Karin, terpaksa menikah dengan Raka, bosnya, demi membalas budi karena telah membantu keluarganya melunasi hutang. Namun, setelah baru menikah, Karin mendapati kenyataan pahit, bahwa Raka ternyata sudah memiliki istri dan seorang anak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cecee Sarah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Empat
Dulu, keluarga Karin memiliki sebuah usaha yang cukup sukses. Namun, semua berubah ketika ibunya meninggal. Sang ayah, Ardi, menikahi seorang wanita baru, dan tanpa mereka sadari, wanita itu ternyata wanita malam yang hutangnya ada dimana mana. Perlahan-lahan, dia menghancurkan bisnis keluarga Karin. Tak perlu waktu lama, usaha mereka ditinggalkan pelanggan dan akhirnya bangkrut.
Namun, itu belum selesai. Wanita tersebut itulah yang diam diam meminjam uang lagi dari seorang lintah darat, Tuan Broto, dengan menjadikan aset keluarga Karin sebagai jaminan. Setelah mendapatkan uangnya, wanita itu menghilang tanpa jejak.
"Ayah, jangan khawatir. Aku akan segera mencari pekerjaan dan kita bisa mulai dari awal lagi," kata Karin dengan senyum yang mencoba menyembunyikan beban yang ia rasakan.
"Terima kasih, Karin. Ayah sangat bersyukur memiliki anak sepertimu," ucap Ardi dengan mata yang sedikit berkaca-kaca.
Saat mereka sedang mengobrol, tiba-tiba Raka, seorang pria yang pernah membantu mereka, datang. Karin tak menyangka pria itu akan muncul lagi di rumah sakit.
"Maafkan saya baru bisa kembali menemui Anda, om." ucap Raka sopan sambil mendekati mereka.
"Anda tak perlu merasa terbebani, sudah cukup banyak yang anda lakukan," kata Ardi.
"Tak perlu dipikirkan, om. Saya senang bisa membantu," jawab Raka ramah.
Ardi berusaha bangkit dari tempat tidur untuk menunjukkan rasa terima kasihnya, namun tubuhnya yang lemah tak memungkinkan. "Terima kasih sekali lagi, anda sudah menolong kami di saat-saat sulit."
Raka tersenyum lembut. "Tak usah berterima kasih, om. Saya hanya kebetulan lewat."
Melihat ayahnya dan Raka mulai tenggelam dalam percakapan, Karin merasa ini saat yang tepat untuk pergi. Ia bergegas menuju bagian administrasi rumah sakit untuk membayar tagihan. Namun, saat melihat jumlah tagihan yang harus dibayar, hatinya langsung tersentak. Jumlahnya jauh lebih besar dari yang ia bayangkan, dan hampir menguras semua tabungannya.
Karin berjalan lesu kembali ke kamar ayahnya. Namun, saat tiba di sana, Raka sudah pergi. "Dia sudah pergi, ya," gumamnya pelan sambil melihat ke sekeliling ruangan.
"Karin, ada yang harus ayah bicarakan," suara ayahnya terdengar lemah namun serius. Ia menarik napas panjang sebelum melanjutkan, "Kau harus menikah dengan Raka."
Karin terdiam, mulutnya ternganga. "Apa? Ayah bercanda, kan?"
"Ayah serius. Dia sudah banyak membantu kita, dan ini cara terbaik untuk membalas kebaikannya," jawab Ardi dengan nada memohon.
Tidak bisa menerima apa yang baru saja didengar, Karin berlari keluar ruangan. Ia tak sanggup memproses kata-kata ayahnya. Dengan langkah cepat, ia berlari ke belakang gedung rumah sakit dan duduk di bangku taman, membiarkan air matanya mengalir.
"Kenapa hidupku selalu seperti ini? Mengapa aku harus menikah dengan pria yang bahkan tak kucintai?" bisiknya di antara isakan tangis.
Setelah beberapa lama menenangkan diri, Karin kembali ke kamar ayahnya, hanya untuk menemukan beberapa dokter dan perawat mengelilingi tempat tidur Ardi. Panik, ia segera berlari ke arah mereka. Ayahnya terlihat sangat lemah, matanya tertutup rapat.
"Ayah, bangun!" Karin mengguncang tubuh ayahnya dengan cemas.
Ardi membuka matanya perlahan. "Maafkan ayah, Karin, yang selalu merepotkanmu..." ucapnya lemah.
"Tidak, jangan tinggalkan aku! Aku ingin tetap bersama Ayah!" Karin memeluk tubuh ayahnya yang semakin lemah.
Ardi harus menjalani operasi jantung segera, dan Karin merasa kehilangan arah. Dia tak tahu harus meminta bantuan kepada siapa. Semua kerabat mereka berada jauh di luar kota. Dalam keputusasaan, dia akhirnya memutuskan untuk menghubungi Raka dan menyetujui pernikahan, asalkan ayahnya bisa sembuh.
Operasi berjalan lancar, dan beberapa hari kemudian, Karin dan Raka mengucapkan janji pernikahan mereka di rumah sakit, tepat di samping tempat tidur ayahnya. Keluarga Raka tidak hadir, dan suasana sangat sederhana.
Setelah pernikahan, Raka membeli sebuah rumah untuk Karin tinggal. Mereka pun pindah ke sana. Namun, pada hari pertama di rumah itu, ketika Raka sedang mandi, Karin secara tak sengaja menemukan foto pernikahan Raka dengan seorang wanita lain.
Hatinya hancur. Karin merasa Raka telah membohonginya. Marah dan kecewa, ia memutuskan untuk meninggalkan rumah itu. Dia menyewa rumah lain dan mencoba melanjutkan hidupnya. Dia melamar pekerjaan di berbagai tempat, namun selalu ditolak, hingga akhirnya dia diterima bekerja di sebuah perusahaan... yang ternyata dimiliki oleh Raka.
******
Malam mulai merayap di kota itu. Langit tampak kelam, tanpa bintang, karena tertutup awan tebal. Angin musim dingin mulai terasa menggigit, pertanda hujan akan segera turun.
Karin berjalan cepat di sepanjang trotoar, tangannya menyilang di dada untuk menahan dingin. Dia sangat terburu-buru pagi tadi hingga lupa membawa mantelnya. Setiap hari, rutinitasnya selalu sama: pulang kerja dan langsung menuju rumah sakit untuk menjenguk ayahnya. Namun, kali ini dia merasa ada yang berbeda. Taksi yang biasanya muncul tepat waktu, hari ini entah ke mana.
Setelah lama menunggu di depan perusahaan, dia memutuskan untuk berjalan saja sambil menunggu. Pikiran Karin melayang jauh, sampai suara klakson keras mengejutkannya.
Sebuah mobil Maybach hitam berhenti di sampingnya. Karin menoleh dan mengenali mobil itu. Ah, siapa lagi kalau bukan Raka. Namun, dia memilih untuk melanjutkan langkahnya, berharap pria itu tidak datang untuknya.
Namun, klakson kembali berbunyi lebih keras. Dengan enggan, Karin menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah mobil.
‘Kenapa dia harus datang sekarang?’ Karin menggerutu dalam hati.
"Masuk," kata Raka dari balik jendela yang kini sudah terbuka.
"Tidak perlu. Aku bisa pulang sendiri," jawab Karin ketus, memalingkan wajahnya.
"Aku tahu kau mau ke rumah sakit. Jadi, ayo kita pergi bersama," Raka tidak menyerah.
"Aku bisa ke sana sendiri." Karin menatap sekilas pria itu yang duduk di belakang kemudi, terlihat santai.
Hujan mulai turun, dan udara makin dingin. Karin mulai ragu. Tubuhnya sudah terasa beku. Jika tetap di luar, mungkin besok dia tidak akan bisa pergi bekerja.
Akhirnya, dengan berat hati, Karin masuk ke dalam mobil. Ia duduk diam, menghindari kontak mata dengan Raka, sambil menoleh ke arah jendela.
"Ini, pakai," Raka menyerahkan mantelnya dan meletakkannya di bahu Karin.
"Tidak perlu sok peduli," balas Karin datar.
"Kau benci aku sebanyak itu?" tanya Raka sambil mulai melajukan mobilnya.
Karin hanya melirik sekilas tanpa menjawab. Dia kesal, karena pria inilah yang membuatnya terjebak dalam pernikahan yang tidak diinginkannya, apalagi sebagai istri kedua.
"Aku minta maaf, Karin. Aku tahu ini semua sulit untukmu," kata Raka, suaranya terdengar tulus.
Karin tetap diam. Meski dia tahu Raka telah membantu banyak, terutama dengan menyelamatkan ayahnya dari Tuan Broto, dia tidak bisa begitu saja berterima kasih. Rasanya, semakin dia memikirkan itu, semakin benci dia pada Raka. Jika saja dia tahu dari awal bahwa pria ini sudah menikah, semuanya pasti tidak akan seperti ini.
"Aku seharusnya jujur sejak awal tentang statusku," lanjut Raka.
"Kalau begitu, ceraikan aku," jawab Karin tanpa ragu.
"Dan bagaimana jika ayahmu tahu?" tanya Raka, menatapnya dalam.
Karin terdiam. Dia tidak bisa menjawab. Jika ayahnya tahu, siapa yang bisa menjamin kondisi ayahnya tidak akan semakin memburuk?
"Kenapa tidak tinggal di rumah yang sudah kita kunjungi sebelumnya?" Raka mencoba menawarkan.
"Aku lebih nyaman di rumah sewaan," jawab Karin pendek.
"Sampai kapan kau akan tinggal di sana? Sampai ayahmu tahu kalau kita tidak tinggal bersama?" tanya Raka lagi.
Karin mendengus. "Apa kau sering membawa simpananmu ke sana?" dia menyindir.
"Aku tidak pernah berselingkuh, selain denganmu," jawab Raka dengan serius.
Mendengar itu, Karin langsung melotot ke arahnya. Dia tidak tahan lagi. "Jadi, aku ini selingkuhanmu?" Karin berteriak marah, lalu memukul bahu Raka.
"Turunkan aku di sini!" teriak Karin sambil terus memukul lengan Raka.
"Karin, berhenti! Atau kita akan mati bersama!" Raka akhirnya menghentikan mobilnya dengan keras, membuat Karin terhuyung ke depan.
Dengan cepat, Karin membuka sabuk pengamannya, siap untuk keluar. Namun, sebelum sempat melarikan diri, Raka menarik tangannya dan...
Karin membeku. Raka mencium bibirnya tanpa peringatan. Waktu seakan berhenti, dan Karin tidak bisa berpikir lagi. Detik-detik terasa lambat saat dia mencerna apa yang baru saja terjadi.
"Apa yang kau lakukan?!" Karin akhirnya berteriak setelah tersadar.
"Aku hanya mengikuti kata hatiku," kata Raka santai sambil menjalankan mobil kembali.
"Omong kosong! Kau pasti melakukan ini ke semua wanita yang kau temui!" Karin mengusap bibirnya dengan kesal, merasa jijik.
"Terserah kau mau percaya apa. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya," balas Raka sambil terus melaju.