Sang penjaga portal antar dunia yang dipilih oleh kekuatan sihir dari alam
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon faruq balatif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Toko Roti
Setelah berjalan kaki menyusuri jalan setapak menuju desa, Araya, Muya, dan Paman Buno akhirnya tiba di depan toko roti kecil mereka yang terletak di pasar Ribe. Udara pagi yang dingin mengiringi kedatangan mereka, tetapi suasana terasa hangat karena keakraban di antara mereka bertiga.
Toko roti itu sederhana, dengan jendela besar yang memamerkan berbagai jenis kue dan roti di balik kaca etalase kayu tua. Aroma manis dan hangat roti yang baru saja dipanggang masih samar-samar tercium meski toko belum dibuka. Muya segera mendorong pintu, dibantu oleh ayahnya. Bunyi derit halus pintu menyambut mereka masuk untuk memulai aktivitas pagi. Araya masih merasa canggung di tempat ini, tetapi rasa kekeluargaan dari Muya dan Paman Buno membuatnya sedikit tenang.
“Araya, coba kamu bantu bersihkan lemari kue di sana,” ujar Muya sambil menunjuk ke arah etalase besar di sudut ruangan.
Araya, meski sedikit gugup, mengangguk pelan. Ia mengambil lap kain yang disediakan Muya dan mulai mengelap kaca yang sedikit berdebu. Muya mengambil sapu dan mulai membersihkan lantai toko. Sesekali, ia berhenti untuk melirik Araya, memastikan bahwa ia baik-baik saja. Muya tahu Araya masih merasakan sakit di badannya.
"Bagaimana, Araya? Semuanya baik-baik saja?" tanyanya dengan senyum lembut.
Araya menoleh dan tersenyum tipis. "Iya, aku baik-baik saja. Tempat ini luar biasa," jawabnya sambil melanjutkan pekerjaannya.
Sementara itu, di bagian belakang toko, Paman Buno sudah sibuk di dapur, mempersiapkan adonan roti yang hendak dipanggang. Tangannya yang cekatan dengan mudah mengaduk adonan, mencampur tepung, air, dan ragi dengan presisi yang terlatih. Suara dentingan alat dapur sesekali terdengar dari dapur, mengiringi kesibukan pagi itu. Bau adonan segar yang mulai mengembang memenuhi ruangan, memberikan aroma manis dan nyaman yang menenangkan siapa saja yang menciumnya.
“Araya, setelah ini aku akan ajarkan bagaimana cara membuat roti isi krim. Kamu pasti akan suka!” ujar Muya dengan nada ceria, menghampiri Araya yang masih mengelap kaca.
Sorot mata Muya menunjukkan antusiasme yang tulus. Baginya, membuat roti bukan hanya pekerjaan, tetapi juga seni yang ia nikmati. Araya hanya tersenyum canggung, merasa ragu pada kemampuannya sendiri.
"Aku nggak pernah bikin roti sebelumnya, Muya. Sepertinya aku akan kesulitan."
Muya tertawa kecil. “Tenang saja. Aku juga dulu sama seperti kamu, tapi lama-lama pasti terbiasa. Yang penting adalah menikmati prosesnya. Membuat roti itu seperti terapi; saat kamu fokus, semua hal lain di luar sana terlupakan,” katanya, penuh semangat. Ia ingin Araya merasa nyaman, dan ia tahu cara terbaik untuk melakukannya adalah dengan berbagi sesuatu yang disukainya.
Setelah selesai membersihkan toko, mereka mulai menyiapkan roti-roti untuk dipanggang. Muya mengajarkan Araya bagaimana mencampur krim, menata roti di atas loyang, dan menghias kue dengan berbagai topping. Araya memperhatikan setiap gerakan Muya dengan penuh rasa ingin tahu. Tangannya yang lincah tampak berpengalaman, membuat kue dan roti terlihat sangat menarik. Sesekali, Araya mencuri pandang ke Muya yang terlihat sangat bahagia saat bekerja.
"Wah, kamu benar-benar hebat, Muya," puji Araya dengan tulus, membuat Muya tertawa kecil.
"Ah, tidak juga, ini cuma latihan. Kalau kamu mau, nanti aku ajarin semuanya." Mereka tampak akrab dan seolah merasakan kenyamanan satu sama lain.
Ketika waktu makan siang tiba, sebuah ketukan terdengar di pintu toko. Bibi Eva, ibu Muya, datang membawa keranjang makanan. Di tengah kesibukan toko yang sudah mulai didatangi beberapa pelanggan, kehadiran Bibi Eva memberikan jeda bagi mereka untuk beristirahat.
"Aku bawakan kalian makan siang. Ada sup ayam yang tadi pagi aku buat," ujarnya sambil tersenyum. Paman Buno, yang sedang mengeluarkan roti dari oven, tersenyum lebar.
"Ah, sepertinya kita perlu istirahat sebentar. Mari kita makan bersama," ajaknya dengan semangat.
Mereka pun duduk di meja kecil di belakang toko. Bibi Eva mengeluarkan bekal makanan dan menatanya dengan rapi. Sup ayam yang mengepul hangat, disertai potongan roti dan sayuran segar, membuat perut mereka semakin lapar.
"Ayo makan, Araya," kata Bibi Eva sambil menyodorkan semangkuk sup ayam. Senyumnya membuat Araya merasa nyaman, seolah dirinya adalah bagian dari keluarga mereka.
"Terima kasih, Bibi," jawab Araya dengan sopan. Saat ia mencicipi sup ayam itu, ia merasakan kehangatan yang mengalir dari dalam tubuhnya. Sup itu begitu lezat, penuh cita rasa yang sederhana namun menenangkan.
Makan siang itu dipenuhi canda tawa. Mereka berbicara tentang banyak hal, dari kenangan masa kecil hingga cerita-cerita lucu sehari-hari di desa. Araya, meski baru mengenal mereka, merasa seolah sudah menjadi bagian dari keluarga ini. Suasana yang penuh kehangatan itu membuatnya melupakan hal-hal aneh yang dilihatnya tadi pagi, orang-orang di desa dengan wajah-wajah kosong dan tarian di alun-alun. Perasaan hangat yang juga semakin membuat jatungnya berdetak cepat setiap kali menatap Muya.
Setelah makan siang selesai, Bibi Eva pamit pulang, meninggalkan mereka. Muya, Araya, dan Paman Buno kembali ke toko. Pelanggan mulai datang silih berganti, membeli roti yang baru saja keluar dari oven. Kesibukan di toko meningkat, tetapi dengan kerja sama mereka, segalanya berjalan lancar. Araya mulai terbiasa melayani pelanggan, membantu Muya mengatur kue-kue di etalase, dan belajar banyak tentang pengelolaan toko.
Menjelang sore, toko mulai sepi. Araya dan Muya duduk di depan toko, sambil menikmati hembusan angin kecil. Langit mulai memerah, menandakan malam yang akan segera tiba. Dalam keheningan itu, pikiran Araya kembali pada kejadian aneh di desa tadi pagi. Ia merasa ada sesuatu yang tidak biasa, sesuatu yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
"Muya," ucap Araya pelan, memecah keheningan. Matanya menatap lurus ke depan, tetapi pikirannya tertuju pada pertanyaan yang menghantui sejak pagi.
Muya menoleh, sambil tersenyum, namun ia bisa merasakan keraguan di suara Araya. "Ada apa?" tanyanya lembut.
"Orang-orang di desa tadi pagi... mereka aneh. Apa yang sebenarnya terjadi di sini?" tanya Araya, mencoba memahami segala keanehan yang dilihatnya. Gerakan kaku, tatapan kosong, dan tarian itu.
Muya terdiam sejenak, kemudian menghela napas panjang. "Aku tahu kamu pasti merasa ada yang aneh. Desa ini memang bukan desa biasa," jawabnya, suaranya lebih serius dari biasanya.
"Apakah itu berhubungan dengan tarian yang kulihat di alun-alun?" tanya Araya penasaran, mengingat tarian mistis yang dilihatnya di desa pada pagi hari. Orang-orang itu bergerak dengan gerakan kaku, seperti boneka, namun mata mereka kosong.
Muya terdiam sejenak sebelum menjawab. "Tarian itu... adalah bagian dari ritual lama yang dilakukan di desa ini. Orang-orang di sini percaya bahwa tarian tersebut adalah cara untuk menjaga makhluk-makhluk dari dimensi kegelapan itu tidak menyerang kami."
"Dimensi kegelapan?" Araya mengerutkan kening, semakin bingung.
"Ya," jawab Muya. "Mungkin terdengar aneh, tetapi desa ini memiliki sejarah yang cukup gelap. Dahulu, terjadi sesuatu yang buruk di sini, dan sejak saat itu, orang-orang mulai melakukan tarian itu untuk menenangkan roh-roh yang marah."
Araya merasa bulu kuduknya merinding. Ia tidak pernah membayangkan bahwa desa yang terlihat biasa ini menyimpan cerita yang begitu menyeramkan. "Apakah... roh-roh itu masih ada di sini?"
Muya mengangguk pelan. "Mereka ada di mana-mana, tetapi biasanya mereka tidak mengganggu penduduk desa. Selama tarian itu dilakukan, mereka akan tetap tenang."
Araya merasa pusing mendengar penjelasan Muya. Semua ini terasa seperti cerita dalam buku horor, tetapi kini ia mengalaminya sendiri. Ia semakin ingin pulang, jauh dari segala keanehan ini, tetapi di saat yang sama, rasa ingin tahunya semakin membesar.
Paman Buno akhirnya keluar dari dapur, menyela percakapan mereka. "Sudah waktunya menutup toko," katanya sambil mengunci pintu dan menurunkan tirai.
Dalam perjalanan pulang, suasana desa terasa kembali mencekam. Rumah-rumah tampak gelap, hanya diterangi oleh cahaya redup dari lampu-lampu kecil di teras. Araya merasakan kegelisahan yang sama seperti yang dirasakannya kemarin malam. Desa ini, dengan segala keheningan dan misterinya, terasa seperti dunia yang berbeda.
Selama perjalanan, ia tak berani melihat sekelilingnya terlalu banyak. Ketakutannya semakin menumpuk akan misteri dan semua hal aneh yang terjadi disini. Araya berjalan sambil menggenggam lengan baju paman buno sambil sesekali melirik kewajah muya dan paman buno yang tampak biasa seolah mereka tak punya ketakutan sedikitpun.
Setelah sampai di rumah Pak Buno, Araya masuk ke dalam kamarnya dengan perasaan campur aduk. Dia masih memikirkan cerita Muya. Namun, ia mencoba menepisnya. Rasa tidak nyaman dan ingin kembali pulang ke desanya tak bisa iya terima sepenuhnya karena satu hal yang menahan dirinya. Rasa ingin bersama dengan Muya lebih lama tak bisa ia tolak. Perasaan yang tak bisa ia jelaskan.