawah bayang-bayangmu?"

Indra tertawa kecil sebelum membalas. "Ahahahaha. Yah, memang benar, tidak akan ada orang baik di situasi krisis seperti ini."

Ia berhenti sejenak dan matanya menyapu ruangan. Senyum tipis mengembang di bibirnya dengan mata yang bersemangat. "Tapi, ada frasa lama yang berbunyi 'homo homini lupus'—manusia adalah serigala bagi manusia lain. Itu lah kenapa, sebelum dimangsa oleh koloni serigala dari Tabanan, aku ingin memangsa wilayah mereka lebih dahulu sedikit demi sedikit." 

Seketika, semua orang terdiam. Wajah-wajah terkejut terpancar dari setiap sudut ruangan, termasuk Luthfi dan Adi yang saling memandang dengan kebingungan.

"Tenang saja," Lanjut Indra mencoba menenangkan. "Tidak seperti orang-orang berompi tadi, aku tidak akan membantai kalian untuk mengambil alih desa ini. Pasukanku tidak sebanyak itu untuk melakukan pembantaian terhadap sebuah desa. Sebaliknya, aku ingin menawarkan sebuah perjanjian yang saling menguntungkan."

Ia berhenti sejenak untuk memastikan semua orang mendengarkan. "Seperti yang kukatakan sebelumnya, aku akan membangun benteng lengkap dengan menara pemanah dan penembak jitu untuk melindungi kalian semua. Sebagai timbal balik, berikan pasukan yang berjaga di sini sedikit saja makanan dari hasil panen kalian. Itu saja yang aku minta."

Para warga kembali berbisik, masih dipenuhi keraguan dan kebingungan.

Indra menatap mereka satu per satu dan mencoba meyakinkan mereka. "Untuk masalah keamanan, kalian nggak usah khawatir." Ujarnya dengan tatapan mata yang membara.

"Kelompok Monasphatika punya banyak senjata api dan bahan peledak."

Ilustrasi Tokoh:

...Sirat...

1
jonda wanda
Mungkin cara bicara karakter bisa diperbaiki agar lebih natural.
IndraKoi: baik, makasih banyak ya masukannya🙏
total 1 replies
Abdul Aziez
mantap bang
IndraKoi: makasih bang🙏🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!