**Prolog**
Di bawah langit yang kelabu, sebuah kerajaan berdiri megah dengan istana yang menjulang di tengahnya. Kilian, pangeran kedua yang lahir dengan kutukan di wajahnya, adalah sosok yang menjadi bisik-bisik di balik tirai-tirai istana. Wajahnya yang tertutup oleh topeng tidak hanya menyembunyikan luka fisik, tetapi juga perasaan yang terkunci di dalam hatinya—sebuah hati yang rapuh, terbungkus oleh dinginnya dinding kebencian dan kesepian.
Di sisi lain, ada Rosalin, seorang wanita yang tidak berasal dari dunia ini. Takdir membawanya ke kehidupan istana, menggantikan sosok Rosalin yang asli. Ia menikah dengan Kilian, seorang pria yang wajahnya mengingatkannya pada masa lalunya yang penuh luka dan pengkhianatan. Namun, di balik ketakutannya, Rosalin menemukan dirinya perlahan-lahan tertarik pada pangeran yang memikul beban dunia di pundaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon d06, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 4
Saat Rosalin melangkahkan kakinya keluar kamar untuk pertama kali, suasana kastil yang suram langsung menyergapnya, membuat ia tertegun. Rosalin sebelumnya membayangkan kastil ini mewah dan indah seperti dalam dongeng, namun kenyataannya sangat berbeda. Dinding kastil yang seharusnya putih bersih tampak kusam dan seperti tak pernah diganti. Beberapa barang di lorong terlihat tertutupi kain putih polos, menambah kesan misterius yang menyelimuti tempat ini.
Sejenak, Rosalin merasa seperti sedang berada di dalam sebuah film horor. Perasaan asing dan ketidaknyamanan semakin menguasainya. Matanya melirik Emma, pelayan setia yang mengantarnya, dengan tatapan curiga dan sedikit takut.
"Apakah Emma benar-benar manusia?" gumamnya dalam hati, tak mampu menahan rasa takut yang tiba-tiba muncul.
Emma, yang menyadari ketegangan Rosalin, menoleh dengan senyum lembut dan bertanya, "Ada apa, Tuan Putri?"
Dengan suara kecil, hampir tak terdengar, Rosalin bertanya, "Emma... apa kau manusia sungguhan?"
Emma terlihat terkejut mendengar pertanyaan itu. "Yaaa, walaupun saya sudah tua, saya belum mati, Putri," jawabnya dengan nada sedih, mengira Rosalin merendahkan umurnya.
Rosalin tersadar bahwa pertanyaannya terdengar kasar dan buru-buru meminta maaf. "Maafkan aku, Emma. Bukan itu maksudku. Aku hanya… sedikit takut. Kastil ini…," kata Rosalin, suaranya terhenti di antara rasa malu dan cemas.
Emma kembali tersenyum, kali ini dengan lebih hangat. Dia meraih tangan Rosalin dan menepuknya perlahan, "Tidak apa-apa, Putri. Saya hanya bercanda. Saya mengerti perasaan Anda. Sayangnya, kastil ini memang tidak ada yang merawat. Pangeran melarang kami memindahkan barang-barang itu."
Rosalin menatap Emma bingung. "Kenapa tidak boleh?"
Ekspresi Emma berubah serius. "Karena ada hal-hal yang tidak bisa saya ceritakan, Putri."
Sebelum Rosalin sempat bertanya lebih jauh, suara prajurit terdengar memanggil nama Kilian dengan keras dari halaman kastil.
"Ayo, Putri. Sepertinya Pangeran sudah datang," kata Emma sambil menggandeng Rosalin, membawa dia menuruni anak tangga yang berderit menuju pintu utama.
Saat pintu utama terbuka, Rosalin menahan napas. Di hadapannya berdiri seorang pria yang memancarkan aura kekuatan dan wibawa—Kilian El Barkenette. Sosok yang selama ini menjadi misteri baginya, akhirnya muncul.
Deg!
Rosalin membeku. Tubuhnya kaku, pandangannya terpaku pada pria di hadapannya. Ada sesuatu yang aneh. Mata Rosalin berkaca-kaca, tidak tahu harus merasa bahagia atau takut. Wajah pria itu—sebagian tertutup topeng, tetapi jelas terlihat mirip dengan wajah seseorang yang ia kenal sangat baik. Mantan suaminya.
Meskipun Kilian mengenakan topeng, Rosalin sangat mengenali fitur wajah yang tersisa. Rambut hitam legam yang tersisir rapi ke belakang, mata tajam yang menyiratkan kekuasaan, dan rahang tegas yang mengingatkan pada sosok pria yang pernah menghancurkan hidupnya. Tubuhnya tegap, memancarkan kekuatan seorang pemimpin dan prajurit yang telah menaklukkan banyak musuh.
Tetapi, Rosalin tidak tahu kenapa Kilian harus mengenakan topeng. Apakah semua ingatan yang diberikan padanya tidak sepenuhnya benar? Ada sesuatu yang ia rasakan belum lengkap.
Kilian menghentikan langkahnya tepat di hadapan Rosalin. Jantung Rosalin berdebar keras. Ia tahu bahwa sekarang ia harus melakukan sambutan sesuai etiket kerajaan, meskipun perasaan gugup mulai merayap di seluruh tubuhnya. Dengan anggun, Rosalin menyeka air mata yang mulai muncul, berusaha keras untuk tetap tenang.
“Salam, Pangeran. Semoga dewa selalu melindungi Anda. Dan selamat atas kemenangan yang Anda dapatkan. Saya ikut senang mendengarnya,” ucap Rosalin, berusaha mempertahankan suaranya tetap stabil.
Namun, Kilian tidak menjawab. Diam.
Dengan langkah perlahan, Kilian menundukkan sedikit badannya, mendekati Rosalin, lalu berbisik di telinganya, “Apalagi yang Anda rencanakan, Nona Rosalin?”
Kalimat itu membuat Rosalin tersentak. Kebingungan melintas di wajahnya. Apa maksudnya? Apakah Kilian tahu sesuatu? Apakah sikapnya dulu—sikap Rosalin yang asli—membuat Kilian mencurigainya?
Tanpa berkata lebih banyak, Kilian berjalan melewati Rosalin begitu saja, meninggalkannya dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Emma, yang selalu setia menemani, terlihat canggung.
“Maafkan sikap Pangeran. Sepertinya beliau sedang kelelahan,” ucap Emma, mencoba menenangkan Rosalin yang masih terkejut dengan kejadian barusan.
Rosalin menghela napas, mencoba menenangkan hatinya. “Tak apa, Emma. Aku mengerti. Mari kita susul Pangeran,” balasnya, meskipun pikirannya masih dipenuhi dengan misteri yang baru saja terjadi.
...***...
Rosalin duduk diam di tepi tempat tidur, pikirannya berkecamuk dengan pertanyaan yang terus menghantuinya. Mengapa takdir seolah tidak pernah memberikan ruang baginya untuk bernafas? Setelah semua yang ia alami di kehidupan sebelumnya, apakah ini bentuk keadilan atau malah hukuman? Dia hanya ingin hidup dengan tenang, jauh dari ingatan masa lalu yang penuh luka. Namun, kehadiran Kilian—dengan wajah yang begitu mirip mantan suaminya—menghancurkan harapannya untuk melepaskan diri dari masa lalu.
Penyesalan mulai menggerogoti hatinya. Ia mengingat kembali momen ketika ia berharap untuk mendapatkan kesempatan kedua. Kini, Rosalin bertanya pada dirinya sendiri, apakah ia salah meminta untuk hidup lagi? Haruskah ia tetap bertahan di tempat ini, hidup dalam bayang-bayang wajah pria yang mengingatkannya pada rasa sakit yang tak tertahankan? Tapi, jika ia pergi, ke mana? Di dunia yang asing ini, tidak ada seorang pun yang ia kenal, tidak ada tempat yang bisa menjadi pelariannya.
Rosalin tahu ada dua pilihan yang harus dihadapinya. Tetap diam di sini, dengan risiko terus dihantui masa lalu yang tak kunjung padam, atau kembali menjadi sosok Rosalin yang dulu—yang dianggap lemah, bodoh, dan tidak berguna oleh keluarganya. Kedua pilihan itu sama-sama menyakitkan.
Saat memikirkan segala kemungkinan, kelopak matanya semakin berat. Di antara keputusasaan dan kebingungan yang menyelimuti pikirannya, Rosalin akhirnya terlelap, membawa serta segala keraguan dan ketakutan ke dalam mimpinya. Di dalam tidurnya, pertanyaan-pertanyaan itu terus bergema tanpa jawaban yang pasti.
...***...
Dukungan dari kalian sangat penting bagi saya
Terimakasih karena telah menjadi pembaca di cerita silhoute of love ❤️
Semoga cerita ini sesuai selera dan ekspektasi kalian
semoga ceritanya sering update