NovelToon NovelToon
Mantan Pacarku Ternyata CEO Kaya

Mantan Pacarku Ternyata CEO Kaya

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Kaya Raya / Fantasi Wanita
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Irhamul Fikri

Prolog:

Dulu, aku selalu menganggapnya pria biasa miskin, sederhana, bahkan sedikit pemalu. Setelah putus, aku melanjutkan hidup, menganggapnya hanya bagian dari masa lalu. Tapi lima tahun kemudian, aku bertemu dengannya lagi di sebuah acara gala mewah, mengenakan jas rapi dan memimpin perusahaan besar. Ternyata, mantan pacarku yang dulu pura-pura miskin, kini adalah CEO dari perusahaan teknologi ternama. Semua yang aku tahu tentang dia ternyata hanya kebohongan. Dan kini, dia kembali, membawa rahasia besar yang bisa mengubah segalanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 1 Bagian 24 Ke Museum

Nadia terbangun di pagi hari dengan sinar matahari lembut yang menyinari kamarnya. Ia merasakan beban di dadanya yang semakin berat, pikirannya masih dipenuhi dengan kebingungannya tentang Reza dan perasaannya yang bertabrakan. Hari ini, ia merasa butuh waktu untuk diri sendiri, untuk menyegarkan pikirannya. Dengan perlahan, Nadia meraih ponselnya di meja samping tempat tidur dan melihat jam. Sudah pukul 8 pagi.

Dengan perasaan sedikit ragu, Nadia menekan nomor Lila, atasan sekaligus temannya di kantor. Ia menghela napas dalam-dalam sebelum memutuskan untuk berbicara.

Nadia (mengangkat telepon) "Halo, Lila? Ini Nadia."

"Hai, Nad! Ada apa? Ada yang perlu aku bantu?" jawab lila

"Aku... butuh sedikit waktu untuk diriku sendiri hari ini. Apa aku bisa ambil cuti libur?" Tanya lila

"Oh, tentu saja. Ada masalah?" Tanya Lila.

"Nggak ada yang besar, hanya saja aku butuh waktu untuk merenung... Banyak hal yang terjadi akhir-akhir ini." ucap Nadia (dengan suara pelan)

"Tentu, ambil waktu untuk dirimu sendiri. Kerja bisa menunggu. Kalau butuh apa-apa, kabari aku, ya?" ucap lila

Nadia (tersenyum kecil) "Makasih, Lila. Aku akan kembali segar setelah ini."

"Jaga diri ya, Nad." ucap lila

Nadia menutup telepon dan duduk sejenak, meresapi keputusan untuk memberi dirinya waktu. Pekerjaan bisa menunggu, dan hari ini ia ingin meluangkan waktu untuk merenung dan menenangkan pikirannya. Setelah itu, ia berdiri dan menuju kamar mandi.

Nadia melangkah ke kamar mandi, membuka keran air hangat, dan membiarkan uap memenuhi ruangan. Ia berdiri sejenak di depan wastafel, memandangi bayangan dirinya di cermin. Wajahnya tampak lelah, dengan lingkaran samar di bawah matanya. "Aku harus mengurus diriku sendiri," gumamnya pelan.

Saat air mulai mengalir deras dari shower, Nadia melepas piyamanya dan melangkah masuk ke bawah pancuran. Air hangat menyentuh kulitnya, mengalir dari kepala hingga ujung kakinya. Rasanya seperti memeluknya lembut, membersihkan tidak hanya tubuhnya, tetapi juga beban pikiran yang menghantui.

Ia menutup matanya, membiarkan air mengalir di wajahnya. Nadia mengambil sabun cair dengan aroma lavender yang menenangkan, menggosoknya perlahan di kulitnya. Aroma itu selalu memberinya rasa nyaman, seperti pelukan lembut yang ia butuhkan saat ini. Sambil memijat lembut bahunya yang tegang, pikirannya kembali melayang ke momen-momen dengan Reza, bercampur antara rasa manis dan pahit.

"Fokus, Nadia," ia berkata pada dirinya sendiri, mencoba menghentikan pikiran yang terus bermunculan. Setelah membilas tubuhnya, ia mencuci rambutnya dengan sampo yang memiliki aroma melati. Setiap busa yang jatuh seolah membawa pergi sedikit beban emosional yang ia rasakan.

Setelah selesai, Nadia mematikan shower dan meraih handuk putih yang tergantung di dekat pintu. Ia mengeringkan tubuhnya dengan perlahan, menikmati setiap momen itu sebagai bentuk perawatan diri. Ketika ia selesai, Nadia melangkah keluar dari kamar mandi dan membuka lemari pakaiannya.

Ia berdiri di depan lemari dengan pikiran yang masih bercabang. Nadia ingin terlihat rapi, tetapi juga merasa nyaman untuk perjalanan ke museum. Tangannya menyusuri deretan pakaian yang tergantung rapi. Akhirnya, ia memilih gaun selutut berwarna biru pastel dengan potongan sederhana tetapi elegan. Warna itu membuatnya merasa segar, seolah-olah ia memulai hari dengan energi baru.

Setelah mengenakan gaun itu, Nadia meraih kardigan putih tipis untuk berjaga-jaga jika udara di museum terasa dingin. Ia melengkapi penampilannya dengan sepasang sepatu flat berwarna krem yang nyaman untuk berjalan. Rambutnya ia biarkan tergerai, dengan sedikit sentuhan sisir agar terlihat rapi.

Sebelum pergi, Nadia berhenti di depan cermin besar di sudut kamarnya. Ia menatap pantulan dirinya dengan mata yang masih sedikit kosong tetapi berusaha tegar. "Hari ini untuk diriku sendiri," katanya dengan suara pelan, mencoba menyemangati dirinya. Dengan napas panjang, ia mengambil tas kecilnya, memastikan dompet dan ponselnya ada di dalam, lalu melangkah keluar dari apartemen.

Ia merasa bahwa seni bisa memberinya perspektif baru, sebuah cara untuk melihat dunia yang lebih luas dan lebih indah.

Nadia melangkah keluar dari gedung apartemennya dan memanggil sebuah taksi yang berhenti di tepi jalan. Begitu ia masuk, ia memberikan alamat museum seni favoritnya.

“Ke Museum Seni Utama, Pak,” kata Nadia sambil mengenakan sabuk pengaman.

“Baik, Bu,” jawab sopir taksi, seorang pria paruh baya dengan senyum ramah. “Hari ini cuacanya bagus ya, cocok buat jalan-jalan.”

Nadia mengangguk kecil sambil tersenyum tipis. “Iya, saya butuh suasana yang berbeda,” jawabnya pelan, suaranya terdengar lelah namun sopan.

Sopir melirik Nadia sekilas lewat kaca spion, seolah-olah ingin memastikan ia baik-baik saja. “Museum Seni, ya? Jarang orang pergi ke sana belakangan ini. Biasanya ke mal atau tempat hiburan lain. Ibu penggemar seni?” tanyanya, mencoba memulai percakapan.

Nadia menatap keluar jendela, melihat pepohonan yang berbaris di pinggir jalan. “Bisa dibilang begitu. Saya suka suasana tenang di sana. Kadang-kadang, seni bisa memberi perspektif baru,” ujarnya sambil tersenyum tipis.

Sopir itu mengangguk penuh pengertian. “Betul sekali, Bu. Seni memang bisa menyentuh hati dengan cara yang unik. Saya pernah ke sana sekali waktu menemani anak saya untuk tugas sekolah. Waktu itu ada pameran lukisan, dan saya kagum. Padahal, saya bukan orang yang paham seni.”

Nadia tersenyum sedikit lebih lebar kali ini. “Kadang kita tidak perlu memahami seni sepenuhnya untuk menikmatinya. Justru yang penting adalah apa yang kita rasakan saat melihatnya.”

Sopir taksi tersenyum lebar melalui kaca spion. “Ibu benar. Saya juga merasa seperti itu waktu itu. Ada lukisan tentang laut dan perahu kecil, saya tidak tahu apa artinya, tapi rasanya seperti saya ada di sana, melawan ombak. Mungkin seni itu ya seperti itu, Bu.”

Nadia mengangguk, kali ini perasaannya sedikit lebih ringan. Ia mulai merasa bahwa perjalanan ini adalah keputusan yang tepat.

“Benar, Pak. Seni membantu kita melihat sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri, atau bahkan mengerti hal-hal yang sulit dijelaskan dengan kata-kata,” tambah Nadia.

Setelah beberapa saat hening, sopir kembali membuka percakapan. “Semoga kunjungan Ibu ke sana memberikan apa yang Ibu cari. Kadang kita semua butuh waktu untuk diri sendiri, ya.”

Nadia menoleh ke sopir itu dan tersenyum hangat. “Terima kasih, Pak. Saya harap begitu.”

Perjalanan berlanjut dengan tenang, hanya diiringi suara musik lembut dari radio taksi. Ketika taksi mulai mendekati museum, Nadia merasa sedikit lebih siap untuk menghadapi harinya.

“Sudah dekat, Bu,” kata sopir, memecah keheningan. “Museum Seni Utama ada di depan.”

“Terima kasih, Pak,” jawab Nadia sambil merogoh dompetnya untuk membayar ongkos.

Setelah membayar dan mengucapkan terima kasih, Nadia turun dari taksi. Ia berdiri sejenak di depan gedung museum, menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah masuk.

Setibanya di museum, Nadia disambut oleh suasana tenang dan elegan. Bau kayu dan cat di udara mengingatkannya pada masa kecilnya, saat ia sering datang ke museum bersama ibu dan ayahnya. Suasana itu memberinya rasa nyaman, dan sejenak, ia merasa dunia di luar sana tidak lagi begitu berat.

Nadia membeli tiket masuk dan melangkah ke dalam ruang pameran. Lukisan-lukisan klasik dan patung-patung yang terbuat dari marmer memikat perhatian matanya. Ia berhenti di depan sebuah lukisan abstrak yang besar, warna-warna cerah dan bentuk-bentuk yang kacau namun penuh dengan energi.

Nadia memandang lukisan, berbicara dalam hati, "Kadang hidup itu memang seperti ini. Tidak ada yang sempurna, semuanya terlihat kacau, tapi tetap ada keindahan di dalamnya."

Ia melangkah lebih jauh, memandangi patung-patung yang terbuat dari logam dan batu, setiap karya seni menggambarkan sesuatu yang berbeda, tetapi semuanya memiliki sesuatu yang mendalam. Nadia merasa seperti setiap karya seni ini bercerita tentang ketidaksempurnaan yang ada dalam kehidupan manusia, dan bagaimana setiap orang, meski terluka atau terjatuh, tetap memiliki nilai dan keindahan tersendiri.

Nadia berhenti di depan sebuah lukisan yang menggambarkan sepasang kekasih di tengah badai. Mereka tampak saling berpegangan erat, meskipun badai yang datang begitu ganas. Itu mengingatkannya pada dirinya dan Reza—tentang cinta yang penuh dengan keraguan, tapi juga tentang kebersamaan yang berusaha bertahan.

"Mungkin... cinta juga tidak harus sempurna. Mungkin itu artinya, kita bisa menerima kekurangan dan ketidaksempurnaan satu sama lain." Ucap Nadia pada diri sendiri

Ia duduk di bangku panjang di dekat lukisan tersebut, merenung. Beberapa pengunjung lainnya melintas, namun Nadia merasa seolah dunia itu hanya miliknya. Ia berusaha untuk memandang hubungannya dengan Reza dari sudut pandang yang lebih luas, lebih mendalam.

"Apa aku bisa menerima ketidaksempurnaan itu? Apakah cinta cukup untuk memperbaiki semua luka lama?" Nadia berpikir keras.

Nadia melangkah pelan di sepanjang lorong museum yang sunyi. Lantai marmer yang dingin memantulkan suara langkah kakinya, menciptakan irama lembut yang selaras dengan keheningan di sekitarnya. Ia berhenti di depan sebuah lukisan besar dengan warna-warna yang menghentak, menggambarkan sebuah lanskap hutan lebat di tengah badai.

Mata Nadia terpaku pada detail-detail kecil—ranting pohon yang melengkung karena angin kencang, dedaunan yang beterbangan, dan kilatan petir yang membelah langit gelap. “Hidup pun seperti ini,” pikirnya. “Kacau, penuh badai, tapi tetap indah.”

Ia melanjutkan langkahnya, berpindah ke sebuah patung marmer di sudut ruangan. Patung itu menggambarkan seorang wanita dengan ekspresi tenang, meskipun tubuhnya tampak rusak di beberapa bagian. Nadia mengamati retakan di marmer itu, menyadari bahwa kerusakan tersebut tidak mengurangi keindahan patung itu—justru membuatnya terasa lebih nyata dan penuh cerita.

“Ketidaksempurnaan adalah bagian dari hidup,” bisiknya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. “Mungkin aku harus belajar menerima itu, baik pada diriku sendiri maupun orang lain.”

Nadia berjalan ke galeri berikutnya, tempat lukisan-lukisan abstrak dipajang. Salah satu lukisan menarik perhatiannya—sebuah campuran warna biru, hijau, dan emas yang berpadu membentuk sesuatu yang tidak jelas. Namun, entah bagaimana, lukisan itu memberikan perasaan damai yang sulit dijelaskan.

Ia duduk di bangku kecil yang disediakan di tengah galeri, membiarkan dirinya terhanyut oleh suasana. Beberapa pengunjung lain melintas dengan tenang, tetapi Nadia tetap tenggelam dalam pikirannya.

“Jawaban tidak selalu datang langsung,” pikirnya sambil tersenyum kecil. “Tapi aku merasa lebih siap untuk mencarinya.”

Setelah beberapa waktu, Nadia memutuskan untuk pergi. Ia berjalan kembali ke pintu masuk, melewati ruangan yang sebelumnya ia jelajahi. Saat melewati patung wanita dengan retakan di marmernya, ia menoleh sekali lagi, merasa seolah patung itu tersenyum memberinya kekuatan.

Langkahnya menuju keluar terasa lebih ringan. Udara luar yang segar menyambutnya saat ia melewati pintu museum. Nadia berdiri sejenak di tangga depan museum, memandangi langit biru yang cerah.

“Mungkin kebahagiaan bukanlah sesuatu yang bisa langsung kudapatkan,” gumamnya. “Tapi aku bisa mulai dengan mencintai diriku sendiri dan menerima semua ketidaksempurnaan ini.”

Ia menuruni tangga museum dengan langkah yang lebih percaya diri. Pikiran-pikirannya mungkin belum sepenuhnya jernih, tetapi Nadia tahu satu hal, ia sedang bergerak menuju kedamaian, perlahan namun pasti.

Nadia melangkah keluar dari museum, udara sore yang sejuk menyambutnya. Langit mulai berubah warna, memancarkan semburat jingga yang hangat. Ia memandangi jalanan di depan museum, merasa sedikit lebih ringan setelah kunjungannya. Setelah menunggu sebentar di tepi trotoar, sebuah taksi mendekat, lampu penandanya menyala.

Nadia melambaikan tangan, dan taksi itu berhenti di depannya. Ia membuka pintu, masuk ke dalam, dan menyebutkan alamat apartemennya. "Ke apartemen Greenview, Pak," katanya dengan suara yang tenang.

Sopir taksi, seorang pria paruh baya dengan senyum ramah, mengangguk. "Baik, Bu. Langsung kita jalan."

Selama perjalanan, Nadia memandangi jalanan kota yang mulai disinari lampu-lampu jalan. Mobil-mobil melaju dengan ritme yang terasa menenangkan. Pikiran-pikirannya kembali melayang ke berbagai hal yang telah ia alami akhir-akhir ini. Museum itu, dengan segala karya seninya, memberikan sedikit pencerahan, tetapi pertanyaan besar dalam hidupnya masih menggantung tanpa jawaban pasti.

"Baru pulang dari mana, Bu?" tanya sopir taksi dengan nada santai, memecah keheningan.

"Dari museum seni," jawab Nadia dengan senyum kecil.

"Oh, bagus itu. Jarang-jarang anak muda sekarang suka ke museum. Biasanya mereka lebih suka mal," ujar sopir itu sambil tersenyum.

Nadia tertawa kecil. "Kadang butuh tempat yang tenang, Pak. Supaya bisa berpikir lebih jernih."

"Benar sekali. Kadang melihat sesuatu yang indah bisa bikin hati kita lebih damai, ya," sahut sopir itu dengan nada bijak.

Nadia mengangguk, merasa kata-kata sederhana itu benar adanya. "Iya, Pak. Membantu saya melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda."

Perjalanan berlanjut dalam keheningan nyaman. Tak lama kemudian, taksi berbelok ke kompleks apartemen Greenview. Sopir itu berhenti tepat di depan lobi utama.

"Sudah sampai, Bu," katanya sambil tersenyum.

"Terima kasih, Pak," ucap Nadia sambil mengeluarkan uang untuk membayar ongkos taksi.

Sopir itu menerima uangnya dengan ramah. "Semoga harinya lebih tenang, Bu. Jangan lupa istirahat."

Nadia tersenyum, merasa dihargai meskipun hanya dengan kata-kata sederhana. "Terima kasih, Pak. Hati-hati di jalan."

Ia keluar dari taksi, melambai sebentar sebelum memasuki lobi apartemennya. Dengan langkah perlahan, Nadia menuju lift, menekan tombol ke lantai apartemennya. Saat pintu lift terbuka di lantainya, ia berjalan ke pintu unitnya, membuka kunci, dan masuk ke dalam.

Setelah melepaskan sepatunya, Nadia berdiri sejenak di ruang tamu, memandang jendela yang menampilkan pemandangan malam kota. Perasaan damai mulai meresap dalam dirinya. Ia tahu, meskipun jawabannya belum sepenuhnya jelas, ia telah membuat langkah kecil menuju kedamaian dan penerimaan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!