Misteri Rumah Kosong.
Kisah seorang ibu dan putrinya yang mendapat teror makhluk halus saat pindah ke rumah nenek di desa. Sukma menyadari bahwa teror yang menimpa dia dan sang putri selama ini bukanlah kebetulan semata, ada rahasia besar yang terpendam di baliknya. Rahasia yang berhubungan dengan kejadian di masa lalu. Bagaimana usaha Sukma melindungi putrinya dari makhluk yang menyimpan dendam bertahun-tahun lamanya itu? Simak kisahnya disini.
Kisah ini adalah spin off dari kisah sebelumnya yang berjudul, "Keturunan Terakhir."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MRK 15
“Ibu!” Nadira berlari ke dalam rumah kala mendengar jeritan ibunya, mencari-cari dari mana asal suara sang ibu, dan menemukan ibunya duduk di samping pintu toko, menutup mata dengan kedua tangan. “Ibu, Ibu kenapa?”
Dengan tubuh gemetar Sukma menunjuk ke arah lantai, disana Nadira melihat bercak kaki berdarah yang mengarah ke tangga lantai dua. Indra berlari tergopoh mendekatinya, dan saat melihat pemandangan mengerikan itu, lelaki itu reflek mundur sebab aroma anyir dan pemandangan darah membuatnya mual.
“Darah apa ini Bu?” tanya Nadira. Ibunya menggeleng dalam tangis, wanita itu rupanya begitu syok.
“Nadira, cepat bawa ibumu ke ruang tamu!” titah Indra. Nadira mengangguk dan memapah ibunya masuk ke dalam rumah, sementara Indra mencoba masuk ke dalam toko, menutup hidung dan merekam kejadian aneh itu, lantas mengirimnya pada Rendra.
“Bro, cepat kesini. Ada yang aneh di rumah Kang Jaya, aku takut Bro, masalahnya Nadira dan ibunya sendiri di rumah,” ucapnya mengirim pesan suara.
Indra tak ingin berlama-lama di tempat itu, bulu kuduknya terasa meremang, ia memutuskan ikut bergabung dengan Nadira dan ibunya di ruang tamu. Di dalam rumah sederhana itu mereka duduk terdiam, masing-masing menyimpan rasa takut dalam hati.
“Ibu, coba cerita apa yang sebenarnya terjadi?” Nadira membuka percakapan, ia merasa tak seharusnya saling diam seperti ini. Bagaimanapun ini kali pertama ada kejadian aneh setelah sebulan lamanya mereka tak lagi mengalami gangguan.
“Ibu.. ta-tadi, tadi ibu lagi hitung omset penjualan toko di sini, lantas ibu dengar suara benda jatuh di dalam toko. Ibu mengira itu kucing tetangga yang terjebak di sana saat ibu menutup pintu, dan ibu coba mengeceknya. Tapi, justru pemandangan mengerikan itu yang ibu lihat.”
“Ibu yakin itu bukan bekas kaki ibu? mungkin ibu terluka? atau mungkin pak lek dan nenek?”
“Astaga Nadira, lihat ini!” Sukma menunjukkan dua kakinya yang tampak baik-baik saja, “nggak ada luka sedikitpun, “lagi pun, pak lek dan nenekmu berangkat kondangan setelah mengantarmu ke pesantren dan belum kembali sampai sekarang. Juga, ibu baru beberapa menit yang lalu menutup pintu toko, karena mengambil buku keuangan. Dan saat itu semua masih aman.”
Indra menarik kakinya ke atas sofa, lelaki itu yang paling penakut di antara ketiga rekannya. Kini ia menyesal bersedia mengantar Nadira sendiri, dan harus menjadi saksi kejadian menyeramkan ini. Dalam hati mengutuk Rendra yang tak kunjung datang, ia merasa tak berguna sebagai lelaki tapi tak bisa memaksakan diri juga.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam, Maaf apa kedatanganku mengganggu?” ucap seorang lelaki yang berdiri di samping pintu.
“Seno? ah, silahkan masuk,” ucap Sukma.
“Ya Sukma, terima kasih. Tapi aku cuma mau beli kue kalau masih ada, soalnya di rumah ada tamu mendadak,” ucapnya.
“Oh, a-ada.. tapi…” Sukma terlihat ragu-ragu menceritakan apa yang terjadi, bagaimanapun Seno adalah orang luar. Meski lelaki itu dulu berteman dekat dengan mendiang suaminya, tetap saja Sukma tak mengingatnya.
“Ada apa?” tanya Seno.
Melihat keraguan dalam tindakan tuan rumah, membuat Indra gusar. Pasalnya ia sudah sangat ketakutan sejak tadi, beruntungnya saat itu juga Rendra datang bersama Dafa. Dua lelaki itu masuk ke dalam rumah tanpa salam dan nafas terengah-engah.
“Ren, kamu sudah datang?” ucap Indra begitu melihat kedua temannya.
“Maaf Bu, apa yang sebenarnya terjadi?”
Indra menceritakan segalanya, mereka seolah lupa Seno menunggu jawaban. Tapi akhirnya lelaki itu mengerti apa alasan ketegangan di dalam rumah itu. Tanpa berlama-lama, Seno membuka pintu toko yang tak terkunci, ia tercengang melihat ucapan Indra benar adanya, bahkan bau anyir itu seperti tak biasa.
Rendra dan Dafa turut berkerumun di samping Seno, ketiga lelaki itu melihat sendiri bercak kaki berdarah yang mengarah ke tangga lantai dua.
“Sukma, tangga itu arahnya kemana?” Seno menunjuk tangga di ujung ruang.
“Di atas ada kamar dan jemuran yang sudah tidak dipakai, dan kata ibu ruangan itu sudah disegel dengan kayu dan dipaku. Sudah bertahun-tahun lamanya tak ada yang kesana, karena kebetulan atapnya banyak bocor,” jawab Sukma.
“Aneh sekali, lantas jejak kaki berdarah ini milik siapa? dan kenapa berhenti di tangga teratas?” Dafa masuk ke dalam toko memastikan jejak kaki berhenti di bagian mana.
“Aroma anyir juga terlalu menyengat, seolah darah yang ada sangatlah banyak. Padahal ini hanya bercak yang sudah hampir mengering.” Kini suara Rendra yang menggema dalam toko kue itu, lelaki itu berkeliling mencari kalau-kalau ada darah lain. Tapi berakhir tak menemukan apapun.
“Sukma, kita lapor polisi saja ya. Aku khawatir ada yang berniat buruk pada keluargamu,” tawar Seno meraih ponsel dari dalam saku celana.
“Jangan, tidak perlu Seno. Biarkan kami menyelesaikan masalah ini sendiri, dan maaf sepertinya aku tidak bisa menjual kue malam ini, kamu tahu sendiri keadaan toko seperti ini, khawatir kuenya juga sudah tidak layak. Maaf ya Seno, sampaikan permintaan maafku pada Mbah Sani, katakan saja kuenya habis, dan tolong masalah ini aku harap bisa berhenti di kamu,” pinta Sukma.
Seno mengangguk, “baiklah, tapi dimana Wijaya dan nenek Ratih?”
“Mereka sedang kondangan, sebentar lagi pasti pulang. Kamu kembali saja kasihan tamunya menunggu.”
“Ah, kamu benar, aku sampai lupa. Ya sudah aku pamit dulu ya Sukma, kalau ada apa-apa kamu panggil aja aku, pintu depan akan kubuka.”
Sukma tersenyum mengucapkan terima kasih, menatap Seno berbalik meninggalkannya. Sementara itu, pikirannya kini dipenuhi segala dugaan tentang hal-hal mistis yang telah lama tak mengganggu mereka, “sepertinya gangguan itu datang lagi Dira,” ucapnya lirih.
“Ibu, Ibu tenang ya, duduk saja disini. Kita tunggu pak lek dan nenek, Dira akan buatkan ibu teh panas.”
“Maaf ibu, bolehkah kami bantu membersihkan noda darahnya?” Dafa menawarkan bantuan.
“Jangan! biarkan saja Nak, tunggu pak lek dan nenek Dira pulang. Kalian lebih baik duduk saja, temani kami sampai mereka kembali,” ucap Sukma. Dafa mengangguk mengerti, lelaki itu lantas duduk disamping Indra yang sama sekali tak beranjak dari sofa karena ketakutan.
Sementara itu Nadira bergegas ke dapur, meski sebenarnya ia takut pergi sendiri tapi demi menghindari berada dalam ruang yang sama dengan Rendra, ia pun nekat. Bagaimanapun juga ia baru saja ditolak oleh lelaki itu, rasanya sungguh tak punya muka bila berada dalam satu ruang yang sama terlalu lama.
“Nak Rendra, bisakah tolong temani Nadira di dapur? ibu khawatir jika dia sendiri.” Tiba-tiba saja Sukma memohon bantuan Rendra yang baru saja akan duduk di samping Dafa, lelaki itu tentu tak bisa menolak, sempat menatap kedua temannya seolah meminta bantuan. Tapi Dafa dan Indra justru berpura-pura sibuk dengan ponsel masing-masing.
“Bisa kan Nak? Nadira sendirian di belakang,” kata Sukma lagi.
“Ah, iya… bisa Bu,” jawab Rendra berlalu.
Rendra melihat Nadira yang tengah meracik teh, rupanya gadis itu tak hanya membuatkan ibunya, melainkan empat gelas teh yang pasti untuk Rendra dan kedua temannya. Rendra bingung harus bagaimana bersikap, ia baru saja marah pada Dira dan kini malah dihadapkan dalam situasi tak terduga.
Dilihatnya Nadira yang sedang berusaha menuangkan air panas ke dalam gelas, gadis itu sepertinya sedikit melamun, hingga tak sengaja air panas menyiram tangan kirinya.
“Aw…”
“Astaghfirullah, Nadira!” Rendra bergegas meraih teko dari tangan gadis itu, meletakkannya kembali di atas kompor. Lantas menarik tangan Nadira, dan membasuhnya di bawah kran wastafel yang mengalir. Nadira tercengang, ia sungguh tak percaya dengan apa yang terjadi kini, Rendra membawa tangannya berada di bawah kucuran air, bersama-sama merasakan sensasi dingin dari air wastafel itu.
Diam-diam Nadira tersenyum, lelaki di depannya tampak begitu khawatir. Keningnya berkerut tajam, sedangkan tatapan mata tak beralih dari tangan Nadira yang memerah, sungguh rasanya hati Nadira seolah hendak meledak, ingin rasanya menghentikan waktu, agar kejadian ini tak cepat berlalu.
.
Tbc