Sang Dewi Nemesis Hukum Nolite, yang jutek harus berkelahi dengan berondong teknik yang Playboy itu. Iyuuuuh .. nggak banget!!!!!
Tapi bagaimana kalau takdir berkata lain, pertemuan dan kebersamaan keduanya yag seolah sengaja di atur oleh semesta.
"Mau lo sebenernya apa sih? Gue ini bukan pacar lo Cakra, kita udah nggak ada hubungan apa-apa!" Teriak Aluna tertahan karena mereka ada di perpustakaan.
Pria itu hanya tersenyum, menatap wajah cantik Aluna dengan lamat. Seolah mengabadikan tiap lekuk wajah, tapi helai rambut dan tarikan nafas Aluna yang terlihat sangat indah dan sayang untuk dilewatkan.
"Gue bukan pacar lo dan nggak akan pernah jadi pacar lo. Cakra!" Pekik Aluna sambil menghentakkan kakinya di lantai.
"Tapi kan waktu itu Kakak setuju mau jadi pacar aku," pria itu memasang ajah polos dengn mata berkedip imut.
"Kalau lo nggak nekat manjat tiang bendera dan nggak mau turun sebelum gue nuritin keinginan gila lo itu!!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Peringatan
"Lo pikir gue bodoh!" Bentak Cakra nyalang, tatapan matanya kini berkilat marah.
Miranda terjingkat kaget, Cakra memang tidak pernah bersikap baik padanya tapi baru kali ini Cakra membentak dengan begitu marah. Miranda menggeleng cepat, memasang wajah sendu memohon belas kasih.
"Aku beneran di hukum dosen, aku nggak bohong,"kukuh Miranda dengan mata berkaca-kaca, sekali kedip sama maka ia akan menangis. Miranda tahu Cakra tidak pernah tega melihat seorang wanita menitikan air mata.
Cakra berdecih pelan, membuang pandangannya ke arah lain. MIranda tersenyum tipis hampir tak terlihat. Dia tahu air mata adalah kelemahan pria itu, tapi senyum tipis Miranda seketika menghilang saat tangan Cakra dengan cepat mencengkram lehernya dengan kuat. Menekan nadi dan saluran pernafasannya dengan erat.
"Ca-cak-ra ..." suara Miranda tercekat seperti kodok terinjak.
"Gue udah bilang jauhi Aluna, jangan ganggu hidup gue, **jing," ucap Cakra pelan dengan nada yang menekan di setiap kata, sorot matanya dingin tanpa belas kasih.
Jemari besarnya semakin menekan tiap urat syaraf di leher Miranda. Rahang Cakra mengeras, giginya mengeletuk. Miranda memberontak, memukul lengan Cakra, tapi tangan itu seperti besi yang keras. Tangan Miranda sampai sakit karena memukulnya.
Mahasiswa lain tidak ada yang mendekat, mereka hanya melihat sambil merekam apa yang terjadi. Hal yang sama yang mereka lakukan saat kejadian Aluna tadi, jika tadi mereka takut ikut campur masalah Aluna. Kali ini alasannya tak jauh berbeda, meski mereka tidak mengenal Cakra. Namun, aura dingin dan sorot mata yang sama gelapnya dengan Aluna saat marah tadi membuat mereka cukup tahu diri untuk tidak ikut campur.
Herman melangkah pelan mendekati Cakra, pria paruh baya itu mencengkram kuat sapu yang ia pegan. Dia mungkin kesal dengan gadis sombong itu, tapi dia juga tidak bisa membiarkan terjadi kekerasan sampai jatuh korban jiwa.
"Mas udah, Mas. Bisa mati anak orang," tegur Herman pelan.
Cakra tersenyum miring lalu melepaskan tangannya begitu saja.
"Uhuk-uhuk!"
Miranda terbatuk saat oksigen kembali bisa ia raup dengan rakus. Kedua tangan yang berpoles kutek warna merah terang itu mengusap lehernya yang memerah dan sedikit memar. Nafasnya tersengal menatap Cakra dengan ketakutan.
Herman merasa lega karena pemuda itu mau melepaskan tanganya. Jujur saja dia takut melihat wajah gadis sombong itu yang sudah sangat merah.
Cakra melangkah mendekati Miranda, matanya menyorot dingin. Miranda terus mundur sampai terhantuk meja kantin yang ada di berlakangnya. Ia terpojok dan Cakra sudah berdiri di hadapannya.
"Ini terakhir kalinya gue kasih lo peringatan, sekali lagi lo ganggu Aluna-gue. Jangan harap lo bisa bebas bernafas," ujar Cakra dengn nada dingin.
"Maaf Cakra, maaf," lirihnya tanpa berani menatap wajah laki-laki itu.
"Lo pikir gue takut sama laki-laki brengsek itu, kemarin gua nggak bales dia karena gue nggak mau bikin ribut di kampus ... tapi sepertinya lo salah paham." Cakra menyeringai dengan tatapan meremehkan lawan bicaranya.
"Om Wira Papa lo, lo nggak seharusnya sebut dia kayak gitu," cicit Miranda.
"Gue Yatim piatu!" pekik Cakra tertahan, nafasnya memburu menahan amarah yang lebih besar.
"O-om Wira masih hi-
"Persetan dengan laki-laki Baji***n itu! gue nggak perduli. Gue masih baik karena lo temen kecil gue, tapi kalau lo tetep kayak gini gue pastiin lo akan jadi musuh gue!" tegas Cakra.
"Ma-maaf gue nggak akan gini lagi," sahut Miranda dengan ketakutan.
Cakra memalingkan wajahnya, sejenak ia mengambil nafas berusaha sedikit tenang. Jika dia menuruti amarahnya maka itu akan buruk bagi Cakra, bisa jadi dia langsung dikeluarkan di kampus karena tindak kekerasan.
"Ngomong apa lo sama Aluna tadi?" tanya Cakra setelah sedikit lebih tenang.
"Gue nggak ngomong apa-apa," kilah miranda dengan wajah cemberutnya.
Brak.
"Apa Bang**t!" Cakra memukul meja dengan keras membuat Miranda terjingkat takut.
"Gu-gue bilang ki-kita mau tu-nangan, Ki-Kitakan emang mau tu-nangan. Nggak ada yang salah sama yang gue omongin ke dia," jawab Miranda dengan rasa percaya diri yang mulai muncul diakhir kalimatnya.
"Dalam mimpi lo! gue lebih baik sama tiang listrik dari pada harus sama lo, inget ini terakhir kalinya lo ganggu Aluna ... kalau lo ngadu soal Aluna ke laki-laki Baj***n itu, gue pastiin gue nggak akan sungkan buat kasih lo lebih dari hari ini. Camkan itu!" Jari telunjuk Cakra menegang ke wajah Miranda dengan tatapan mengancam.
Pria muda bertopi hitam itupun melangkah lebar meninggalkan Miranda. Tangan belalang pirang, eh gadis berambut pirang itu mengepal kuat. Dia mengigit bibirnya menatap punggung Cakra yang mulai menjauh diantara semua manusia yang ada di sana.
"Nggak, lo nggak boleh kayak gini sama gue Cakra. Gue harus pisahin mereka, dan buat Cakra balik lagi sama gue," gumam Miranda penuh kesal.
Cakra berjalan cepat menuruni tangga, diah harus menjelaskan semuanya pada Aluna. Tadi dia tidak sempat menjelaskan pada Aluna karena dia ingin memberi pelajaran pada Miranda. Karena Cakra yakin Miranda akan mengadu pada Wira tentang Aluna. Cakra harus mencegah itu, Cakra boleh terluka, Cakra bisa berdarah tapi tidak Aluna.
Langkah Cakra semakin cepat mengantarkan di ake are parkir kampus. Sudut bibirnya terangkat naik saat melihat gadis favoritnya yang berjalan sendirian ke arah mobil berwarna ungu muda.
Aluna memutuskan untuk pulang, karena memang sudah tidak ada kelas lagi. Meski seharusnya hari ini dia harus diskusi kelompok, tapi Aluna memilih pulang dan mengundur jadwal diskusi kelompoknya. Karena tidak mungkin Aluna muncul di depan teman-temannya dengan keadan seperti ini.
"Luna," suara lembut yng menyebut namanya membuat tangan Aluna yang hendak meraih handle pintu mobil terhenti.
Mata gadis terpejam, mengambil nafas dalam tapi tak berniat menoleh. Aluna melanjutkan gerakannya untuk membuka pintu mobil. Namun, daun pintu itu kembali di tutup oleh Cakra.
"Minggir," usir Aluna pada Cakra yang kini berdiri menyandar di pintu mobilnya.
"Nggak. Sebelum Kakak Cantik maafin Aka," sahutnya, posisi Cakra bukan berhadapan dengan Aluna. Pemuda itu merapatkan tubuh di pintu mobil nemplok seperti cicak.
"Minggir atau gue nggak mau lagi liat wajah lo!" ketus Aluna.
"Tapi-
"Satu ... dua .." Tangan Aluna bersedekap, menatap punggung Cakra dengan malas.
Mendengar Aluna yang mulai berhitung, Cakra perlahan melepaskan dekapannya pada mobil kecil warna ungu muda itu. Cakra memutar tubuhnya, kini dia berhadapan dengan Aluna.
"Kakak Cantik maafin Aka ya, please." Cakra mengaitkan semua jarinya, menatap Aluna dengan mata lebar dan berkaca-kaca memelas mirip kucing kecil yang meminta belas kasih.
"Gue nggak butuh maaf lo, dari pada lo di sini mending lo urusin calon tunangan lo itu," sarkas Aluna.
"Aka yang butuh maaf Kakak, Aku juga nggak ada hubungan apapun sama dia Kak. Dia aja yang suka sama Cakra, tolong percaya sama aku. Maafin aku, gara-gara aku Kakak cantik jadi malu."
Aluna hanya diam, tersenyum miring dengan kedua alisnya yang terangkat naik.
"Kakak Cantik boleh minta apa saja, Aka bakal lakukan apapun asal Luna cantik maafin Aka," tutur Cakra memohon.
"Kalau gue mau lo enyah dari hidup gue bisa?"
Mata Cakra membeliak lebar lalu menunduk kecewa.
"Apapun selain itu," lirihnya.
"Basi, minggir." Aluna mendorong Cakra dengan paksa, lalu segera masuk ke dalam mobil.
"Luna ... Luna please maafin Aka. Lunaku ...Bulanku."
Cakra mengetuk-ngetuk kaca mobil Aluna tanpa putus asa. Tapi Aluna sama sekali tidak perduli.Pk Perlahan mobil Aluna bergerak meninggalkan Cakra yang masih berdiri di tempatnya.
"Sial, nggk boleh kayak gini. Gue harus buat Kakak cantik nerima maaf gue" setelah bergumam kecil Cakra lngsung berlari ke motornya, menyalakan mesih dan segera mengeber kuda besi itu mengikuti mobil Aluna.
ini juga kenapa pada Ngeliatin Aluna kaya coba.
apalagi dia yang setatusnya sebagai orang tua Cakra. kenapa gak di laporin aja kepolisi si.
Nyatanya mau Cakra tw Om Hail pun sama² keras kepala dalam mempertahankan rasa cinta mereka buat seseorang yg spesial di hati mereka,,,
Apa ini??bakalan ada Drama apalagi yg akan Luna liat???
padahal anak gak tau apa", masa ibunya kecelakaan dan meninggal kesalahan nya harus di tanggung sang anak sampai dewasa?? emang kecelakaan itu disengaja?? salut sama Cakra yg bisa kuat menjalani kehidupan yg keras tanpa kasih sayang orang tua..
padahal anak ny Cakra tapi lebih pro ke Miranda, pasti perkara uang lagi 😒😒