seorang gadis "bar-bar" dengan sikap blak-blakan dan keberanian yang menantang siapa saja, tak pernah peduli pada siapa pun—termasuk seorang pria berbahaya seperti Rafael.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lince.T, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah yang tidak terduga
Setelah pertemuan di klub Inferno, Liana tidak bisa mengusir bayangan Rafael dari pikirannya. Sebagai seseorang yang biasanya hidup bebas tanpa memikirkan orang lain, Liana merasa jengkel karena pria itu terus menghantui pikirannya. Tapi di sisi lain, ada bagian dari dirinya yang ingin tahu lebih banyak tentang siapa sebenarnya Rafael Arsenio.
Hari itu, Liana memutuskan untuk melupakan semua kekacauan di kepalanya. Ia memilih berjalan-jalan ke taman kota, tempat yang biasa ia datangi saat ingin menyegarkan pikiran. Namun, meskipun dia mencoba menikmati suasana, pikirannya tetap melayang ke pria itu.
“Kenapa sih gue mikirin dia terus?” gumamnya sambil menendang kerikil di jalan setapak.
Dia mengeluarkan ponselnya, berpikir untuk menghubungi temannya, tetapi sebelum sempat mengetik, suara langkah kaki terdengar dari belakangnya. Liana menoleh, dan di sana berdiri seseorang yang tidak pernah ia duga akan bertemu di tempat seperti ini. Rafael.
Pria itu berdiri dengan pakaian santai—jaket kulit hitam dan celana jeans gelap. Meskipun berpakaian sederhana, aura dingin dan karismanya tetap terpancar jelas.
“Apa kamu selalu berbicara sendiri saat sedang berpikir?” tanya Rafael dengan nada datar, tetapi matanya menunjukkan sedikit kilatan menggoda.
Liana mendengus, mencoba menutupi keterkejutannya. “Gue enggak nyangka lo suka ngikutin orang.”
Rafael mengangkat alisnya, tersenyum tipis. “Aku tidak mengikutimu. Ini kebetulan.”
“Kebetulan? Di taman yang biasanya kosong?” Liana memandangnya skeptis, tetapi dia tidak ingin memperpanjang argumen. “Jadi, apa yang lo mau kali ini? Mau ceramahin gue soal dunia lagi?”
Rafael tertawa kecil. “Aku tidak punya niat seperti itu. Aku hanya merasa kita belum selesai bicara.”
“Bicara tentang apa?” Liana melipat tangan di dada.
“Bicara tentang hidupmu. Tentang kebebasan yang kamu banggakan. Dan…” Rafael menatapnya tajam, membuat Liana merasa seperti sedang ditelanjangi oleh matanya. “Tentang bagaimana aku bisa membantumu melindungi kebebasan itu.”
Liana terkejut dengan kata-kata itu. “Melindungi kebebasan gue? Gue enggak butuh bantuan lo atau siapa pun.”
“Aku tahu,” jawab Rafael tenang. “Tapi aku juga tahu, tidak semua orang di dunia ini akan membiarkanmu hidup dengan caramu sendiri. Ada orang-orang yang akan mencoba menghancurkan apa yang kamu miliki. Dan saat itu terjadi, aku ingin ada di sana untuk membantumu.”
Liana terdiam. Kata-kata Rafael menggema di kepalanya, seperti peringatan yang sulit diabaikan. “Kenapa lo peduli sama hidup gue?” tanyanya akhirnya.
Rafael menghela napas panjang, lalu berkata dengan nada serius, “Karena aku melihat sesuatu dalam dirimu, Liana. Sesuatu yang tidak pernah aku lihat pada orang lain. Kamu hidup tanpa rasa takut, tanpa peduli pada aturan atau konsekuensi. Tapi aku juga melihat bahwa hidup seperti itu tidak akan bertahan lama tanpa dukungan. Dan entah kenapa, aku ingin menjadi dukungan itu untukmu.”
Liana tertawa kecil, mencoba mengurangi ketegangan yang tiba-tiba melingkupi mereka. “Lo ngomong kayak kita ini udah saling kenal lama aja.”
Rafael tersenyum. “Mungkin kita belum saling kenal, tapi aku ingin mengenalmu lebih jauh, Liana. Jika kamu mengizinkan.”
Liana menatapnya, mencoba mencari tahu apakah Rafael benar-benar serius atau hanya memainkan permainan yang aneh. Tapi mata Rafael tidak menunjukkan tanda-tanda kebohongan.
“Gue nggak tahu apa yang lo cari, Rafael,” kata Liana akhirnya. “Tapi gue enggak akan mengubah cara hidup gue hanya karena ada orang kayak lo.”
“Aku tidak ingin mengubahmu,” jawab Rafael dengan tegas. “Aku hanya ingin memastikan kamu tidak kehilangan apa yang kamu miliki.”
Percakapan itu berakhir dengan keheningan yang canggung. Liana tidak tahu harus berkata apa lagi. Rafael, di sisi lain, merasa bahwa dia telah mengatakan cukup untuk saat ini. Dia tahu Liana adalah tipe orang yang membutuhkan waktu untuk memproses segalanya.
Malam itu, saat Liana kembali ke apartemennya, pikirannya masih dipenuhi oleh Rafael. Apa sebenarnya yang diinginkan pria itu darinya? Kenapa dia begitu peduli?
“Ini aneh,” gumamnya sambil membuka pintu apartemennya. Tapi sebelum dia sempat masuk, dia menyadari bahwa pintunya sudah sedikit terbuka. Hatinya langsung berdebar.
Dengan hati-hati, Liana melangkah masuk, matanya menyisir setiap sudut ruangan. Tidak ada yang terlihat aneh, tetapi perasaan bahwa seseorang telah masuk ke apartemennya tidak hilang.
“Siapa pun lo, keluar sekarang juga!” teriaknya, mencoba menyembunyikan rasa takut yang mulai merayap.
Namun, tidak ada jawaban. Liana berjalan perlahan menuju ruang tamu, di mana dia menemukan secarik kertas di atas meja. Dengan tangan gemetar, dia mengambil kertas itu dan membaca pesan yang tertulis.
“Hidup bebasmu tidak akan bertahan lama. Kami mengawasi.”
Liana merasakan darahnya mendidih. Siapa yang berani mengancamnya seperti ini? Dan kenapa? Dia mencoba memikirkan apakah ini hanya lelucon atau sesuatu yang lebih serius. Tapi intuisi Liana mengatakan ini lebih dari sekadar ancaman main-main.
Tanpa pikir panjang, dia meraih ponselnya dan mengetik pesan singkat.
“Lo bener. Dunia ini enggak sebaik yang gue kira.”
Pesan itu dia kirimkan ke nomor Rafael. Dia bahkan tidak tahu kenapa dia memilih untuk menghubungi pria itu. Mungkin karena di dalam hatinya, dia tahu bahwa Rafael bisa membantunya.
Rafael menerima pesan itu beberapa menit kemudian. Dia sedang duduk di ruang kerjanya, memeriksa dokumen bisnis, ketika ponselnya bergetar. Melihat nama Liana muncul di layar, dia langsung membuka pesan itu.
Dia membaca pesan itu dengan alis yang mengernyit. Lalu, tanpa berpikir panjang, dia mengambil jaketnya dan melangkah keluar dari ruangan.
Liana, yang masih berdiri di ruang tamu apartemennya, hampir melompat ketika mendengar ketukan di pintu. Dia berjalan ke pintu dengan hati-hati, berharap itu bukan orang yang meninggalkan pesan tadi. Ketika dia membuka pintu, Rafael berdiri di sana.
“Gimana lo bisa sampai secepat ini?” tanya Liana dengan nada terkejut.
“Aku selalu memastikan untuk tahu di mana orang-orang yang penting bagiku berada,” jawab Rafael singkat. Dia melangkah masuk tanpa menunggu izin.
Liana mendengus. “Lo pikir gue enggak bisa urus ini sendiri?”
Rafael menatapnya tajam. “Kau bisa. Tapi aku tidak akan membiarkanmu menghadapinya sendirian.”
Mata Liana memperhatikan Rafael dengan penuh tanda tanya. “Kenapa lo peduli banget, sih?”
Rafael berjalan mendekati meja, mengambil kertas ancaman itu, lalu menatap Liana. “Karena dunia ini memang tidak adil, Liana. Dan aku tidak akan membiarkan seseorang sepertimu dihancurkan oleh orang-orang yang tidak berani menunjukkan wajah mereka.”
Liana terdiam, kata-kata Rafael entah kenapa membuatnya merasa sedikit lebih aman. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia merasa seperti ada seseorang yang benar-benar peduli.
Namun, di balik rasa aman itu, ada pertanyaan yang terus menghantui pikirannya: apa konsekuensi dari membiarkan Rafael masuk ke dalam hidupnya?