Setelah dituduh sebagai pemuja iblis, Carvina tewas dengan penuh dendam dan jiwanya terjebak di dunia iblis selama ratusan tahun. Setelah sekian lama, dia akhirnya terlahir kembali di dunia yang berbeda dengan dunia sebelumnya.
Dia merasuki tubuh seorang anak kecil yang ditindas keluarganya, namun berkat kemampuan barunya, dia bertemu dengan paman pemilik tubuh barunya dan mengangkatnya menjadi anak.
Mereka meninggalkan kota, memulai kehidupan baru yang penuh kekacauan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Matatabi no Neko-chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
‘Tok, tok.’
Chakra, yang sedang membersihkan belut di wastafel dapur, mendongak mendengar suara ketukan pintu apartemennya. Dia segera mencuci tangan dan mengelapnya dengan handuk kecil. Sekilas, dia melihat Reina yang duduk di ruang tamu, ikut menoleh ke arah pintu sebelum kembali memfokuskan tatapannya pada dirinya.
“Kau tunggu di sini,” ujar Chakra singkat, suaranya tegas namun lembut.
Gadis kecil itu mendongak, kemudian mengangguk patuh. “Mm.”
Chakra berjalan ke pintu dan membukanya. Di sana, berdiri Joshua, tersenyum lebar sambil membawa beberapa paperbag di kedua tangannya. Di belakangnya, terlihat tiga orang—dua pria dan seorang wanita—yang memasang ekspresi penasaran.
“Aku cuma ingin mampir,” kata Joshua, memasang wajah bersalah. “Tadi aku nggak sengaja ketemu mereka. Mereka jadi ikut aku ke sini.”
Chakra menghela napas pendek tanpa menjawab. Dia hanya menggeser tubuhnya sedikit, memberi isyarat agar Joshua dan yang lainnya masuk.
Joshua melangkah masuk dengan santai, sementara ketiga orang di belakangnya mengikuti dengan sedikit canggung.
‘Blam.’
Suara pintu tertutup membuat Reina, yang masih duduk di sofa, menatap ke arah mereka. Gadis kecil itu langsung melihat Joshua dan tiga orang asing yang mengikuti di belakangnya. Salah satu pria tampak berbisik pelan kepada temannya sambil menunjuk ke arah Reina.
Joshua tersenyum cerah, segera menghampiri Reina dengan langkah ringan. “Halo, Nona kecil. Apa kau sudah sehat?” Dia meletakkan paperbag di atas meja kecil di depan Reina.
“Halo, Om. Aku sudah sehat,” jawab Reina santai, meskipun matanya memandang penuh perhatian pada keempat tamu tersebut.
“Siapa anak ini?” salah satu pria berbisik dengan suara cukup keras hingga terdengar oleh semua orang.
“Dia cantik sekali,” tambah pria lainnya.
“Apakah ini anakmu, Chakra? Kapan kau menikah?” celetuk wanita yang berada di belakang, nadanya setengah bercanda.
Chakra menatap mereka sekilas, wajahnya tetap datar. “Dia keponakanku,” jawabnya pendek.
“Aku nggak tahu kalau kau punya keponakan,” celetuk pria pertama, tatapannya menyiratkan nada meremehkan.
“Benar. Aku hampir mengira dia anakmu,” kata pria kedua dengan senyum kecil yang terlihat sinis.
“Hai! Aku Lina. Siapa namamu?” tanya wanita di antara mereka dengan nada ramah. Dia menjulurkan tangannya ke arah Reina, senyum manis menghiasi wajah cantiknya. Namun, Reina langsung merasa ada sesuatu yang salah. Senyuman Lina itu terasa seperti sesuatu yang palsu dan licik.
“Reina,” jawab gadis kecil itu pendek tanpa menyambut uluran tangan Lina. Sebagai gantinya, dia memeluk erat lengan Chakra, seolah ingin berlindung.
Lina menarik kembali tangannya dengan canggung, senyumnya sedikit memudar. “Lah, nih bocah nggak ada sopan santunnya,” celetuk salah satu pria sambil menatap Reina tajam.
Chakra menatap pria itu dengan dingin. “Maaf, dia tidak terbiasa dengan orang asing,” katanya sebelum mengangkat Reina ke pangkuannya. Dia menatap langsung ke pria tersebut, suaranya tegas. “Kalau kau ingin mengumpatinya, sebaiknya kau keluar dari sini.”
Pria itu berdecak kesal namun memilih diam, meskipun tatapan tajamnya tetap tertuju pada Reina.
“Ah, aku nggak tahu. Maafkan aku,” kata Lina tiba-tiba, mencoba mencairkan suasana dengan nada sedih yang dibuat-buat. Dia bahkan menundukkan kepala, berpura-pura merasa bersalah.
Namun, suara isakan tiba-tiba terdengar. Semua orang menoleh pada Reina, yang kini mulai menangis di pangkuan Chakra.
“Ada apa, hmm?” tanya Chakra lembut, menghapus air mata yang mengalir di pipi gadis kecil itu.
“Apa aku membuat kesalahan? Apa aku akan dimarahi? Kenapa mereka menatapku seperti itu?” tanya Reina di sela isakannya. Sebelum Chakra bisa menjawab, dia melompat turun dari pangkuan pria itu dan berlari masuk ke kamar, menutup pintu dengan kencang hingga terdengar suara debaman keras.
Chakra menghela napas dalam. Dia menatap pria yang tadi berkata ketus pada Reina dengan tajam. “Kau pikir setiap anak kecil itu memiliki pribadi yang sama? Apa kau selalu suka menyalahkan anak kecil untuk segalanya?” tanyanya dengan nada dingin.
“Dia saja yang cengeng,” jawab pria bernama Ikhsan dengan nada ketus.
Joshua, yang biasanya santai, kini berbicara dengan nada tak percaya. “Aku heran padamu, Ikhsan. Kau selalu seperti ini setiap kali Lina menunduk sedih, tapi seorang anak kecil yang merasa takut karena kehadiran orang asing justru kau salahkan? Sungguh menyedihkan.”
Chakra berdiri, mengalihkan pandangannya dari Ikhsan. “Sebaiknya kalian semua pulang,” katanya datar sebelum berjalan menuju kamar, meninggalkan tamu-tamunya dalam diam.
Lina memandangi pintu kamar dengan tatapan penuh penyesalan palsu. “Ini salahku. Aku nggak tahu kalau akan seperti ini,” katanya dengan suara bergetar, seolah hendak menangis.
“Itu bukan salahmu,” ujar Kian sambil mencoba menghibur.
“Iya, jangan khawatir. Dia hanya anak kecil yang pemalu saja,” tambah pria lainnya dengan nada setengah membela.
Namun, Joshua, yang biasanya santai, hanya menghela napas kesal sebelum berkata sinis, “Kalian umur berapa, sih? Kenapa lebih cengeng daripada anak kecil?” Tanpa menunggu tanggapan, dia bangkit dan mengikuti Chakra masuk ke dalam kamar.
✨
Reina menatap pemandangan kota dari balik jendela kamar Chakra, menikmati udara malam yang sejuk. Tiba-tiba, seekor kupu-kupu merah darah muncul, hinggap lembut di jemari kecilnya. Mata Reina menatapnya dengan intens, dan sebuah informasi asing seolah masuk ke dalam pikirannya.
“Kembalilah,” gumamnya pelan.
Kupu-kupu itu menghilang begitu saja, seiring dengan suara langkah kaki terdengar mendekat. Chakra memasuki kamar dengan wajah frustasi, pandangannya langsung mencari ke arah gadis kecil itu.
“Reina, kau baik-baik saja?” tanyanya dengan nada khawatir terdengar jelas.
Reina menoleh. Gadis kecil itu menatap Chakra yang berdiri di dekat pintu. Wajahnya tenang, namun sorot matanya penuh dengan sesuatu yang sulit diartikan. “Aku baik-baik saja,” jawabnya.
Perlahan, gadis kecil itu melangkah mendekati Chakra, dan pria itu segera berjongkok agar tingginya sejajar dengan gadis kecil itu. Dia mengusap lembut puncak kepala Reina sebelum bertanya, “Kenapa kau lari masuk ke kamar? Aku tidak keberatan kalau kau memukul mulut orang yang berani bicara seenaknya padamu.”
Jawaban Chakra membuat Reina mengangkat alis, sedikit terkejut dengan candaan pria itu. Namun, sebelum dia sempat merespons, suara ketukan di pintu mengalihkan perhatian mereka.
Chakra berdiri dan menghela napas lelah sebelum membuka pintu. Di sana, Joshua berdiri dengan ekspresi wajahnya menunjukkan rasa bersalah.
“Aku nggak tahu kalau mereka bikin masalah untukmu. Si Lina tadi merengek ingin mampir ke sini, dan ya, seperti biasa, dia langsung jadi pusat perhatian,” jelas Joshua dengan nada kesal.
Chakra menghela napas panjang, mengusap pelipisnya yang berdenyut. “Dia memang nggak pernah berubah.”
Dari dalam kamar, Reina menatap ke arah mereka dengan penasaran. “Apa mereka teman Paman?” tanyanya polos.
Chakra menggeleng sambil tersenyum miring. “Bukan. Mereka cuma orang-orang yang suka menempel padaku.”
Joshua tertawa kecil, lalu menoleh ke arah Reina. “Pamanmu ini dulu terkenal paling cerdas dan tampan waktu sekolah. Julukannya pangeran es, karena dia nggak pernah dekat dengan siapa pun. Waktu dia dekat sama Clara, semua orang heboh. Tapi begitu Pamanmu masuk penjara, dia yang paling sibuk merengek minta Chakra dibebaskan. Padahal, jelas itu mustahil.”
Reina mengerutkan kening, merasa ada sesuatu yang aneh dalam cerita itu. “Kenapa dia begitu?” tanyanya, nadanya menyimpan rasa ingin tahu yang mendalam.
Joshua mengangkat bahu, ekspresinya serius sesaat. “Entahlah. Dia selalu seperti itu. Memaafkan semua orang, seolah dia adalah orang paling baik hati.”
Reina mengangguk pelan, berpikir sejenak. Senyum tipis yang hampir terlihat seperti seringai muncul di wajah cantiknya, seolah ada sesuatu yang baru saja ia simpulkan dari penjelasan Joshua.
✨
Di beberapa kehidupan sebelumnya, Reina hanya fokus bertahan hidup dan menjadi kuat. Ia tidak pernah sempat, bahkan hampir tidak pernah, menikmati masa kecil yang katanya menyenangkan.
Dalam salah satu kehidupannya, ia pernah menjadi anak rakyat biasa yang miskin, mengharuskannya bertahan hidup dengan membantu orang tuanya bekerja dan bersekolah di akademi sihir demi menaikkan derajat keluarga. Pernah juga ia lahir dalam keluarga bangsawan, yang memaksanya bersaing dengan saudara-saudaranya demi menjadi penerus keluarga. Bahkan, ia pernah terlahir sebagai yatim piatu yang menjalani hidup keras, atau sebagai seorang anak yang ditelantarkan oleh orang tuanya sendiri.
Namun kali ini, Reina memutuskan untuk menikmati kehidupan barunya sebagai anak kecil yang pembuat onar. Ia sudah lelah menjadi anak baik dan teladan. Lagipula, satu-satunya keluarga pemilik tubuh ini, Chakra, dikelilingi oleh orang-orang licik yang berpengaruh. Jika dia hanya berdiam diri, pria itu pasti akan bernasib buruk nantinya.
“Apa yang kau pikirkan?” tanya Chakra sambil menyisir rambut unik gadis kecil itu. Wajahnya menatap Reina dengan lembut, meski ada sedikit rasa penasaran saat melihat ekspresi serius gadis itu.
“Tidak ada. Aku hanya heran dengan teman-teman Paman yang seperti itu,” jawab Reina, nada suaranya terdengar setengah mengeluh.
“Mereka memang seperti itu,” sahut Chakra dengan nada datar. “Dan mereka bukan temanku. Aku tidak punya teman. Mereka hanya suka mengikutiku ke mana pun aku pergi. Lina, misalnya, dia adalah keponakan kesayangan seseorang yang dipanggil ayah oleh… kakekmu.”
Reina memerhatikan bagaimana tangan pria itu mengepal erat. Sorot matanya mencerminkan emosi yang coba ditahan. Gadis kecil itu tersenyum tipis, seringai kecil menghiasi bibir mungilnya.
“Paman mau balas dendam? Aku bisa bantu, loh,” tawar Reina, senyum misterius tergambar di wajahnya.
Chakra tersenyum samar. “Aku tidak punya apa pun untuk menyewa orang,” balasnya santai.
Reina berbalik dan menatap Chakra dengan ekspresi tidak percaya. “Apa harus melibatkan orang lain? Kita bisa melakukannya sendiri tanpa sepengetahuan target. Misalnya… black magic.”
Pandangan Chakra langsung berubah tajam, menatap gadis kecil itu dengan dalam. Di dunia modern seperti ini, black magic adalah sesuatu yang tabu. Namun alih-alih menjawab serius, dia mencubit hidung kecil Reina dengan gemas.
“Ayo, kita makan. Kau harus tumbuh sehat,” ujarnya, mengangkat gadis kecil itu dan menggendongnya dengan mudah. Dia berjalan menuju cermin, menatap bayangan mereka berdua di sana. “Lihat tubuhmu yang kurus seperti lidi ini. Kau perlu nutrisi untuk tumbuh normal. Setelah itu, kau bisa melakukan apa pun yang kau suka.”
Reina hanya mendengus, merasa malas untuk berdebat. Namun ia sadar, ada benarnya juga apa yang dikatakan Chakra. Tubuh kecil ini memang terlalu kurus dan lemah untuk rencana-rencana besarnya di masa depan.
“Baiklah,” akhirnya ia menjawab, meski nada suaranya terdengar setengah enggan.