NovelToon NovelToon
Angin Dari Gunung Kendan

Angin Dari Gunung Kendan

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Kelahiran kembali menjadi kuat / Budidaya dan Peningkatan / Ilmu Kanuragan / Kultivasi Modern / Toko Interdimensi
Popularitas:5k
Nilai: 5
Nama Author: Topannov

"Angin dari Gunung Kendan" adalah kisah epik tentang Rangga Wisesa, seorang pemuda yang hidup sederhana di Desa Ciwaruga tetapi menyimpan dendam atas kehancuran keluarganya. Sebuah prasasti kuno di Gunung Kendan mengubah hidupnya, mempertemukannya dengan rahasia ilmu silat legendaris bernama Tapak Angin Kendan. Dalam perjalanannya, Rangga menghadapi dilema moral: menggunakan kekuatan itu untuk balas dendam atau menjadi penjaga harmoni dunia persilatan. Dengan latar penuh keindahan budaya Sunda dan dunia persilatan yang keras, cerita ini mengisahkan pertarungan fisik, spiritual, dan batin di tengah konflik yang memperebutkan kekuasaan ilmu sejati.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Topannov, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pelarian ke Gunung Kendan

Rangga dan Larasati melarikan diri ke Gunung Kendan setelah kekalahan di Desa Ciwaruga. Dalam perjalanan yang penuh bahaya, Rangga mulai merasakan konflik batin antara keinginannya untuk membalas dendam dan rasa tanggung jawab yang semakin besar untuk melindungi orang-orang yang ia sayangi.

Angin malam berhembus dingin, menggoyangkan dedaunan di hutan kecil yang mereka lalui. Suara kreek-kreek dari ranting yang patah di bawah kaki mereka terdengar samar di tengah keheningan malam. Rangga memimpin jalan, tubuhnya penuh luka dan lelah, sementara Larasati berjalan di belakangnya dengan nafas tersengal, memegang lengannya yang memar.

“Rangga, kita harus berhenti sebentar,” kata Larasati dengan suara bergetar. “Aku... aku tidak bisa terus seperti ini.”

Rangga berhenti dan berbalik. Melihat Larasati yang tertatih-tatih membuat hatinya terasa berat. Ia ingin terus bergerak, menjauh sejauh mungkin dari desa yang telah hancur, tetapi ia tahu bahwa mereka berdua butuh waktu untuk pulih.

“Kita istirahat di sini,” katanya akhirnya, menunjuk ke sebuah batu besar yang terlindung oleh pepohonan rindang. “Tapi hanya sebentar.”

Larasati duduk dengan tubuh terkulai, bahunya naik turun saat ia mencoba mengatur napas. Sementara itu, Rangga berdiri memandang ke arah desa yang tak lagi terlihat, hanya asap tipis yang membubung ke langit menjadi pengingat dari apa yang baru saja terjadi.

“Rangga...” Larasati memanggilnya pelan.

Rangga menoleh, melihat gadis itu yang kini menatapnya dengan sorot mata yang campur aduk antara kesedihan dan rasa bersalah. “Kenapa kamu diam saja? Apa yang sebenarnya kamu pikirkan?”

Rangga menghela napas panjang. “Aku... aku merasa gagal, Laras. Aku tidak bisa melindungi desa. Aku bahkan tidak bisa menyelamatkan Pak Wirya.”

“Kamu sudah melakukan yang terbaik,” jawab Larasati, mencoba menghiburnya. “Kalau bukan karena kamu, mungkin lebih banyak orang yang akan mati.”

“Tapi itu tidak cukup!” suara Rangga meninggi, membuat Larasati sedikit terkejut. Ia langsung menundukkan kepala, berusaha menenangkan dirinya. “Maaf. Aku hanya merasa... tidak berdaya.”

Larasati terdiam sesaat sebelum berkata, “Aku tidak tahu banyak tentang dunia persilatan atau apa yang sedang terjadi, tapi aku tahu satu hal: kamu adalah alasan kami masih hidup. Kamu punya sesuatu yang tidak dimiliki orang lain, Rangga. Jangan menyerah.”

Kata-kata itu terasa seperti pukulan di dada Rangga. Ia mengangguk pelan, meskipun hatinya masih dipenuhi keraguan. “Kita harus melanjutkan perjalanan,” katanya akhirnya. “Gunung Kendan mungkin satu-satunya tempat yang aman sekarang.”

Larasati berdiri dengan susah payah, mencoba tersenyum meskipun tubuhnya terasa lemah. “Kalau begitu, ayo kita pergi. Tapi janji, kita berhenti lagi kalau aku tidak kuat.”

Rangga tersenyum tipis. “Baik, Nona Besar. Sekarang ayo bergerak sebelum mereka menyusul kita.”

Mereka terus berjalan menaiki lereng Gunung Kendan. Medan menjadi semakin sulit, dengan jalan setapak yang licin dan curam. Di tengah perjalanan, Rangga mulai merasakan sesuatu yang aneh. Udara di sekitarnya terasa lebih dingin dari biasanya, dan suara-suara hutan yang biasanya ramai kini menghilang.

“Laras, berhenti,” katanya tiba-tiba, mengangkat tangannya untuk memberi isyarat.

“Ada apa?” Larasati bertanya, mencoba melihat sekeliling mereka.

“Diam. Dengarkan.”

Keduanya berdiri diam, tetapi tidak ada suara apapun selain angin yang berhembus lembut. Rangga mengerutkan dahi. “Hutan ini terlalu sunyi. Biasanya ada suara burung atau serangga, tapi sekarang...”

Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, sebuah suara gemerisik terdengar dari semak-semak di depan mereka. Rangga segera menarik Larasati ke belakangnya, mengambil posisi bertahan. Dari bayangan gelap semak-semak itu, muncul sosok yang perlahan berjalan keluar.

Sosok itu adalah seorang pria berpakaian hitam dengan wajah tertutup kain. Matanya tajam, penuh kebencian, dan di tangannya tergenggam sebilah pedang yang tampak berkilauan di bawah cahaya bulan.

“Bagus, aku pikir kalian sudah kabur terlalu jauh,” kata pria itu dengan nada sinis. “Tapi sepertinya aku tidak perlu mencarimu lebih lama.”

“Kau siapa? Apa yang kau inginkan?” tanya Rangga, matanya tak lepas dari gerak-gerik pria itu.

“Aku hanya seorang utusan,” jawab pria itu sambil berjalan mendekat. “Kami hanya ingin memastikan bahwa apa yang kau temukan di Gunung Kendan tidak akan jatuh ke tangan yang salah.”

“Jadi kalian yang menghancurkan desaku...” gumam Rangga, suaranya penuh kemarahan. Ia menggenggam tinjunya erat. “Kalian tidak akan lolos begitu saja!”

Rangga maju dengan cepat, menyerang pria itu dengan pukulan kuat. Tetapi pria itu menghindar dengan mudah, berputar dan menyerang balik dengan pedangnya. Rangga mundur, mengambil ranting besar di tanah sebagai senjata darurat.

Keduanya bertarung di tengah hutan yang gelap, suara dentingan pedang melawan ranting memenuhi udara. Larasati hanya bisa menonton dengan cemas, tubuhnya tegang setiap kali Rangga hampir terkena serangan.

“Rangga, hati-hati!” teriak Larasati saat pria itu mengayunkan pedangnya dengan cepat, hampir mengenai leher Rangga.

Rangga melompat mundur, tetapi ia tahu bahwa ranting yang ia gunakan tidak akan bertahan lama. Pria itu terlalu terlatih, dan setiap gerakannya menunjukkan pengalaman bertahun-tahun di medan pertempuran.

“Kau tidak akan bisa menang, bocah,” kata pria itu dengan nada mengejek. “Menyerahlah, dan aku mungkin akan membiarkan gadis itu hidup.”

“Jangan harap!” Rangga menjawab dengan nada tajam. Ia tahu ia tidak bisa kalah di sini. Jika ia kalah, tidak ada yang akan melindungi Larasati.

Dengan dorongan terakhir, Rangga menyerang pria itu dengan seluruh kekuatannya. Serangan itu cukup untuk memukul pedang lawannya keluar dari genggaman, tetapi pria itu tidak menyerah. Ia melompat ke arah Rangga, mencoba menyerangnya dengan tangan kosong.

Namun, sebelum pria itu sempat menyerang, sebuah suara gemuruh terdengar dari atas mereka. Wuuusshhh! Angin kencang tiba-tiba berhembus, membuat daun-daun berterbangan dan memaksa pria itu mundur. Rangga dan Larasati melihat ke arah sumber angin itu, dan di sana, di tengah kegelapan, muncul sosok yang dikenalnya.

“Ki Jayeng Larang...” Rangga berbisik dengan nada lega.

Sosok tua itu berdiri dengan tenang, jubahnya berkibar ditiup angin. “Kau masih hidup, Rangga. Syukurlah. Tapi kita tidak punya waktu. Ikut aku ke tempat yang aman.”

Pria berpakaian hitam itu tampak ragu, tetapi akhirnya ia mundur dengan gerakan cepat, menghilang ke dalam hutan. Rangga ingin mengejarnya, tetapi Ki Jayeng menghentikannya.

“Tidak usah. Kita punya masalah yang lebih besar sekarang.”

Rangga mengangguk, meskipun hatinya masih dipenuhi kemarahan. Ia membantu Larasati berdiri, lalu mengikuti Ki Jayeng yang memimpin mereka lebih dalam ke Gunung Kendan. Dalam hati, Rangga tahu bahwa ini baru permulaan dari perjalanan panjang yang harus ia hadapi.

Rangga dan Larasati berhasil selamat berkat bantuan Ki Jayeng Larang, tetapi kehadiran musuh yang terus mengejar menunjukkan bahwa bahaya semakin dekat. Perjalanan mereka ke Gunung Kendan baru saja dimulai.

1
Andre Oetomo
keren
Pangkalan 2405
up
Sri Wulandari Buamonabot
tolong gunakan bhs Indonesia...
tdk semua ngerti bahasa daerah lainnya
Pannov: baik kak, terimakasih masukannya
total 1 replies
Pannov
"Wow, novelnya bener-bener seru dan bikin penasaran! Ceritanya ngalir banget, karakternya juga terasa hidup. Salut buat penulisnya, sukses banget bikin pembaca susah lepas dari halaman ke halaman!"
Feri Fernando
menarik cerita ini
Pannov: terimakasi banyak kk, saya akan buat lebih seru lagi deh
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!