Elle, seorang barista di sebuah kedai kopi kecil di ujung kota, tanpa sengaja terlibat perselisihan dengan Nichole, pemimpin geng paling ditakuti di New York. Nichole menawarkan pengampunan, namun dengan satu syarat: Elle harus menjadi istrinya selama enam bulan. Mampukah Elle meluluhkan hati seorang mafia keji seperti Nichole?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Absolute Rui, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 10: Kebenaran yang Mulai Terungkap
Hujan deras masih mengguyur kota, menciptakan suasana melankolis di rumah besar milik Nichole. Elle duduk di sofa ruang tamu, menatap kosong ke arah jendela. Seminggu berlalu sejak pertemuan di restoran dengan Selene dan Katherine, tetapi pikiran Elle masih penuh dengan bayang-bayang malam itu. Kata-kata Katherine dan Selene terngiang di telinganya, dan tatapan tajam Nichole ketika membela dirinya membuat segalanya semakin rumit.
Nichole jarang di rumah sejak malam itu. Ia selalu sibuk dengan “urusan bisnisnya,” membuat Elle merasa semakin terasing. Namun, di balik kesepiannya, rasa penasaran Elle justru semakin besar. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa tujuan Nichole menikahinya?
Elle terbangun dari lamunannya ketika suara langkah kaki terdengar dari arah lorong. Itu pelayan Nichole yang membawa setumpuk dokumen tebal. Langkahnya tergesa-gesa, seolah takut ada yang melihatnya. Namun, ketika ia melintasi ruang tamu, salah satu dokumen terjatuh ke lantai.
“Oh, maafkan saya, Nona Elle,” kata pelayan itu panik sambil buru-buru memungut dokumen yang terjatuh.
Namun, Elle sudah melihat sesuatu yang membuatnya terpaku. Sebuah diagram di halaman depan dokumen itu—nama-nama perusahaan yang terhubung oleh garis, dan di tengahnya ada satu nama besar: **Nichole Lancaster Corporation**.
“Apa ini?” tanya Elle dengan nada penasaran.
Pelayan itu tampak gugup. “Hanya dokumen bisnis biasa, Nona. Tidak ada yang penting.”
Elle mengangkat alis, tidak percaya. “Bisakah aku melihatnya sebentar?” tanyanya, mencoba terdengar santai meskipun rasa ingin tahunya sudah memuncak.
Pelayan itu ragu sejenak sebelum akhirnya menggeleng. “Maaf, Nona. Saya harus segera menyerahkannya kepada Tuan Nichole.”
Elle menghela napas saat pelayan itu pergi, tetapi pikirannya tidak berhenti memikirkan diagram yang ia lihat. Ada sesuatu yang janggal, dan Elle yakin dokumen itu adalah salah satu kunci untuk memahami siapa sebenarnya Nichole.
Di malam yang sama, Elle memutuskan untuk mencari udara segar di balkon. Hujan sudah reda, meninggalkan aroma tanah basah yang menenangkan. Ia memandang keluar ke taman yang diterangi lampu-lampu kecil, tetapi langkah-langkah suara dari lantai bawah menarik perhatiannya.
Elle mengintip dari atas balkon dan melihat Nichole berdiri di depan pintu ruang kerja bersama seorang pria yang tidak ia kenal. Pria itu tampak membawa koper besar, dan pembicaraan mereka terdengar samar-samar.
“Apa semuanya sudah siap?” tanya Nichole dengan nada rendah.
“Ya, tapi aku rasa kau harus lebih berhati-hati,” jawab pria itu. “Selene tidak akan tinggal diam. Dan Katherine… dia mungkin lebih berbahaya daripada yang kau pikirkan.”
Nichole menghela napas. “Aku tahu itu. Tapi aku tidak akan membiarkan mereka menyentuh Elle.”
Mendengar namanya disebut, jantung Elle berdegup kencang. *Menyentuhku? Apa maksudnya?*
Pria itu tertawa kecil. “Kau mulai terlalu terikat pada gadis itu, Nichole. Kau tahu ini bukan bagian dari rencana, kan?”
Nichole tidak menjawab. Ia hanya menutup koper itu dan mengantar pria tersebut ke pintu depan. Elle kembali masuk ke kamarnya dengan pikiran yang bercampur aduk. Ia ingin percaya pada Nichole, tetapi semakin banyak ia mengetahui, semakin sulit baginya untuk mengabaikan kenyataan bahwa ia mungkin hanyalah pion dalam permainan besar ini.
Keesokan paginya, Nichole duduk di ruang makan bersama Elle untuk pertama kalinya dalam seminggu. Ia tampak lebih santai, meskipun wajahnya masih menunjukkan kelelahan.
“Maaf aku sibuk akhir-akhir ini,” katanya sambil menuangkan kopi untuk Elle.
Elle hanya mengangguk, tidak ingin memulai percakapan yang bisa menjadi konfrontasi. Namun, Nichole tampaknya merasakan ada sesuatu yang mengganjal.
“Kau baik-baik saja?” tanyanya, tatapannya lembut.
Elle terkejut dengan nada suara Nichole yang berbeda. Biasanya, Nichole berbicara dengan nada dingin dan profesional, tetapi kali ini ada kehangatan yang jarang ia rasakan.
“Aku baik,” jawab Elle singkat.
Namun, Nichole tidak puas dengan jawaban itu. “Elle, aku tahu aku bukan suami terbaik. Tapi aku ingin kau tahu, aku melakukan semua ini karena aku peduli padamu.”
Kata-kata itu membuat Elle terdiam. Ia ingin bertanya apa maksud Nichole, tetapi ia takut jawaban yang akan ia terima akan menghancurkan perasaannya. Ia menyadari bahwa ia mulai merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar rasa toleransi terhadap Nichole.
Namun, sebelum percakapan mereka bisa berlanjut, telepon Nichole berdering. Wajahnya berubah serius saat membaca pesan yang masuk. “Aku harus pergi,” katanya sambil berdiri.
Elle hanya bisa menatap punggung Nichole saat ia pergi, merasa seperti ada sesuatu yang hilang di dalam dirinya.
Di sore harinya, Elle memutuskan untuk keluar rumah untuk menghilangkan rasa bosannya. Ia pergi ke sebuah kafe kecil di dekat taman. Namun, saat ia sedang menikmati teh hangatnya, sebuah suara yang familiar membuatnya terkejut.
“Elle, betapa kebetulan bertemu denganmu di sini.”
Katherine.
Elle menegang di kursinya saat Katherine duduk tanpa diundang. Wanita itu tampak seperti biasa—anggun, percaya diri, dan penuh dengan aura manipulatif.
“Apa yang kau inginkan?” tanya Elle, mencoba terdengar tegas meskipun ia merasa gugup.
Katherine tersenyum tipis. “Hanya ingin berbicara. Tidak bisakah kita menjadi teman?”
Elle mendengus. “Kita tidak punya alasan untuk menjadi teman.”
Katherine tertawa kecil. “Mungkin. Tapi aku hanya ingin memberimu peringatan, Elle. Kau mungkin berpikir Nichole peduli padamu, tapi percayalah, dia hanya melakukan ini karena ada sesuatu yang dia inginkan darimu.”
“Seperti apa?” tanya Elle tajam.
Katherine tidak langsung menjawab. Ia menyesap kopinya dengan santai sebelum berkata, “Itu sesuatu yang harus kau temukan sendiri. Tapi percayalah, semakin dalam kau terlibat, semakin sulit kau keluar.”
Kata-kata Katherine membuat Elle merasakan gelombang kecemasan. Ia tidak tahu apakah Katherine hanya mencoba mengganggunya, atau apakah ada kebenaran dalam peringatan itu.
Malam itu, Elle duduk di kamarnya, menatap buku catatan yang pernah ia temukan di ruang kerja Nichole. Ia tahu bahwa satu-satunya cara untuk memahami apa yang sedang terjadi adalah dengan menghadapi kenyataan, seberapa pun sulitnya itu.
Ia mengambil buku itu dan mulai membaca halaman-halaman yang penuh dengan diagram, nama, dan catatan kecil. Semakin banyak ia membaca, semakin jelas bahwa Nichole tidak hanya menjalankan perusahaan biasa. Ada jaringan besar yang terlibat—perusahaan palsu, transaksi ilegal, dan bahkan nama Selene dan Katherine yang muncul di beberapa catatan.
Elle merasa perutnya melilit. Ia tidak tahu apakah ia harus marah, takut, atau merasa dikhianati. Namun, satu hal yang pasti—ia tidak bisa lagi berdiam diri.
Saat Nichole pulang malam itu, Elle menunggunya di ruang kerja. Wajahnya serius, dan ia memegang buku catatan itu di tangannya.
“Kita perlu bicara,” katanya tanpa basa-basi.
Nichole berhenti di pintu, menatap buku itu di tangan Elle. Wajahnya berubah dingin. “Kau tidak seharusnya melihat itu.”
“Terlalu terlambat untuk itu,” jawab Elle, suaranya gemetar namun tegas. “Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apa tujuan pernikahan ini? Dan kenapa aku selalu merasa seperti pion dalam permainanmu?”
Nichole menghela napas panjang, menutup pintu di belakangnya. “Baiklah, Elle. Jika itu yang kau inginkan, aku akan memberitahumu. Tapi kau harus tahu, kebenaran ini tidak akan mudah diterima.”
Elle menatapnya dengan campuran ketegangan dan rasa penasaran. Untuk pertama kalinya, ia merasa seperti akan mendapatkan jawaban atas semua teka-teki yang selama ini menghantui pikirannya.
...To be Continued...
Aku membaca sampai Bab ini...alurnya bagus cuma cara menulisnya seperti puisi jdi seperti dibuat seolah olah mencekam tpi terlalu..klo bahasa gaulnya ALAY Thor...maaf ya 🙏...Kisah yg melatar belakangi LN dn itu soal cium" ketua mafia hrsnya lebih greget ngak malu"... klo di Indonesia mungkin sex tdk begitu ganas krn kita mengedepankan budaya timur..ini LN sex hrnya lbih wau....dlm hal cium mencium..ini mlah malu" meong 🤣🤣🤣🤣🤣