Di malam satu Suro Sabtu Pahing, lahirlah Kusuma Magnolya, gadis istimewa yang terbungkus dalam kantong plasenta, seolah telah ditakdirkan untuk membawa nasibnya sendiri. Aroma darahnya, manis sekaligus menakutkan, bagaikan lilin yang menyala di kegelapan, menarik perhatian arwah jahat yang ingin memanfaatkan keistimewaannya untuk tujuan kelam.
Kejadian aneh dan menakutkan terus bermunculan di bangsal 13, tempat di mana Kusuma terperangkap dalam petualangan yang tidak ia pilih, seolah bangsal itu dipenuhi bisikan hantu-hantu yang tak ingin pergi. Kusuma, dengan jiwa penasaran yang tak terpadamkan, mencoba mengungkap setiap jejak yang mengantarkannya pada kebenaran.
Di tengah kegelisahan dan rasa takut, ia menyadari bahwa sahabatnya yang ia kira setia ternyata telah menumbalkan darah bayi, menjadikan bangsal itu tempat yang terkutuk. Apa yang harus Kusuma lakukan? mampukah ia menyelamatkan nyawa teman-temannya yang terjebak dalam kegelapan bangsal 13?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bobafc, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nasib Kusuma
Kusuma, putri yang seharusnya ceria dan riang, kini tampak aneh di matanya. Selvi, sang ibu, hanya bisa menjerit histeris, suara ketakutannya menggema di dalam ruangan sempit itu. "Pak, kae Kusuma, Pak!" teriaknya, seolah suara itu bisa mengubah keadaan yang sudah mengkhawatirkan.
"Tenang, Buk. Sekarang panggil Arya. Minta dia untuk menemui Mbah Rejo. Segera, ya, Bu!" titah Surya dengan tegas, meski hatinya bergetar. Dalam kepanikan, Surya hanya bisa mengawasi setiap gerakan putrinya, takut mendekat dan menyakiti.
"Kusuma, anakku, kenapa kamu, Nduk?" tanyanya, suara paniknya terpaksa disembunyikan di balik kedamaian yang pura-pura ia tunjukkan.
Di tengah keheningan yang mencekam, suara tangisan bayi itu pecah, namun tatapan tajam Kusuma mengalahkan semua suara. Surya merasakan getaran ngeri saat bayi berusia tujuh bulan itu tersenyum menyeringai, seolah menyimpan rahasia kelam.
Kamar berukuran tiga kali tiga meter itu menyisakan sedikit ruang bagi hiasan. Ranjang sederhana terletak di pojok kanan, bersebelahan dengan box bayi di sisi kiri, dan lemari pakaian di samping ranjang. Di kiri lemari, jendela terbuka, tempat di mana Kusuma duduk, menatap dunia luar dengan sorot mata yang tidak wajar.
"Kusuma, sini, Nduk. Ini Bapak!" panggil Surya lirih, tangannya melambai penuh harap.
Kusuma merangkak mendekat, dan Surya merasa beban di dadanya sedikit terangkat saat melihat putrinya mengenali dirinya.
"Alhamdulillah, dia mengenaliku," bisiknya dalam hati, wajahnya bersinar bahagia. Namun, bahagia itu segera sirna saat tiba-tiba gunting lipat di tangan Kusuma menancap di dadanya. Darah segar mengalir, meresapi kain yang dipakai Surya.
"Kusuma, apa yang terjadi padamu, Nduk?" teriaknya, rasa sakit menyengat seolah mengingatkannya akan keadaan yang tak terduga. Dengan cepat, ia melepaskan pelukan pada Kusuma, meletakkannya di box.
Selvi yang berdiri di ambang pintu, ketakutan, hanya bisa teriak melihat suaminya terluka.
"Kamu tunggu di luar saja, Selvi! Ini berbahaya untukmu!" perintah Surya, meski suaranya seakan tenggelam dalam kepanikan yang melanda.
Selvi menggigil, ketakutan melingkupi dirinya ketika melihat putrinya terbang di hadapannya. Surya, kebingungan, berusaha menenangkan istri sekaligus mengejar Kusuma yang hampir melesat keluar kamar.
Namun, semua terlambat. Selvi terjatuh di lantai, menghentikan langkah Surya. Dalam kegelapan yang mencekam, ia melarikan diri dari kamar, membiarkan istri tergeletak tak berdaya.
"Kusuma, di mana kamu, Nduk!" teriaknya, berlari ke sana ke mari, menutup jendela dan pintu rumahnya. Suara langkahnya menggema, menciptakan ketegangan yang semakin menebal.
Bau semerbak bunga melati menguar ke seluruh ruangan, mengganggu indra penciuman Surya. Ia berjalan perlahan, mencari sumber aroma yang aneh itu, yang terasa asing di tengah kekacauan.
Oek! Oek! Oek!
Tangisan itu hanya sebentar, namun cukup membuat bulu kuduknya merinding. Surya tahu, itu bukan suara Kusuma. Rasa ngeri merayap di hatinya, menyadarkannya akan kengerian yang mengintai di balik keindahan malam.
Perlahan, Surya melangkah memasuki kamar yang ia jadikan sebagai gudang. Ruangan itu selalu menyimpan harapan baru setiap kali ada kiriman barang dari kota, seperti persediaan sehari-hari untuk warga yang bekerja di hutan perhutani. Jarak yang jauh dari peradaban menjadikan tempat tinggal mereka, yang tersembunyi di tengah hutan jati, seakan terasing, memaksa Surya untuk memastikan semua kebutuhan siap agar para pekerja betah dan mau bekerja bersamanya.
"Kusuma," panggilnya lirih, suaranya hampir tenggelam dalam kesunyian hutan.
Oek! Oek! Oek!
Tangisan putrinya kini terdengar jelas, menembus keheningan malam. Jantung Surya berdegup kencang saat ia segera mencari kunci, berusaha membuka lemari kosong di dalam gudang. Tangan gemetar merogoh saku celana, namun rasa cemas itu membuat gerakannya terhambat.
"Sabar, Nduk. Bapak akan membuka pintunya!" Ia berusaha menenangkan diri, berjanji pada Kusuma yang terkurung di balik sesuatu yang misterius.
Setelah perjuangan panjang, kunci itu akhirnya berada di tangannya. Ia membuka lemari di sebelah kiri, namun nihil. Kekecewaan menggurat di wajahnya, rasa takut dan lelah tak mampu memadamkan semangatnya. Dengan tekad yang kuat, ia kembali mencari di dapur yang bersebelahan dengan gudang, sambil terus memanggil nama putrinya.
Tangisan Kusuma kembali terdengar, kini lebih dekat, seolah menggiring Surya ke ruang tamu. Ia berlari, berharap putrinya berada di sana.
"Selvi!" panggilnya, napasnya memburu seiring detak jantung yang semakin cepat.
Di sana, ia melihat Selvi sedang memangku Kusuma. Kagetnya tak terelakkan ketika ia menyadari sang istri ternyata sudah siuman. Langkahnya perlahan mendekati, memeluk Selvi yang tampak diam, tak bersuara. Dalam pelukan itu, ia merasakan kehangatan yang teraba, lalu menatap Kusuma. Senyumnya merekah saat melihat putrinya tertawa riang, tatapan ceria yang menghapus semua rasa khawatir.
Ia meraih Kusuma, membopongnya dengan penuh kasih. Namun, lirikan Surya tak lepas dari Selvi yang masih terdiam.
"Bu, ono apa jane? Bapak njaluk ngapuro mau ninggalke bue nang ngarep lawang. Soale Bapak bingung goleki Kusuma." (Sebenarnya ada apa, Bu? Bapak minta maaf jika meninggalkan ibu di depan pintu, karena Bapak bingung mencari Kusuma.)
Selvi tetap terdiam, menundukkan kepalanya, sementara Kusuma hanya tersenyum lucu, tanpa memahami beban yang menggelayuti ibunya.
"Delok, Bu. Kusuma wes bisa ketawa.” Surya berusaha mengalihkan perhatian, melihat putrinya yang ceria, berharap bisa menjadikan suasana lebih ringan.
Sekali lagi, Selvi tak menjawab, hanya membiarkan kesunyian menyelimuti mereka.
"Bu, dangak o. Aja dingkluk wae. Ana opo jane!" (Bu, angkat wajahmu. Jangan terus menunduk. Ada apa, sih!)
Permintaan Surya untuk Selvi mendongak menatapnya tak membuat istrinya beranjak dari keheningan.
"Nanti kalau besar, jadi wong sing pinter, ya Nduk. Kudu isa nulungi wong akeh," kata Surya, mengusap kepala Kusuma yang ada di pelukannya, namun pandangannya tetap tertuju pada Selvi yang seolah terjebak dalam pikirannya sendiri.
"Selvi!" teriaknya, mendesak agar istrinya membuka diri.
Selvi pun mendongakkan kepalanya, tatapan tajam yang terlintas di matanya membuat Surya mundur selangkah. Muka Selvi terukir ketegangan, bagaikan ombak yang siap menerjang.
"Bu, kamu kenapa?" tanya Surya, hatinya bergetar menghadapi situasi ini.
"Anakmu kui wes gawa nasib e dewe. Aja pisan-pisan mbok gawa metu saka kampung iki yen pengen anakmu slamet," suara Selvi mengandung ketegangan. (Anakmu itu sudah membawa nasibnya sendiri. Jangan sekali-kali kau bawa dia keluar dari kampung ini jika kau ingin dia selamat.)
"Apa maksudmu, Bu! Kenapa Kusuma tidak boleh dibawa ke luar dari kampung ini? Omonganmu kok dadi nglantur ngono!" Suara Surya bergetar antara ketidakpahaman dan kebingungan, merindukan jawaban yang bisa meredakan kegelisahan dalam hatinya.
Malam semakin kelam, dan dalam hening yang menakutkan, terjadilah perdebatan antara harapan dan ketakutan, antara kasih sayang dan nasib yang tak terduga.
Selvi mempertajam pandangannya, dan tatapan itu membuat Surya merasakan ketakutan yang mencekam. Jantungnya berdegup lebih cepat, seolah bisa melompat dari dadanya saat tiba-tiba pintu rumahnya terketuk. Suara ketukan itu seakan mengguncang ketenangan malam, mempercepat detakan jantungnya dua kali lipat.
"Kang, bukakke lawang!" seru Arya dari luar, suaranya tegas menembus kepanikan Surya.
Kedatangan Arya memberi sedikit kelegaan. Dengan cepat, Surya membuka engsel pintu, membiarkan dua sosok yang ia tunggu muncul di hadapannya: Arya dan Mbah Rejo, sosok bijak yang diharapkan bisa membawa solusi.
"Ndie anakmu, Le!" refleks Surya menyerahkan Kusuma kepada Mbah Rejo, merasakan berat yang sedikit terangkat dari pundaknya.
Mbah Rejo memeriksa tangan Kusuma, dan kerutan di dahi sang kakek semakin dalam. "La iki tangan e terluka. Aku wes ngomong toh di ati-ati. Jangan sampai kena benda tajam. Bakale anakmu diganggu karo bongso alus." (Lihat, tangannya terluka. Aku sudah bilang hati-hati. Jangan sampai kena benda tajam. Nanti anakmu bisa diganggu makhluk halus.)
Peringatan itu membuat Surya merinding. Ia mencoba menenangkan diri. "Ndang ditutup lukanya! Kenapa kui dadamu. Jangan bilang itu anakmu yang melakukan." Mbah Rejo menggelengkan kepala, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam tentang apa yang bisa terjadi jika Kusuma tumbuh dewasa.
"Mbah, Selvi Mbah! Selvi kok menakutkan tadi!" ucap Surya, sambil menunjuk kursi kayu panjang yang berada di sebelah kirinya, mengingat betapa mencekamnya suasana tadi.
"Mana, istrimu gak ada, Le!" Surya menoleh, dan hatinya bergetar saat menyadari bahwa Selvi tidak ada di sana. "Tapi Mbah, tadi Selvi di situ."
"Dari aku datang di sini, gak ada Mbak Selvi, Kang," jawab Arya, matanya menyisir ruangan, mencari sosok Selvi yang menghilang tanpa jejak.
"Ya sudah, ayok masuk dulu! Silahkan duduk dulu, Mbah," pinta Surya, kebingungan menyelimuti hatinya. Ia merasa seperti kehilangan sesuatu yang berharga di tengah situasi yang kacau ini.
Tatapannya beralih ke kamar yang berada di ujung sebelah kanan. Ragu menghinggapi, karena jika Selvi melangkah ke kamar, seharusnya ia melewati mereka, bukan?
"Arya, Kusuma kamu gendong dulu, biar tangannya diobati Mbah Rejo," ucapnya, mencoba menata kembali pikiran yang berantakan.
"Kamu juga harus diobati, Surya!" Mbah Rejo mengeluarkan beberapa obat dari tasnya, perhatian pada luka yang ada di tubuh Surya.
"Bentar, Mbah. Saya mau mencari Selvi dulu." Suara Surya tegas, meski ketakutan menyelimuti hatinya.
Dengan langkah cepat, Surya melangkah ke kamar, dan terkejut saat melihat sang istri tergeletak pingsan di depan pintu, tubuhnya tak berdaya seperti daun layu yang jatuh dari pohonnya.
"Arya!" teriak Surya, suaranya menggema penuh kepanikan, seakan mengharapkan keajaiban untuk mengembalikan Selvi ke keadaan semula.