Alya, seorang sekretaris dengan kepribadian "ngegas" dan penuh percaya diri, melamar pekerjaan sebagai sekretaris pribadi di "Albert & Co.", perusahaan permata terbesar di kota. Ia tak menyangka akan berhadapan dengan David Albert, CEO tampan namun dingin yang menyimpan luka masa lalu. Kehadiran Alya yang ceria dan konyol secara tak terduga mencairkan hati David, yang akhirnya jatuh cinta pada sekretarisnya yang unik dan penuh semangat. Kisah mereka berlanjut dari kantor hingga ke pelaminan, diwarnai oleh momen-momen lucu, romantis, dan dramatis, termasuk masa kehamilan Alya yang penuh kejutan.
[REVISI]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zaraaa_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Cincin Berlian dan Janji Suci
David terbahak, tetapi ia harus mengakui, Anton punya poin. Saat itu mereka sedang berada di toko perhiasan, melihat-lihat cincin untuk pernikahan David dan Alya. Anton, seperti biasa, terlalu antusias, menunjuk cincin-cincin dengan desain mencolok yang hampir membuat David mundur dari gagasannya meminta bantuan sahabatnya itu.
"Apa pendapatmu tentang yang ini?" tanya Anton sambil menunjuk cincin besar dengan batu berlian yang berkilau luar biasa.
David memandangnya dengan ekspresi bingung. "Itu terlihat seperti sesuatu yang akan dikenakan seorang raja."
"Benar, kan? Kau akan menjadi raja di hari pernikahanmu!" balas Anton dengan tawa lebar.
David hanya menggeleng sambil tersenyum. "Tidak, aku butuh sesuatu yang lebih sederhana."
Anton melipat tangan di dada, memandang David dengan ekspresi penuh pertimbangan. "David, kau ini terlalu sederhana. Pernikahanmu adalah momen besar, buatlah pernyataan!"
Namun, saat seorang pelayan toko membawa cincin safir yang lebih kecil, David langsung terdiam. Batu safir biru itu terpancang di cincin emas putih, dengan desain yang elegan namun tetap berani.
"Aku suka yang ini," kata David sambil mengangkat cincin itu. Ia memandang Anton, lalu menambahkan, "Apa pendapatmu?"
Anton mengerutkan dahi, tetapi akhirnya mengangguk. "Baiklah, aku akui ini cukup bagus. Tidak sebesar yang kusarankan, tapi ada kelasnya."
Saat Alya tiba, David menunjukkan cincin itu padanya. Mata Alya langsung berbinar. "David, cincin ini indah sekali!" katanya sambil tersenyum lembut.
David balas tersenyum. "Aku tahu kau suka hal-hal sederhana, tapi aku juga ingin sesuatu yang mencerminkan kekuatan hubungan kita. Safir ini rasanya cocok."
Alya mengangguk. "Aku setuju. Cincin ini… berani, tapi tidak berlebihan. Seperti kita, kan?"
Anton terkekeh. "Lihat? Aku membawamu ke toko ini, dan kalian menemukan cincin yang sempurna. Jangan lupa, aku yang layak mendapat ucapan terima kasih."
David menggeleng sambil tersenyum. "Terima kasih, Anton. Kalau bukan karena ide gilamu, mungkin kami akan memilih cincin yang terlalu biasa."
Setelah urusan cincin selesai, persiapan pernikahan mulai berjalan lancar. Tapi tentu saja, ada momen-momen kecil yang memicu kebingungan dan tawa.
---
Beberapa hari kemudian, Alya dan David sedang duduk di ruang tamu mereka, dikelilingi oleh katalog-katalog dekorasi dan daftar tugas yang tak ada habisnya. Alya tampak sedikit cemas, tangannya sibuk mencoret-coret sesuatu di buku catatannya.
"David," kata Alya tiba-tiba, menghentikan aktivitasnya. "Apa menurutmu kita akan bisa menyelesaikan semuanya tepat waktu?"
David menatapnya dengan lembut. "Kenapa kau tiba-tiba khawatir? Semua berjalan sesuai rencana, kan?"
Alya mendesah. "Aku hanya takut ada yang terlewat. Aku ingin hari itu sempurna. Aku ingin semua orang menikmatinya, dan aku ingin kita merasa bahagia tanpa stres."
David tersenyum, meraih tangan Alya dan menggenggamnya erat. "Alya, kita tidak perlu membuat semuanya sempurna. Yang penting adalah kita menikah, memulai hidup baru bersama. Sisanya hanya detail."
Alya menatapnya sejenak, lalu tersenyum kecil. "Kau benar, tapi aku tetap ingin memberikan yang terbaik."
David terkekeh. "Kau memang perfeksionis, dan itu salah satu hal yang kusukai darimu."
Alya tertawa, lalu menyandarkan kepalanya di bahu David. "Terima kasih, David. Kau selalu tahu cara membuatku merasa lebih baik."
---
Hari berikutnya, mereka pergi ke toko kue untuk mencicipi beberapa pilihan kue pernikahan. Pemilik toko, seorang wanita ramah bernama Ibu Lina, memperlihatkan berbagai desain kue dengan detail yang rumit.
"Kue ini memiliki motif bunga mawar dengan rasa red velvet," kata Ibu Lina sambil menunjuk salah satu kue. "Dan yang ini, desainnya lebih modern dengan rasa lemon dan blueberry."
Alya memandang David. "Kau suka yang mana?"
David mencoba sepotong red velvet, lalu tersenyum. "Aku suka yang ini. Rasanya lembut dan manis, seperti dirimu."
Alya tersipu, tapi kemudian mencoba kue lemon dan blueberry. "Aku suka rasa ini. Segar, tidak terlalu manis."
Mereka berdua saling berpandangan. "Bagaimana kalau kita gabungkan keduanya?" usul David.
Ibu Lina tersenyum. "Itu ide yang bagus. Saya bisa membuat kue dua lapis dengan rasa berbeda di setiap lapisannya."
"Setuju!" seru Alya. "Aku suka ide itu."
---
Beberapa hari kemudian, saat mereka sedang memilih musik untuk resepsi, diskusi kecil kembali muncul.
"Aku ingin ada lagu klasik di awal acara," kata Alya. "Itu memberikan kesan elegan."
"Tapi aku ingin ada sesuatu yang lebih santai, mungkin jazz," balas David.
Alya mengerutkan dahi. "Jazz bagus, tapi terlalu santai untuk bagian formal acara."
David menatapnya dengan senyum main-main. "Kita bisa punya keduanya, kan? Lagu klasik untuk pembukaan, lalu jazz untuk sesi makan malam."
Alya terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Baiklah, itu ide yang bagus."
Mereka berdua tertawa kecil. "Aku merasa kita selalu menemukan jalan tengah," kata Alya.
"Itu karena kita tim yang hebat," jawab David sambil merangkul Alya.
---
Malam sebelum hari besar mereka, David dan Alya duduk bersama di balkon rumah mereka. Langit penuh bintang, dan udara malam terasa sejuk.
"Besok kita akan menikah," kata David pelan. "Apa kau merasa gugup?"
Alya mengangguk sambil tersenyum. "Sedikit. Tapi aku juga merasa sangat bahagia. Aku tidak sabar untuk memulai hidup baru denganmu."
David meraih tangan Alya, menggenggamnya erat. "Aku juga. Aku merasa ini adalah awal dari segalanya. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi aku tahu aku ingin melewati semuanya bersamamu."
Alya menatapnya dengan penuh cinta. "Aku juga, David. Bersamamu, aku merasa segalanya mungkin."
Mereka saling tersenyum, lalu memandang ke langit yang penuh bintang. Tidak ada kata yang diucapkan, tetapi mereka tahu, mereka sudah siap untuk babak baru dalam hidup mereka.