Dina, seorang janda muda, mencoba bangkit setelah kehilangan suaminya. Pertemuan tak terduga dengan Arga, pria yang juga menyimpan luka masa lalu, perlahan membuka hatinya yang tertutup. Lewat momen-momen manis dan ujian kepercayaan, keduanya menemukan keberanian untuk mencintai lagi. "Janda Muda Memikat Hatiku" adalah kisah tentang cinta kedua yang hadir di saat tak terduga, membuktikan bahwa hati yang terluka pun bisa kembali bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Banggultom Gultom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6: Luka yang Terbuka
Pagi itu, Dina tidak tahu harus mulai dari mana. Meski langit tampak cerah dan udara pagi membawa semilir yang menyegarkan, hatinya masih diselimuti keraguan. Setelah malam sebelumnya di taman, di mana Arga memeluknya dengan lembut di bawah bintang-bintang, ia merasa lebih hidup dari sebelumnya. Namun, saat matahari terbit dan dunia kembali bergerak, perasaan itu bercampur dengan ketakutan akan apa yang akan datang. Setiap kali ia mengingat malam itu, ada satu pertanyaan yang terus berputar di pikirannya: Apakah ia siap untuk membuka hati lagi setelah semua yang telah terjadi?
Sambil merapikan rak-rak buku di tokonya, Dina dikejutkan dengan suara pintu yang berbunyi. Ia menoleh dan melihat Arga berdiri di sana, mengenakan jaket berwarna biru tua yang kontras dengan warna matahari pagi. Senyumnya lebar dan penuh semangat, tetapi Dina bisa melihat ada kekhawatiran di balik mata Arga.
“Selamat pagi,” Arga menyapa, melangkah masuk ke dalam toko.
“Selamat pagi, Arga,” jawab Dina, berusaha menunjukkan senyum terbaiknya. Ia mencoba mengabaikan perasaan canggung yang mengalir di tubuhnya.
Arga berjalan mendekat, memandang rak-rak buku yang penuh dengan berbagai jenis cerita. “Toko ini luar biasa, Dina. Sepertinya ada ribuan kisah di sini,” katanya, matanya menyusuri barisan buku yang berdekatan.
Dina tertawa kecil, rasa hangat muncul di hatinya mendengar pujian Arga. “Iya, setiap buku memiliki cerita yang unik. Seperti setiap orang, bukan?”
Arga menoleh, matanya menatap dalam. “Ya, benar. Setiap orang memiliki cerita yang berbeda, tapi ada kalanya cerita itu melibatkan seseorang yang bisa mengubah segalanya.”
Dina menelan ludah, merasa kalimat itu lebih dalam dari yang seharusnya. Tiba-tiba, suasana di antara mereka berubah menjadi serius. Arga berjalan mendekat, berhenti di depan Dina. Di mata Arga, Dina melihat kehangatan dan ketulusan, tetapi ada sesuatu yang lain—sesuatu yang penuh rahasia.
“Dina, ada sesuatu yang ingin saya ceritakan. Tentang masa lalu saya,” katanya perlahan, suaranya bergetar sedikit. “Saya tidak ingin membuat Anda merasa terbebani, tapi saya rasa ini penting agar Anda tahu siapa saya sebenarnya.”
Dina terdiam sejenak, menilai apakah ia siap mendengarkan kisah Arga. Ada sesuatu dalam dirinya yang merasa bahwa ini adalah momen penting. Ia mengangguk perlahan, menatap Arga dengan perhatian.
“Enam tahun lalu, saya menikah. Kami berdua sangat bahagia pada awalnya. Namun, seperti dalam banyak cerita, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Istri saya, Livia, meninggalkan saya begitu saja tanpa penjelasan,” Arga menceritakan dengan suara yang semakin berat. “Kami tinggal di rumah kecil di pinggiran kota, tempat yang penuh kenangan indah. Tapi suatu hari, Livia hanya pergi. Dia meninggalkan catatan singkat, tanpa alasan, tanpa petunjuk. Itu menghancurkan saya, Dina.”
Dina merasa seperti ada sesuatu yang menyakitkan di dadanya. Ia bisa merasakan luka di dalam suara Arga, luka yang selama ini disimpannya rapat-rapat. Ia tahu betapa besar rasa sakit yang dialami pria di depannya.
“Setelah itu, saya tidak tahu harus bagaimana. Saya berusaha untuk bertahan, mencoba mencari jawaban, tetapi tidak ada yang bisa mengisi kekosongan itu. Sampai akhirnya, saya memutuskan untuk meninggalkan tempat itu dan memulai hidup baru. Tapi luka itu tidak pernah benar-benar sembuh, Dina,” Arga berkata, matanya mengalirkan air mata yang cepat disekanya.
Dina tidak bisa menahan diri. Ia meraih tangan Arga, merasakan getaran di jari-jarinya. “Arga, saya tidak tahu apa yang harus dikatakan. Saya tahu betapa beratnya kehilangan orang yang kita cintai. Tetapi, mendengar cerita Anda membuat saya mengerti mengapa Anda sering terlihat penuh beban.”
Arga menatap Dina dengan mata yang basah. “Terima kasih, Dina. Itu berarti lebih dari yang bisa Anda bayangkan.”
Di saat itu, Arga merangkul Dina, dan ia merasa seolah dunia berhenti sejenak. Dina mendengar detak jantung Arga, cepat dan tak teratur, seolah-olah jantungnya sedang berusaha untuk mengatasi perasaan yang begitu kuat. Ia merasakan kekuatan dalam pelukan itu—kekuatan yang mengisyaratkan bahwa ada sesuatu yang lebih besar di antara mereka, sesuatu yang bisa membantu mereka melawan luka masing-masing.
Setelah beberapa saat, mereka melepaskan pelukan. Dina merasakan ada kekuatan yang mengalir dalam dirinya, kekuatan yang datang dari saling memahami. Ia tahu bahwa mereka masih harus melalui perjalanan yang panjang, tetapi ada harapan di ujung jalan itu.
“Dina, saya tahu ini mungkin sulit untuk Anda, tetapi saya ingin kita melangkah maju. Tidak perlu buru-buru, tapi saya ingin Anda tahu bahwa saya di sini untuk Anda, kapan pun Anda membutuhkan saya,” Arga berkata dengan suara yang lembut namun penuh tekad.
Dina mengangguk, matanya berkilau. “Saya… saya ingin itu, Arga. Tetapi, saya juga harus mengakui bahwa ini menakutkan. Saya takut kehilangan lagi.”
Arga memegang tangan Dina dengan erat. “Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Tapi jika kita hanya menunggu, kita tidak akan pernah menemukan kebahagiaan. Mari kita coba, bersama-sama.”
Dina menatap Arga, merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Di mata Arga, ia melihat sebuah janji—janji bahwa ada harapan, bahwa mungkin, hanya mungkin, mereka berdua bisa menemukan kebahagiaan yang telah lama hilang.
---
Hari-hari setelah itu terasa berbeda bagi Dina. Setiap kali ia bertemu dengan Arga, ada rasa nyaman yang sulit dijelaskan, seperti potongan puzzle yang akhirnya menemukan tempatnya. Mereka mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama, berjalan di taman, berbagi cerita di kafe kecil yang nyaman, dan sesekali hanya duduk di bangku taman, menikmati keheningan di antara mereka.
Namun, ada kalanya perasaan takut itu datang kembali. Dina merasa seolah-olah ia berada di ujung jurang, takut untuk melangkah maju, takut jatuh dan terluka lagi. Tapi setiap kali itu terjadi, Arga selalu ada, mengulurkan tangannya, mengajak Dina untuk melawan ketakutan itu.
“Dina, ingatlah, tidak ada yang sempurna dalam hidup ini. Tetapi kita bisa membuat momen-momen kecil yang berarti,” kata Arga, saat mereka duduk di bangku taman di malam hari. Lampu-lampu kecil di sekitar taman memancarkan cahaya hangat, menciptakan suasana yang menenangkan.
Dina menatap bintang-bintang di langit, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. “Terima kasih, Arga. Untuk semuanya. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi saya tahu satu hal: saya tidak ingin kehilangan momen ini.”
Arga memandang Dina, matanya penuh keyakinan. “Tidak akan ada yang hilang, Dina. Karena kita akan membuatnya tetap ada, di dalam hati kita.”
Malam itu, di bawah langit yang penuh bintang, Dina merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Mungkin perjalanan ini belum selesai, mungkin masih banyak luka yang harus sembuh. Tetapi di hadapan Arga, ia merasa ada harapan. Ada kemungkinan untuk kebahagiaan yang baru, sesuatu yang bisa mengisi kekosongan yang sudah lama ada.