Kaivan, anak konglomerat, pria dingin yang tak pernah mengenal cinta, mengalami kecelakaan yang membuatnya hanyut ke sungai dan kehilangan penglihatannya. Ia diselamatkan oleh Airin, bunga desa yang mandiri dan pemberani. Namun, kehidupan Airin tak lepas dari ancaman Wongso, juragan kaya yang terobsesi pada kecantikannya meski telah memiliki tiga istri. Demi melindungi dirinya dari kejaran Wongso, Airin nekat menikahi Kaivan tanpa tahu identitas aslinya.
Kehidupan pasangan itu tak berjalan mulus. Wongso, yang tak terima, berusaha mencelakai Kaivan dan membuangnya ke sungai, memisahkan mereka.
Waktu berlalu, Airin dan Kaivan bertemu kembali. Namun, penampilan Kaivan telah berubah drastis, hingga Airin tak yakin bahwa pria di hadapannya adalah suaminya. Kaivan ingin tahu kesetiaan Airin, memutuskan mengujinya berpura-pura belum mengenal Airin.
Akankah Airin tetap setia pada Kaivan meski banyak pria mendekatinya? Apakah Kaivan akan mengakui Airin sebagai istrinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Pertanyaan Airin
Airin membantu Kaivan masuk ke kamar mandi dengan hati-hati. Kaivan hanya mengenakan celana pendek, duduk di kursi untuk memudahkan Airin membantunya mencuci rambutnya, mengingat Kaivan lebih tinggi dari Airin.
Tubuh atletisnya yang dihiasi bekas luka mulai terlihat akrab di mata Airin yang setiap hari menyekanya. Namun, tak peduli berapa kali ia melihatnya, Airin tetap merasa kagum. Bahu lebar, otot yang terdefinisi sempurna, dan kulit putih bersih Kaivan membuat pikirannya berdesir, meskipun ia segera mengalihkan fokusnya agar tidak terlarut.
Kaivan, di sisi lain, tampak mulai terbiasa dengan sentuhan lembut Airin. Ia duduk tenang sementara Airin dengan telaten mencuci rambutnya. Jemari Airin yang ramping menyusuri rambut hitam Kaivan, seraya memberikan pijatan lembut di kulit kepalanya.
“Rambut Kakak ini tebal sekali,” gumam Airin, berusaha mencairkan suasana. Ia tersenyum kecil, menikmati setiap gerakan tangannya yang memijat kepala suaminya dengan sampo.
Kaivan hanya mendengus pelan, matanya yang kosong menatap ke depan. Namun, ia tidak bisa menyangkal rasa nyaman yang mulai menjalar dari pijatan Airin. “Kau pandai memijat,” ujarnya singkat, nadanya terdengar lebih lembut dari biasanya.
Airin tersenyum mendengar pujian sederhana itu. “Kalau Kakak merasa nyaman, aku senang,” katanya tulus. Ia terus melanjutkan pekerjaannya, bahkan membersihkan brewok Kaivan dengan hati-hati, memastikan tidak ada sisa sabun yang tertinggal.
Sementara itu, Kaivan mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Sentuhan Airin tidak hanya terasa hangat, tetapi juga penuh perhatian, seolah bukan sekadar kewajiban. Ada perasaan tenang yang merayap di hatinya, sesuatu yang jarang ia rasakan.
Airin pun merasa aneh dengan dirinya sendiri. Meskipun ini adalah tugas sederhana, ia merasa senang melakukannya. Merawat Kaivan, meski pria itu jarang menunjukkan emosinya, memberinya kebahagiaan kecil yang tak ia duga.
Setelah selesai, Airin membilas tubuh Kaivan dengan lembut, memastikan semua sabun telah hilang. Ia menyeka tubuhnya dengan handuk besar, berhati-hati agar tidak menyentuh bagian luka yang belum kering.
“Sudah selesai, Kak. Kau bisa membersihkan tubuh bagian bawahmu dan mengganti celana setelahnya,” katanya dengan nada ceria, meski pipinya sedikit memerah karena mendapati dirinya terlalu memikirkan pria di hadapannya.
Kaivan mengangguk pelan. “Terima kasih,” ucapnya, suara rendahnya penuh ketulusan.
Airin keluar dari kamar mandi untuk menunggu Kaivan menyelesaikan mandinya dan memakai celana. Setelah Airin keluar dari kamar mandi, Kaivan berdiri di depan cermin, menatap bayangannya sendiri dengan tatapan yang masih agak kabur. Namun, ia menyadari bahwa perkembangan matanya semakin baik sejak kunjungan ke dokter spesialis mata kemarin. Pandangannya yang sebelumnya samar, kini mulai menangkap bentuk dan warna lebih jelas, meskipun belum sempurna.
Kaivan menarik napas dalam, lalu mendesah pelan. Dalam benaknya, ia masih berpura-pura melihat samar setiap kali berhadapan dengan Airin. Ada sesuatu yang menahannya untuk mengungkapkan kebenaran. Mungkin karena ia belum siap sepenuhnya menghadapi perubahan ini, atau mungkin karena ia ingin memperpanjang momen keakraban yang perlahan terbangun di antara mereka.
Sambil menyelesaikan mandi, Kaivan memikirkan Airin. Wajahnya, yang meski belum sepenuhnya terlihat jelas, mulai memunculkan rasa penasaran dalam hatinya. "Seperti apa sebenarnya wajahnya?" gumamnya dalam hati.
Ia tidak bisa menyangkal bahwa Airin memiliki tempat istimewa di hidupnya sekarang, terlebih dengan perhatian yang diberikan wanita itu setiap hari. Tanpa sadar, kenangan malam-malam sebelumnya kembali menghampirinya. Kaivan sering kali terbangun saat merasakan tubuh kecil Airin menyusup dalam pelukannya, mencari kehangatan di tengah udara malam yang dingin.
Kaivan tersenyum tipis, sedikit geli dengan dirinya sendiri. Ia selalu pura-pura menganggap Airin adalah guling saat menyadari kenyataannya. Namun, ia tak pernah tega untuk menjauhkan Airin dari pelukannya. Bahkan, tanpa sadar, ia mulai merasa nyaman dengan keberadaan istrinya yang semakin dekat setiap malam.
"Dia pasti akan malu jika tahu," gumam Kaivan selesai membersihkan tubuh bagian bawah, mengelap dengan handuk, kemudian memakai celana. Ada rasa hangat yang menyusup di dadanya, rasa yang perlahan tumbuh tanpa ia sadari. Mungkin, suatu hari nanti, ia akan memiliki keberanian untuk melihat Airin sepenuhnya, tidak hanya dengan matanya yang sembuh, tetapi juga dengan hatinya.
Setelah keluar dari kamar mandi, Airin membantu Kaivan duduk. Wanita itu mengeringkan rambutnya dengan lembut, lalu menyisirnya degan hati-hati. Setelah selesai, Airin segera menuntunnya ke meja makan yang telah tertata rapi. Aroma makanan hangat memenuhi ruangan, memberikan suasana nyaman di pagi itu.
Airin menyuapinya dengan perlahan. Kaivan, yang kini sudah terbiasa dengan perhatian Airin, menerimanya tanpa banyak komentar. Setelah selesai makan, Airin memberinya obat dan melanjutkan mengobati luka-lukanya yang belum sepenuhnya sembuh.
Setelah mengobati luka Kaivan, Airin memakaikan baju sambil membuka percakapan. "Kak Ivan..." panggilnya pelan, suaranya terdengar ragu.
"Hmm?" Kaivan hanya menggumam tanpa menoleh, matanya yang samar menatap ke depan.
"Aku ingin memakai uang yang Kak Ivan berikan untuk membuka toko kelontong. Menjual kebutuhan sehari-hari, sembako, jajanan, mungkin juga alat rumah tangga," ungkap Airin dengan nada penuh harap.
Kaivan mengangguk kecil. "Bagus. Kalau itu yang kau inginkan, lakukan saja. Uang itu memang untukmu, Airin."
Mendengar dukungan Kaivan, Airin tersenyum lega. "Terima kasih, Kak."
Setelah beberapa saat hening, Airin kembali berbicara dengan hati-hati. "Kak Ivan... boleh aku bertanya sesuatu?"
Kaivan mengangguk pelan. "Tanyakan saja."
"Sebetulnya Kak Ivan berasal dari kota mana? Dan... apa benar Kak Ivan tidak punya keluarga lagi?" tanya Airin dengan nada lembut, namun terdengar penuh keingintahuan.
Kaivan terdiam sejenak. Ia menoleh sedikit ke arah Airin, meskipun pandangannya masih samar. "Kenapa kau ingin tahu tentang itu?"
Airin menggigit bibirnya, ragu sejenak sebelum menjawab. "Aku hanya ingin mengenal Kak Ivan lebih jauh. Kita ini... suami istri sekarang, meskipun baru di mata agama. Lagipula, kita tidak bisa mendaftarkan pernikahan secara resmi karena Kak Ivan tidak punya dokumen apa pun."
Airin menggenggam kerah kemeja Kaivan dengan tangan yang sedikit gemetar, matanya sesekali melirik pria itu yang tetap diam di hadapannya. Sementara ia memasukkan kancing satu per satu, hatinya terasa semakin sesak. Pertanyaannya tadi seolah menggantung tanpa jawaban, meninggalkan keheningan berat di antara mereka.
Kaivan hanya terdiam. Biasanya, ia bisa dengan mudah merangkai kata-kata, tetapi kali ini, ia merasa sulit untuk menjawab. Ia belum siap mengungkapkan jati dirinya, belum ingin membuka masa lalu yang sengaja ia simpan rapat-rapat. Namun, ucapan Airin tentang pernikahan mereka yang hanya sah di mata agama perlahan mengusik pikirannya. Ada sesuatu di balik kata-kata itu yang membuatnya tak nyaman, sebuah kekhawatiran yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya.
Melihat Kaivan yang tetap diam, Airin menunduk, menyembunyikan kegelisahannya. Ia merasakan dadanya semakin berat, seperti ada beban yang menghimpit. “Apa aku salah bertanya?” gumamnya dalam hati. Bayangan kemungkinan kehilangan Kaivan mulai menghantui pikirannya, mengingat pernikahan mereka yang tanpa dokumen resmi seolah memberikan celah besar bagi pria itu untuk pergi kapan saja.
Dengan ragu, ia mengangkat pandangannya. “Kak Ivan,” panggilnya pelan, suaranya sedikit bergetar. “Aku… Aku hanya ingin memastikan. Kakak tidak akan pergi, 'kan?”
Kaivan mengerutkan kening, meskipun tatapannya tetap kosong. “Kenapa kau bertanya seperti itu?” tanyanya datar.
Airin menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya. “Aku hanya… takut. Kita ini hanya menikah secara agama. Kalau suatu saat Kakak berubah pikiran, aku tidak punya cara untuk menahan Kakak pergi.”
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Semangat Thour.
awas lho Airin.... diam-diam tingkahmu bikin Ivan lama-lama tegang berdiri loh . Kaivan tentu laki-laki normal lama-lama pasti akan merasakan yang anu-anu 🤭🤭😂😂😂
mungkinkah Ivan akan segera mengungkapkan perasaannya , dan mungkinkah Airin akan segera di unboxing oleh Ivan .
ditunggu selalu up selanjutnya kak Nana ...
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
aduuh sakit perut ku ngebayangin harus tetap tenang disaat hati sedang kacau balau 😆😆😆
pagi pagi di suguhkan pemandangan yang indah ya Kaivan...
hati hati ada yang bangun 😆😆😆😆
maaf ya Airin.... Ivan masih ingin di manja kamu makanya dia masih berpura-pura buta .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
Sebaiknya kaivan lg lama2 memberitahukan kabar baik istrimu dan nenekmu krn airin dan nenek asih sangat tulus dan ikhlas jgn ragukan lg mereka...
Kaivan sangat terpesona kecantikan airin yg alami,,,baik hati sangat tulus dan ikhlas dan dgn telaten merawat kaivan...
Bagus airin minta pendapat suamimu dulu pasti suami akan memberikan solusinya dan keluarnya dan kaivan merasa dihargai sm istrinya....
Lanjut thor........
jgn lm lm..ksh kjutannya .takutny airin jd slh phm pas tau yg sbnrny.
semoga kejutan nya gak keduluan juragan Wongso