Di sebuah kota kecil yang diselimuti kabut tebal sepanjang tahun, Ardan, seorang pemuda pendiam dan penyendiri, menemukan dirinya terjebak dalam lingkaran misteri setelah menerima surat aneh yang berisi frasa, "Kau bukan dirimu yang sebenarnya." Dengan rasa penasaran yang membakar, ia mulai menyelidiki masa lalunya, hanya untuk menemukan pintu menuju dunia paralel yang gelap—dunia di mana bayangan seseorang dapat berbicara, mengkhianati, bahkan mencintai.
Namun, dunia itu tidak ramah. Ardan harus menghadapi versi dirinya yang lebih kuat, lebih kejam, dan tahu lebih banyak tentang hidupnya daripada dirinya sendiri. Dalam perjalanan ini, ia belajar bahwa cinta dan pengkhianatan sering kali berjalan beriringan, dan terkadang, untuk menemukan jati diri, ia harus kehilangan segalanya.
---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HARIRU EFFENDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13:Gerbang Kegelapan
Ardan berdiri di depan gerbang kastil, merasakan aura dingin yang keluar dari celah-celahnya. Gadis penuh luka tadi sudah menghilang entah ke mana, meninggalkan tanda tanya yang belum terjawab di benaknya. Namun, Ardan tidak punya waktu untuk memikirkan itu sekarang.
Dengan kedua tangannya, ia mendorong gerbang besar itu. Logam hitamnya berderit keras, seperti menjerit di tengah keheningan malam. Di balik gerbang, kegelapan pekat menyambutnya, seolah menantang langkah kakinya.
Begitu ia melangkah masuk, pintu besar itu tertutup sendiri di belakangnya dengan suara yang menggema. Ardan menoleh, mencoba mendorongnya kembali, tetapi sia-sia. Dia sekarang benar-benar terperangkap di dalam.
Lorong yang ia masuki begitu panjang dan sempit, diterangi hanya oleh nyala obor kecil yang berkedip-kedip di sepanjang dinding. Suara tetesan air dari langit-langit menciptakan irama yang menghantui, membuat setiap langkahnya terasa lebih sunyi.
“Aku tahu kau di sini...” suara itu terdengar lagi.
Suara yang sama seperti sebelumnya, tetapi kali ini lebih jelas—seperti berbisik langsung di telinganya. Ardan berputar, mencoba mencari sumber suara itu, tetapi tidak ada siapa pun.
Lorong itu berakhir di sebuah aula besar, dipenuhi patung-patung yang berdiri berjajar di kedua sisinya. Wajah patung-patung itu terlihat aneh, hampir seperti orang-orang yang ia kenal—tetapi semuanya dengan ekspresi kesakitan.
Ia mendekati salah satu patung yang tampak seperti gadis penuh luka tadi. Wajahnya terukir dengan sempurna, meski tubuhnya ditutupi bekas-bekas luka dan goresan.
“Tidak mungkin… Ini tidak nyata,” Ardan bergumam, mencoba menyentuh patung itu. Namun, sebelum tangannya menyentuh permukaan dingin patung, matanya yang terukir di batu tiba-tiba bergerak.
Patung itu menoleh ke arahnya, bibirnya yang sebelumnya kaku kini terbuka. “Kau akan menjadi salah satu dari kami…” bisik patung itu, suaranya terdengar seperti serpihan pecahan kaca.
Ardan mundur dengan cepat, terjatuh ke lantai batu yang dingin. Namun, sebelum ia bisa berdiri, semua patung di aula itu bergerak, perlahan mendekatinya.
“Kembalikan… kembalikan apa yang kau ambil…” suara mereka berbicara serentak, menciptakan gema yang membuat telinganya berdengung.
“Aku tidak mengambil apa pun!” Ardan berteriak panik, mencoba menjauh dari mereka.
Tetapi patung-patung itu semakin mendekat, wajah mereka kini berubah menjadi sosok-sosok mengerikan dengan mata kosong yang memancarkan kebencian. Salah satu dari mereka meraih lengannya, dan saat sentuhan dingin itu menyentuh kulitnya, ia merasakan nyeri seperti terbakar.
Tiba-tiba, dari kegelapan aula, cahaya terang muncul. Sebuah suara lain, lebih lembut, terdengar.
“Berhenti!”
Cahaya itu berasal dari gadis penuh luka tadi, yang kini berdiri di tengah aula. Namun, tubuhnya terlihat lebih hancur daripada sebelumnya, dengan darah yang mengalir dari luka-lukanya.
“Pergi! Ini bukan tempatmu!” katanya kepada Ardan, matanya menatap tajam.
Gadis itu mengangkat tangannya, dan cahaya yang memancar darinya membuat patung-patung itu berhenti. Perlahan, mereka kembali ke posisi semula, seperti tidak pernah hidup sebelumnya.
Ardan terengah-engah, melihat gadis itu dengan campuran rasa takut dan syukur. “Siapa kau? Kenapa kau terus muncul di mana-mana?”
Namun, gadis itu hanya menatapnya dengan tatapan kosong. “Jika kau terus maju, kau akan menemukan kebenaran. Tapi jangan berharap bisa keluar hidup-hidup.”
Sebelum Ardan sempat bertanya lebih lanjut, gadis itu lenyap, meninggalkan jejak darah yang mengalir ke salah satu pintu di ujung aula.
Ardan terdiam, tangannya gemetar. Ia tahu bahwa satu-satunya jalan adalah mengikuti jejak itu, meskipun rasa takut menyelimuti hatinya. Dengan langkah berat, ia berjalan menuju pintu itu, bersiap menghadapi apa pun yang ada di baliknya.
---