Seorang remaja benama Freis Greeya hari memikul takdirnya sebagai penerus dari WIND. Untuk menghentikan pertumpahan darah dan pemberontakan yang dilakukan Para Harimau.
Ini adalah kisah cerita perjalanan Freis Greeya dalam memenuhi takdirnya sebagai seorang WIND, Sang Pengendali Angin.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MataKatra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Freis Greeya
Bulan ke 11, Tahun 1244
15 tahun telah berlalu pasca penyerangan besar-besaran Para Half-blood Harimau ke Pemukiman Izois dan Kuil Anemos.
Saat ini, hampir seluruh wilayah Prosdimos telah dikuasai oleh Ras Half-Blood Harimau. Kokki’po yang merupakan pusat stabilitas dari Prosdimos telah jatuh sepenuhnya ke tangan mereka. Dan para pendeta dari Kuil Anemos serta Half-blood Burung Api hampir dapat dikatakan telah musnah. Perburuan besar-besaran terus dilakukan oleh para Half-blood Harimau untuk melenyapkan sisa-sisa dari mereka.
Selain itu, para Half-blood Harimau membentuk sebuah kerajaan baru, yang gabungan dari wilayah-wilayah yang telah mereka taklukkan, yang bernama The Tiger Kingdom, yang berpusat di Kokki’po. Dan mereka memakai Kuil Anemos sebagai istana kerajaan mereka.
Untuk menjaga wilayahnya, para Half-blood Harimau melakukan beberapa aturan-aturan di daerah The Tiger Kingdom, salah satu aturan ketat mereka adalah larangan terhadap kepemilikan Kristal Enichtis (kristal yang menyimpan kekuatan Elementary Owner tertentu yang hanya dapat dipakai oleh manusia). Mereka yang diketahui ataupun terlihat membawa Kristal Enichtis akan ditangkap dan diadili dengan ancaman sanksi yang berat.
Bukan hanya itu, bahkan sebagian besar wilayah Kokki’al yang berada di timur laut Kokki’po, yang merupakan wilayah yang dihuni oleh para Half-blood Rubah, telah di kuasai oleh Half-blood Harimau. Pemukiman para Half-blood Rubah, yang bernama Iouras, telah hancur di tangan mereka. Dan sekarang, sebagian dari sisa-sisa dari Half-blood Rubah membantu pasukan Kerajaan Kokki’al untuk melakukan perlawanan di ibukota. Dan yang lainnya mempertahankan diri dengan cara melakukan peperangan secara gerilya di pedalaman hutan Pegunungan Horostontros yang berada di bagian utara Kokki’al.
Sedangkan di Nos’aetos (kerajaan yang terletak di utara Kokki’po, merupakan wilayah yang dihuni oleh para Half-blood Elang) para prajurit Half-blood Elang memperketat penjagaan di perbatasan-perbatasan wilayah mereka. Selain itu, bagi para Half-blood Harimau yang mengandalkan petarung jarak dekat, Ras Elang Half-Blood Elang adalah lawan terburuk mereka.
Para Half-blood Elang, yang memiliki kemampuan mata dengan jarak jangkauan penglihatan yang jauh. Semakin tinggi tingkatan kemampuan Half-blood Elang maka semakin jauh jarak pandangnya. Mereka memiliki senjata busur panah yang bernama Yudai (merupakan senjata busur panah ciri khas dari wilayah Nos’aetos, busur panah panjang yang memiliki jangkauan panah yang jauh) menjadikan mereka menjadi lawan yang berat bagi para Half-blood harimau.
***
Di kedalaman hutan yang berada di puncak Pegungungan Horostontros, yang berada di wilayah Kokki’al, terdapat sebuah pondok kecil yang didalamnya terlihat seseorang laki-laki tua, yang sedang duduk dengan tenangnya sambil mengasah sebilah Tachi (pedang panjang ciri khas wilayah Kokki’po) dengan batu asah miliknya. Dia mengasah Tachi dengan gerakan maju mundur dengan begitu tenang. Meskipun usianya telah termakan oleh waktu, tapi sorot matanya masih memancarkan energi dalam dirinya. Dia adalah Trois Greeya, satu-satunya orang yang selamat dari penyerangan Para Half-blood Harimau yang keji di Kuil Anemos.
Dia adalah seorang Kepala Pendeta, yang nyawanya telah diselamatkan oleh kedua muridnya. Murid-murid yang telah dianggapnya seperti anaknya sendiri. Dan sekarang memiliki tugas dan kewajiban untuk melindungi, membesarkan serta mendidik anak mereka. Yang kelak dikemudian hari akan menjadi harapan dari Prosdimos, penerus WIND selanjutnya.
Kedua tangannya terus mengasah pedang Tachi miliknya dengan cermat, dengan tenangnya kedua tangannya maju mundur secara teratur di atas batu asahan itu. Tachi itu terlihat begitu indah dengan warna bilah pedangnya serta gagangnya berwarna putih, seputih awan, yang dihiasi oleh ukiran-ukiran berwana hijau lembut yang mengalir dengan indahnya dari ujung bilah pedang sampai gagangnya. Pedang tachi tersebut bernama Anemo, yang merupakan sebilah pedang yang menjadi simbol dari Kuil Anemos.
Dia sendiri telah berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya untuk menghindari kejaran dari para Half-blood Harimau. Beberapa hal, bukan hanya kemampuan bela diri, telah diwariskannya kepada anak yang asuhannya itu, penerus WIND selanjutnya, yang telah dianggapnya seperti cucunya. Anak itu mewarisi kehangatan serta kelembutan ibunya, dan keberanian serta keteguhan hati dari ayahnya. Akan tetapi, dia belum menceritakan kebenaran kepada anak tersebut, kematian kedua orang tuanya, Kuil Anemos, Para Half-blood Harimau keji itu, dan tentang dirinya yang merupakan penerus WIND selanjutnya.
Rasa cintanya terhadap anak tersebut membuat Trois Greeya enggan untuk memikulkan beban yang begitu berat di pundak anak itu. Baginya, dia masih terlalu belia, yang saat ini masih berusia sekitar lima belas tahun, untuk memikul beban seberat itu. Menjadi harapan bagi seluruh rakyat Prosdimos.
Trois Greeya menghelas nafas panjang sambil memikirkan apa yang sedang dilakukan anak itu sekarang. Kemudian ia melanjutkan kegiatannya, mengasah pedang tachi yang ada di pangkuannya.
***
Di kedalaman hutan yang berada di puncak Pegunungan Horostontros telihat seorang anak laki-laki yang yang sedang berlari menyusuri pepohonan yang lebat disana. Dia melompat dari satu dahan pohon ke dahan pohon lainnya. Tubuhnya terasa begitu ringan saat meloncat dari satu dahan ke dahan lain, seolah-olah tubuh itu terbang dan terbawa oleh angin dari satu sisi ke sisi lain. Karenanya, tubuh itu terlihat seperti sehelai kapas yang terbang kesana kemari dengan ringannya oleh hembusan-hembusan angin. Terlihat begitu ringannya, begitu lembutnya. Tubuh kecil itu terlihat seperti sedang menari bersama dengan angin ditemani oleh pepohonan yang ada disana.
Anak laki-laki itu terus berlari dan melompat mengitari pepohonan disana sambil membawa ranting kering di tangan kanannya. Lalu, saat ketika dia melihat sehelai daun kering berjatuhan dari pepohonan, dia akan melompat sambil menebas daun kering tersebut dengan ranting kering yang berada di tangan kanannya.
Entah sudah berapa banyak helai daun kering yang telah pecah tertebas oleh ranting kering miliknya.
Tahun ini, anak itu telah memasuki usianya yang ke lima belas. Penampilannya terlihat begitu unik, dengan kulit putih kekuningan serta kedua matanya yang memiliki pupil berwaran hitam yang bercampur dengan garis-garis yang berwana putih serta hijau muda. Garis-garis itu mengalir dengan indahnya di kedua pupil matanya. Selain itu, rambutnya sebagian besar warna putih bercampur dengan sedikit warna hijau muda. Bukan karena penuaan di usia dini, hanya saja rambut putih, serta hijau muda, itu sudah di miliki sejak ia dilahirkan.
Saat dia bertanya kepada kakeknya mengenai hal tersebut, sang kakek selalu menjawabnya dengan kata-kata yang sama, Karena dia ‘istimewa’. Entah, apa maksud dari kata istimewa yang diutarakan kakeknya. Dia sama sekali tak dapat mengira-ngira jalan pikir kakeknya.
Freis Greeya telah letih berlatih pedang dengan ranting kering dan dedaunan kering yang berjatuhan di pepohonan yang berada di sekitarnya. Kemudian dia meloncat dari dahan pohon yang tinggi itu, dan saat dirinya hendak mencapai tanah, tiba-tiba angin berhembus mengitari tubuhnya, seperti sedang menangkapnya, dan menjatuhkannya perlahan hingga kakinya berpijak di atas tanah. Hal itu sering terjadi dan dirinya tidak tahu mengapa hal itu dapat terjadi. Seolah-olah, angin yang berada di sekitarnya selalu bergerak sesuai keinginannya. Menurutnya, bercerita hal tak masuk akal ini kepada kakeknya pun tidak akan ada gunanya. Karenanya, dia berlatih sendiri tanpa sepengetahuan kakeknya di kedalaman hutan Pegunungan Horostontros.
Sejenak dia duduk sambil bersandar di sebuah batang pohon yang ada disana. Hampir seluruh kehidupannya telah ia, yang tentu saja besama kakeknya, habiskan dalam hutan-hutan yang berada di kedalaman Pegunungan Horostrontros. Selain itu, tidak jarang dia berpindah-pindah dari satu sisi hutan ke sisi lain. Dan, sang kakek tak pernah menjelaskan padanya alasan dibalik itu.
Kakeknya menjelaskan bahwa kedua orang tuanya telah meninggal saat dirinya masih belum genap satu tahun. Mereka terjatuh saat berjalan di tebing-tebing curam pegunungan ini. Bahkan sampai sekarang wajah ayah dan ibunya pun dia tak dapat membayangkannya, karena kakeknya tidak memiliki lukisan ataupun gambar kedua orang tuanya.
Kakeknya pernah menjelaskan bahwa mata yang memancarkan kelembutan yang dimiliknya berasal dari ibunya, dan wajah serta sifat berani dan agak keras kepala miliknya juga merupakan warisan kedua orang tuanya.
Dia tersenyum membayangan bagaimana cara kakeknya menjelaskan kepadanya perihal kemiripannya itu.
Freis Greeya mendesah dengan raut wajah kecewa.
Dia mengingat kembali, tentang perkataan kakeknya yang dengan keras melarangnya untuk pergi ke ibukota kerajaan atau pemukiman-pemukiman yang berada di bawah pegunungan. Bahkan untuk berhubungan dengan mereka pun tidak di izinkan oleh sang kakek.
Sesekali dia melihat rombongan orang-orang, yang berasal dari ibukota, yang melewati hutan-hutan dengan pakaian yang berbeda darinya, yang terlihat begitu menarik. Tapi dia tidak akan pernah mencoba melanggar larangan sang kakek karena dia tahu betul bahwa dirinya mungkin akan kelaparan selama tiga hari. Kakeknya mungkin akan menghukumnya dengan cara mengurung dan melarangnya untuk makan.
“Kenapa kakek begitu keras melarangku pergi ke pemukiman-pemukiman itu?” gerutunya.
Sejenak kemudian, dia menengok ke langit dan melihat matahari telah hampir tenggelam.
“Mungkin ini saatnya pulang. Kira-kira malam ini makanan apa yang akan dimasak oleh kakek?”
Freis terseyum sambil membayangkan daging kelinci bakar kesukaaannya, berharap agar makanan itu merupakan hidangan untuk malam ini. Setelahnya, dia mulai berdiri dan berjalan menuju pondok kayu kecil miliknya.
****
“Angin-angin itu datang, terbang dan hempaskan tubuh ini dengan riangnya,
Seolah ingin mengajakku melompati tebing-tebing yang menutupi mata.”
😂
😂