Semua ini berawal dari kata sandi sambungan Wi-Fi di rumah gue. Kedengarannya sepele, kan?
Tapi percaya, deh, lo salah besar kalau mengira ini cuma hal kecil yang enggak bakal bisa mengubah nasib seseorang.
Sekarang, kata sandi itu bukan cuma gue yang tahu, tapi juga mereka, tiga lelaki keren dari keluarga Batari yang tinggal di belakang rumah gue.
Bukan karena gue pelit, ya.
Tapi ini masalah yang jauh lebih besar, menyangkut harga diri gue sebagai seorang perempuan. Karena begitu dia tahu isi kata sandi itu, gue yakin hidup gue bakal berubah.
Entah akan jadi lebih baik, atau justru makin hancur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kuburan
Anan ada di depan gue, pakai jaket biru gelap dari tim sepak bola yang menutupi kaus hijau yang tadi dia pakai pas latihan. Di atas kepalanya ada payung, sementara tangan satunya masuk ke kantong celana pendek hitamnya, kelihatan keren dan elegan.
Dia santai banget, padahal barusan bikin gue ketakutan sampai hampir pingsan. Ini pertama kalinya gue lihat dia dari jarak sedekat ini, tingginya bikin gue minder, dan tatapannya itu, tajam sampai bikin gue merinding.
"Lo bikin gue takut," kata gue sambil pegang dada. Dia cuma diam, melihat gue dengan tenang.
Detik-detik berlalu serasa lama banget, sampai akhirnya senyum mengejek muncul di bibirnya yang tebal itu. "Lo pantas, kok," katanya.
"Kenapa?"
"Lo tahu sendiri kenapa." Dia berbalik badan dan mulai jalan lagi ke arah makam-makam.
Ya ampun, enggak mungkin gue mau ditinggal sendirian di sini.
"Tunggu!" Gue buru-buru mengejar, dan dia enggak memperhatikan, tapi juga enggak terganggu sama gue yang mengikuti dia kayak anak anjing.
Anan akhirnya berhenti di satu area terbuka dan duduk di atas batu nisan, dia taruh payungnya di samping. Gue cuma berdiri bengong melihat dia. Dia keluarkan kotak rokok dari kantongnya sama korek.
Enggak heran, gue sudah tahu dia punya kebiasaan itu. Apa gunanya gue nge-stalking dia kalau enggak tahu tentang dia?
Dia menyalakan rokoknya, menghisap, terus buang asap putihnya pelan-pelan dari mulut. Tatapannya menerawang, kelihatan banget dia lagi tenggelam dalam pikirannya.
Pikiran?
Jadi, dia ke sini cuma buat merokok, ya?
Jauh-jauh jalan kaki cuma buat itu. Tapi masuk akal sih, orang tuanya pasti enggak bakal setuju anak mereka yang jadi bintang dan atlet malah merokok. Gue tahu dia melakukan ini secara diam-diam dan hati-hati banget.
"Lo mau terus berdiri di situ semalaman?" tanyanya dingin.
Gue akhirnya duduk di atas nisan di depan dia, tetap jaga jarak. Dia memperhatikan gue sambil keluarkan asap rokoknya.
Gue telan ludah, enggak yakin dengan apa yang gue lakukan ini, tapi enggak ada cara lain, gue enggak mau balik sendirian lewat jalan gelap itu. "Gue cuma nungguin lo biar enggak balik sendirian." Rasanya gue perlu memperjelas kenapa gue masih di sini.
Cahaya lampu remang di kuburan ini memantul di wajahnya. Dia senyum miring melihat gue. "Ngapain lo di sini, Zielle?"
Dengar dia bilang nama gue bikin perut gue berasa ada yang aneh. "Gu—gue lagi ngunjungin keluarga." Bohong gue.
Anan angkat alis. "Oh ya? Keluarga siapa?"
"Ke—keluarga jauh."
Anan mengangguk, terus dia buang rokoknya ke tanah dan mati in pakai sepatunya. "Ya, dan lo ngunjungin keluarga jauh itu sendirian, di tengah hujan dan malam-malam?"
"Iya, gue enggak sadar kalau udah malam."
Anan condong ke depan, sikutnya di lutut, tatapannya fokus ke gue. "Bohong."
"Apaan, sih?"
"Kita berdua tahu lo bohong."
Gue main-mainkan tangan gue di pangkuan. "Enggak, kok."
Dia berdiri dan gue merasa enggak enak duduk terus, jadi gue ikutan berdiri. Sekarang kita berhadapan dan napas gue mulai enggak teratur.
"Kenapa lo ngikutin gue?"
Gue basahi bibir. "Gue enggak tahu lo ngomongin apa."
Anan makin dekat ke arah gue, dan gue mundur pelan-pelan sampai punggung gue mentok sama tembok rumah orang mati. Dia cepat banget menggapai tembok di samping kepala gue dengan tangannya, bikin gue kaget.
"Gue enggak ada waktu buat main-main sama hal bodoh lo, jawab gue sekarang!"
Napas gue berantakan. "Serius, gue enggak ngerti lo ngomongin apa. Gue ke sini buat nyekar… seseorang …"
"Bohong." Dia terlalu dekat, bikin jantung gue kerja keras banget.
"Ini kuburan umum, kan? Gue bebas, dong, jalan-jalan di mana aja."
Anan tiba-tiba pegang dagu gue, bikin gue harus mengangkat kepala dan tatap dia. Tangannya hangat banget di kulit gue yang dingin. Gue langsung berhenti bernapas.
Rambutnya yang setengah basah menempel di wajahnya yang pucat dan sempurna itu, bibirnya merah alami dan kelihatan basah. Ini semua sempurna buat gue yang pendek ini. Dari jauh saja gue sudah susah mengatur diri, apalagi sekarang dia dekat banget, enggak ada satu meter di depan gue.
"Lo pikir gue enggak tahu soal obsesi lo sama gue?"
Panas langsung menyerang pipi gue, dan gue coba untuk melihat ke bawah, tapi dia tahan dagu gue dengan lembut.
"Lepasin gue," teriak gue, pegang pergelangan tangannya buat melepaskan, dan akhirnya berhasil. Tapi dia tetap enggak mundur, tatapannya bikin jantung gue makin enggak karuan.
"Lo enggak akan ke mana-mana sampai lo jawab pertanyaan gue." Suaranya tegas.
"Gue enggak ngerti apa yang lo omongin," bantah gue lagi, mencoba cuek sama panas tubuhnya yang bikin gue ikutan hangat.
"Oke, gue bantu buat balikin ingatan lo, ya?" Nada suaranya bikin gue enggak nyaman. "Lo udah stalking gue dari lama banget, Zielle." Suara dia sebut nama gue saja bikin gue merinding. "Wallpaper di komputer lo itu foto-foto gue yang lo comot dari Instagram, dan password Wi-Fi lo pakai nama gue."
Gue langsung enggak bisa ngomong, dia tahu semuanya.
Malu saja enggak cukup buat jelaskan apa yang gue rasakan sekarang, ini sudah di level malu paling tinggi.
"Gue…" Gue benar-benar enggak tahu mau ngomong apa. Gue sadar kalau akhirnya dia tahu soal obsesi gue ke dia, apalagi dia sempat nge-hack komputer gue.
Perasaan campur aduk mulai muncul. Dia menang, seolah-olah dia punya kontrol penuh atas situasi ini. Gue bisa lihat tatapannya mengejek dan muka-muka juara di wajahnya muncul. Dia menikmati banget dan itu bikin gue terpojok.
Dia menunggu gue buat mengelak, tunduk, biar dia bisa ketawa puas melihat gue. Tapi tiba-tiba ada yang berubah dalam diri gue, rasa ingin menantang muncul. Gue enggak mau kasih kepuasan itu ke dia.
Capek gue jadi cewek pemalu yang selalu sembunyi di balik lelucon dan sindiran. Gue ingin buktikan ke cowok cakep di depan gue ini kalau dia salah soal gue, kalau semua yang dia pikir dia tahu itu semuanya hanya omong kosong.
Gue bukan cewek penakut, gue cewek kuat, mandiri, dan berani. Biasanya sisi pemberani ini muncul kalau gue terpojok, jadi ini mekanisme pertahanan diri gue.
Sudah cukup sembunyi, sudah cukup takut mengungkapkan apa yang gue pikir dan rasakan cuma karena takut ditolak.
Gue pun mengangkat dagu dan menatap langsung mata biru tajamnya itu. "Ya, gue stalking lo."
Melihat Anan terkejut itu bikin gue merasa puas. Tatapan meledek dan kemenangannya langsung hilang, berganti dengan wajah kebingungan. Dia mundur selangkah, kelihatan kayak enggak percaya sama apa yang baru saja dia dengar.
Gue senyum miring, tangan gue menyilang di dada. "Kenapa kaget gitu, anak ganteng?"
Dia diam saja.
Ini dia, ladies and gentlemen, gue, Zielle Pertiwi akhirnya berhasil bikin crush gue enggak bisa berkutik.
Anan membalikkan tangannya mengusap dagu, sepertinya dia berpikir keras. "Enggak nyangka sih, gue akuin."
Gue angkat bahu. "Gue tahu."
Senyum di wajah gue enggak bisa hilang. Gue lagi merasa pegang kendali.
Anan jilat bibirnya, jelas masih mencoba buat mengerti semua ini. "Jadi, boleh tahu kenapa lo stalking gue?"
"Masih enggak jelas, ya?" Gue jawab dengan nada santai. "Karena gue suka sama lo."
Mata Anan nyaris keluar dari tempatnya. "Sejak kapan lo jadi… seberani ini?"
Sejak lo memojokkan gue dan berniat menghancurkan harga diri gue.
Gue merapikan rambut basah gue terus mengedipkan mata ke dia. "Dari dulu, kok."
Anan ketawa kecil. "Gue pikir lo cewek pendiam yang sok-sokan polos, tapi ternyata lo lumayan berani juga."
"Lumayan?" Gue mendengus. "Gue cewek paling menarik yang pernah lo temuin seumur hidup lo."
"Oh, jadi lo PD gitu, ya?"
"Udah pasti."
Anan makin dekat lagi, tapi kali ini gue enggak mundur sama sekali. "Terus, cewek menarik ini sebenarnya mau apa dari gue?"
"Masa lo enggak bisa nebak? Gue kira lo punya IQ paling tinggi se-Jakarta ini."
Anan ketawa lepas, suaranya bergema di antara rumah-rumah kecil. "Gila, lo banyak tahu juga soal gue. Ya, gue udah bisa nebak, cuma gue pengen lo yang ngomong langsung."
"Gue rasa gue udah ngomong cukup banyak, sekarang giliran lo yang nebak apa maunya gue."
Anan condongkan badannya, muka kita sekarang cuma beberapa senti doang, bikin gue deg-degan lagi sampai enggak sengaja menelan ludah.
"Mau lihat kamar gue?" Suaranya jelas banget, dan gue dorong dia sambil geleng-geleng kepala.
"Enggak, makasih."
Anan langsung mengerutkan dahi. "Terus lo maunya apa?"
"Gampang aja," jawab gue santai, "Gue mau lo jatuh cinta sama gue."
Anan ketawa lagi, kenceng banget. Gue enggak tahu apanya yang lucu, karena gue serius, tapi ya enggak masalah sih, suara ketawanya enak didengar.
Akhirnya dia berhenti ketawa dan memperhatikan gue dengan ekspresi aneh. "Lo gila. Kenapa gue harus jatuh cinta sama lo? Lo bahkan bukan tipe gue."
"Kita lihat aja nanti." Gue mengedipkan mata ke dia sambil senyum. "Gue memang gila, dan tekad gue juga menggila."
"Ya, itu sih kelihatan jelas," katanya sambil balik duduk di atas makam yang tadi.
Mencoba buat mencairkan suasana, gue tanya, "Ngapain lo ke sini malem-malem gini?"
"Tenang, sepi."
"Lo suka sendirian?"
Anan menatap gue sebentar, terus tarik sebatang rokok lagi, menyelipkan di bibirnya yang merah dan HP gue bunyi.
^^^"Di mana sih, lo? Setahu gue, latihan sepak bola udah kelar dari tadi."^^^
Gue melirik Anan, yang sekarang cuma memperhatikan gue dengan senyum iseng sambil buang asap rokoknya pelan-pelan.
"Iya, nanti gue ceritain. Gue cabut dulu."
Niria mendesah di seberang telepon.
..."Oke, jangan sampai ketahuan nyokap, Zielle."...
Setelah menutup telepon, gue berusaha bangkit, tapi Anan langsung tahan tangan gue. "Mau ke mana?"
"Gue harus balik, sebelum Nyokap gue sadar gue masih di luar." Dia menatap gue dengan tatapan santai tapi menusuk, bikin gue enggak nyaman tapi juga enggak bisa menolak.
"Tenang aja. Lo udah di sini, sekalian aja ngobrol bentar lagi."
Gue tarik napas dalam-dalam, lalu duduk lagi di sebelah dia. Dingin mulai terasa banget, tapi kehadiran Anan bikin gue lupa sama semuanya. Kita diam saja di situ, menikmati momen tenang yang aneh ini di kuburan.
Setelah beberapa saat, dia ngomong dengan nada datar, "Kalau lo takut balik sendirian, gue anterin. Gue enggak punya acara lain malam ini."
Gue kaget dengar dia menawarkan itu. "Lo serius?" Dia cuma mengangguk sambil buang puntung rokoknya ke tanah dan menginjaknya. " Kalau gitu, yuk, cabut."
Gue enggak pernah menyangka hari ini bakal berakhir kayak begini. Gue duduk bareng sama cowok yang selama ini gue kagumi dari jauh, di kuburan, dan sekarang dia mau antar gue pulang.
Gue lirik Anan, dan dia malah kasih gue senyuman lima detik sebelum bibirnya kembali datar gara-gara HP gue bunyi lagi.
Gue gigit bibir sambil angkat telepon.
^^^“Udah deh, kasih tau aja nyokap kalau gue otw.”^^^
Gue matikan telepon sebelum dia bisa ganggu lagi.
Anan masih pakai senyum itu di bibirnya yang cakep banget, dan rasanya gue ingin banget tahu bagaimana rasanya kalau gue cium.
“Lo barusan bohong apa?”
“Enggak, cuma... ngejelasin di telepon itu ribet aja.”
Sebelum dia tanya-tanya lagi soal apa yang gue bilang ke Niria, gue langsung bilang “Bisa enggak... lo anterin gue? Minimal sampe jalan depan, abis itu gue bisa jalan sendiri.”
“Ya, bisa aja, tapi lo mesti bayar.” Dia bangkit dan berdiri.
“Bayar?”
“Iya.” Dia ambil payungnya dan mengarahkan ke gue, paksa gue buat mundur biar ujung payungnya enggak kena dada gue. “Gue mau lo kasih gue ciuman, di mana aja, boleh.”
Pipi gue langsung panas. “Enggak!”
“Takut ya?” ejeknya. “Atau selama ini lo yang sok-sokan berani itu cuma acting doang?”
Gue menyipitkan mata. “Enggak, cuma menurut gue itu harga yang terlalu mahal buat gue bayar!”
Dia angkat bahu. “Ya udah, lo pulang aja sendiri.” Dia balik lagi buat duduk, tapi melirik gue, memastikan gue enggak bakal pergi sendirian.
Sebenarnya gue juga ingin ciuman itu. Cuma membayangkannya saja bikin gue takut.
“Tunggu.” kata gue dengan nada cuek. “Oke.”
Anan balik menengok ke gue. “Bener?”
“Iya!” Jantung gue rasanya mau copot. “Kita bisa pergi sekarang, gak?”
Anan menjilat bibirnya pelan. “Gue butuh DP buat mulai jalan.”
“Gue udah bilang kan, Iya.” Wajah dia cuma beberapa senti dari wajah gue.
“Janji?”
Gue tahu malam ini baru awal dari sesuatu yang enggak gue tahu apakah bisa gue hadapi atau enggak, tapi setidaknya, gue akan coba.
“Iya.”
“Oke. Kita lihat apakah itu benaran.”
“Apa...?” Gue mendesah saat dia membungkuk dan mendekatkan wajahnya ke leher gue, rambutnya menyentuh pipi gue. “Anan, lo ngapain?” Suara gue bergetar, semuanya berantakan karena dekat dia.
Napasnya yang hangat menyentuh leher gue, bikin hormon gue bangkit, dan sialnya, gue malah mendekat ke dia.
“Lo tremor, Zielle?” Dia sebut nama gue di telinga, bikin geli seluruh tubuh gue. Gue enggak percaya ini terjadi, Anan menempel ke gue, napas hangatnya di leher, tangannya di pinggang gue.
Apa gue lagi mimpi?
“Lo gak mimpi.” sahutnya.
Sial!
Gue kira gue lagi ngomong dalam hati. Malunya langsung menyerang, tapi pas bibir Anan menyentuh kulit leher gue, semuanya jadi lupa.
Anan meninggalkan ciuman basah di kulit gue, sampai bibirnya tiba di telinga gue dan menjil*tnya pelan. Kaki gue goyang, dan kalau enggak ada Anan yang pegang, mungkin gue sudah jatuh.
Apa yang dia lakukan?
Gue bergetar, aliran darah gue semakin deras menyebar ke seluruh tubuh, bikin gue kehabisan napas. Ada tekanan di perut bawah, dan gue enggak percaya semua ini cuma karena dia cium leher gue.
Napas Anan makin cepat, kayaknya gue bukan satu-satunya orang yang merasakan ini. Setelah dia selesai menyerang leher gue, dia lanjut cium di sebelah wajah dan bergerak ke pipi, sampai dia menempelkan bibirnya di sudut bibir gue.
Gue buka mulut, berharap ada kontak selanjutnya, menunggu sentuhan bibirnya, tapi ciuman itu enggak pernah datang.
Anan mundur dan kasih senyum puas. “Yuk, pergi.”
Gue masih terengah-engah dan cukup terkejut.
Hei.
Dia mau tinggalin gue kayak begini?
Gue ingin bertanya, tapi gue berhenti sebelum permintaan itu keluar dari mulut gue.
Dia ambil payungnya dan mulai jalan tanpa peduli sama apa yang barusan terjadi sama kita berdua.
Dan...
Kedua kaki ini mengikuti dia.