Follow my Instagram : @nataniacatherin_
Hai semua! dukung terus cerita yang akuu buat yaa, kalau kamu suka, like ya, kalau ada kesalahan dari cerita ku, berikan saran, agar kedepannya aku bisa bercerita dengan baik untuk novel terbaru ku..✨❤️
"Cinta dan Cemburu"
Kisah tentang Catherine yang harus menghadapi perasaan rumit antara cinta dan cemburu. Dalam perjalanan hubungan dengan Akbar, ia menemukan sisi lain dari dirinya dan orang yang dulu sering menyakitinya. Di tengah kedekatannya dengan Naufal, Akbar yang penuh kecemburuan mulai menunjukkan sisi gelapnya. Namun, meskipun penuh dengan rintangan, Catherine harus memilih antara cinta yang tulus dan hubungan yang penuh ketegangan. Akankah ia bisa menemukan kedamaian di antara perasaan yang bertarung?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chaterine Nathania Simatupang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehidupan yang Tak Terduga
Hari itu, pelajaran Bahasa Indonesia berlangsung seperti biasa. Catherine duduk di bangkunya, mencatat dengan tenang sambil mencoba tidak menarik perhatian siapa pun. Namun, ketika guru bertanya tentang buku sastra klasik yang menjadi materi pembelajaran, suasana kelas mulai gaduh.
“Siapa di sini yang tahu, apa pesan moral dari novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana?” tanya Bu Irma, guru Bahasa Indonesia, sambil memandang para murid.
Kelas hening. Tidak ada yang mengangkat tangan. Sebagian besar siswa bahkan tidak membaca bukunya, hanya mengandalkan catatan seadanya atau menunggu teman lain menjawab. Catherine sebenarnya tahu jawabannya, tetapi rasa takut dan trauma dari ejekan teman-temannya membuat dia ragu untuk berbicara.
Namun, ketika Bu Irma mulai mengarahkan pandangan padanya, Catherine merasa tidak ada pilihan lain. Dengan suara pelan, dia mengangkat tangan.
“Catherine, kamu mau mencoba?” tanya Bu Irma, tersenyum lembut.
Catherine mengangguk pelan. “Menurut saya, pesan moral dari novel itu adalah pentingnya kebebasan untuk memilih jalan hidup sendiri, terutama untuk perempuan. Tuti sebagai tokoh utama mewakili perempuan modern yang tidak mau terkungkung oleh tradisi, sementara Maria lebih tradisional. Novel ini menunjukkan bahwa kebebasan dan pendidikan bisa membawa perempuan menjadi lebih mandiri.”
Kelas kembali hening. Semua mata tertuju pada Catherine, termasuk Akbar dan Theresia. Beberapa teman mulai berbisik-bisik, tampak terkejut.
“Jawaban yang sangat bagus, Catherine,” puji Bu Irma. “Kamu benar-benar memahami isi novel ini.”
Catherine merasa pipinya memanas, tetapi kali ini bukan karena malu. Ada rasa bangga yang tumbuh di dalam dirinya.
Akbar, yang duduk di bangku depan, menoleh ke belakang. Matanya menatap Catherine dengan raut wajah yang berbeda dari biasanya. “Wow, aku nggak nyangka, Cat. Kamu pintar juga ya,” katanya dengan nada yang tulus, meski terdengar sedikit terkejut.
Catherine hanya tersenyum kecil dan kembali menunduk. Dia tidak ingin terlalu berharap atau berpikir jauh. Kata-kata pujian dari Akbar mungkin hanya basa-basi.
Namun, bagi Akbar, ada sesuatu yang berubah. Catherine, yang selama ini dia anggap biasa saja—atau bahkan menjadi bahan ejekan—ternyata memiliki sisi yang belum pernah dia lihat. Akbar merasa sedikit penasaran, tetapi dia juga tahu bahwa dirinya masih menjadi bagian dari masalah Catherine.
Hari yang Berbeda
Beberapa hari setelah kejadian itu, Catherine mulai merasakan perubahan kecil di sekitarnya. Beberapa teman sekelas yang biasanya mengabaikannya kini mulai menyapa, bahkan meminta bantuan ketika mereka kesulitan memahami materi pelajaran. Catherine merasa canggung, tetapi dia tetap mencoba bersikap ramah.
Namun, perubahan paling mengejutkan datang dari Akbar. Di kantin, ketika Catherine sedang makan siang sendirian, Akbar menghampirinya.
“Boleh duduk di sini?” tanya Akbar, membawa nampan makanannya.
Catherine hampir tersedak karena terkejut. Dia hanya mengangguk pelan, tidak tahu harus berkata apa.
“Jadi,” Akbar memulai, sambil meletakkan minumannya. “Kamu benar-benar suka baca buku ya? Aku nggak pernah lihat ada cewek yang bisa menjelaskan sesuatu kayak kamu di kelas.”
Catherine mengangkat bahu. “Aku cuma suka membaca. Itu aja.”
Akbar tersenyum. “Aku harap aku bisa suka baca juga. Tapi jujur aja, aku lebih suka olahraga.”
Catherine hanya tersenyum kecil, merasa percakapan ini aneh. “Olahraga bagus kok. Semua orang punya hal yang mereka suka.”
Percakapan itu singkat, tetapi bagi Catherine, itu terasa seperti mimpi. Akbar, seseorang yang biasanya menjadi sumber ejekan, kini bersikap ramah. Catherine tidak tahu apa yang harus dia pikirkan, tetapi satu hal yang pasti—perasaan lamanya terhadap Akbar perlahan mulai muncul kembali, meski dia berusaha menolaknya.
Theresia dan Rasa Cemburu
Namun, tidak semua orang senang dengan perubahan ini. Theresia mulai merasa terganggu dengan perhatian Akbar yang tiba-tiba tertuju pada Catherine.
“Kenapa kamu jadi sering ngomong sama Catherine?” tanya Theresia suatu hari, nada suaranya penuh kecurigaan.
“Dia pintar,” jawab Akbar santai. “Aku rasa nggak ada salahnya ngobrol dengan dia. Lagipula, kamu tahu sendiri, aku benci tugas Bahasa Indonesia.”
“Pintar? Please, dia cuma cari perhatian. Jangan bilang kamu mulai suka sama dia?” kata Theresia, menatap tajam.
Akbar tertawa kecil, meski tidak menjawab. Namun, Theresia bisa merasakan sesuatu yang berbeda.
Sejak itu, Theresia semakin sering mencari cara untuk menjatuhkan Catherine. Di kelas, dia sengaja menyindir Catherine di depan teman-temannya.
“Eh, Catherine, kamu yakin bisa jawab soal ini? Kamu kan cuma jago teori,” katanya sambil tersenyum sinis.
Namun, Catherine tidak lagi diam seperti dulu. Dia menatap Theresia dengan tenang dan berkata, “Kalau aku cuma jago teori, setidaknya aku nggak sibuk merendahkan orang lain. Aku lebih suka fokus belajar.”
Theresia terdiam, merasa dipermalukan. Beberapa teman di kelas bahkan mulai tertawa kecil, membuat Theresia semakin kesal.
Perubahan pada Catherine
Meskipun ejekan dan sindiran dari Theresia masih terus datang, Catherine merasa dirinya lebih kuat dari sebelumnya. Dia mulai percaya pada kemampuan dan nilai dirinya sendiri. Setiap kali dia merasa terpuruk, dia mengingat kata-kata Jenny: Kamu lebih dari sekadar penampilan.
Hubungan Catherine dengan Jenny semakin erat. Jenny selalu ada untuk mendukungnya, bahkan ketika Catherine merasa ragu.
“Kamu tahu nggak, Cat?” kata Jenny suatu hari. “Semua yang kamu alami sekarang adalah bagian dari perjalanan kamu untuk jadi lebih hebat. Kamu cuma perlu percaya bahwa kamu pantas mendapatkan yang terbaik.”
Catherine mengangguk. Dia tahu perjalanan ini masih panjang, tetapi dia merasa siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang.
Di sisi lain, Akbar terus menunjukkan perhatian kecil yang membuat Catherine bingung. Meski Catherine berusaha menjaga jarak, dia tidak bisa menyangkal bahwa ada bagian dari dirinya yang masih berharap.
Namun, Catherine tahu bahwa kebahagiaannya tidak boleh bergantung pada orang lain, apalagi seseorang seperti Akbar yang pernah menyakitinya.
Dan dengan itu, Catherine mulai menjalani hidupnya dengan lebih percaya diri, menatap masa depan dengan keyakinan bahwa dia bisa menciptakan kehidupannya sendiri, tanpa perlu validasi dari siapa pun.
Menemukan Ruang untuk Diri Sendiri
Catherine mulai menyadari bahwa semakin sering Akbar mendekatinya, semakin besar pula perhatian negatif yang dia dapatkan dari Theresia dan gengnya. Bukan hanya sindiran, tetapi juga tekanan mental yang terus-menerus membuat Catherine merasa tidak nyaman.
Dia tahu dirinya bukan orang yang suka mencari perhatian, dan hal terakhir yang dia inginkan adalah menjadi pusat drama antara Akbar dan Theresia. Maka, Catherine memutuskan untuk mulai menjaga jarak.
Di kelas, dia memilih tempat duduk yang lebih jauh dari Akbar. Di kantin, dia lebih sering makan bersama Jenny atau bahkan sendirian. Ketika Akbar mencoba memulai percakapan, Catherine menjawab dengan singkat, cukup sopan tetapi tidak membuka peluang untuk percakapan panjang.
“Kenapa kamu tiba-tiba kayak ngehindarin aku?” tanya Akbar suatu hari, ketika Catherine sedang berjalan menuju perpustakaan.
Catherine berhenti sejenak, menatap Akbar dengan tenang. “Aku cuma merasa lebih nyaman begini. Itu aja.”
Akbar tampak bingung. “Kita cuma ngobrol biasa, Catherine. Aku nggak ngerti kenapa kamu harus jaga jarak.”
Catherine menghela napas. “Mungkin kamu nggak sadar, Akbar, tapi setiap kali kamu mendekati aku, ada banyak hal yang harus aku hadapi. Ejekan, tatapan sinis, bahkan perlakuan buruk dari teman-temanmu—dan aku nggak butuh semua itu.”
Akbar terdiam. Dia tahu Catherine benar, tetapi dia tidak tahu harus berkata apa.
Jenny, Sekutu yang Selalu Ada
Ketika Catherine menceritakan hal ini kepada Jenny, sahabatnya hanya mengangguk setuju.
“Kamu ngambil keputusan yang tepat, Cat. Akbar mungkin mulai sadar kamu punya nilai lebih, tapi jangan lupa, dia masih bagian dari kelompok yang pernah bikin kamu menderita,” ujar Jenny.
Catherine tersenyum pahit. “Kadang aku berpikir, kalau aku tidak pernah suka sama dia, mungkin semua ini nggak akan terjadi.”
Jenny menatapnya dengan serius. “Nggak ada salahnya suka sama seseorang, Cat. Tapi ada bedanya antara menyukai seseorang dan membiarkan perasaan itu mengontrol hidup kamu. Kamu punya hak untuk memilih jalan kamu sendiri, tanpa bergantung pada dia atau siapa pun.”
Kata-kata Jenny seperti membuka mata Catherine. Dia tahu bahwa dirinya harus lebih fokus pada hal-hal yang membuatnya bahagia—bukan pada perasaan tak berbalas atau drama yang tak ada akhirnya.
Theresia Semakin Agresif
Namun, keputusan Catherine untuk menjaga jarak tidak membuat Theresia berhenti. Sebaliknya, Theresia justru semakin agresif.
“Lihat aja dia,” ujar Theresia kepada teman-temannya suatu hari, saat mereka melihat Catherine sedang membaca di perpustakaan. “Dia pikir dengan menjauh dari Akbar, dia bisa lepas dari semua ini? Tolol banget.”
Theresia mendekati Catherine dengan senyum palsu yang memuakkan di wajahnya. “Hei, Catherine, kamu kelihatan sibuk banget. Lagi baca buku apa? Cara jadi cewek pintar tapi tetap culun?” tanyanya sambil tertawa kecil, sengaja membuat suasana semakin panas.
Catherine menutup bukunya perlahan, tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Wajahnya dingin, matanya menyala penuh kemarahan. Dia bangkit berdiri dengan gerakan tegas, membuat Theresia terkejut.
“Gue lagi baca soal cara ngadepin cewek caper yang kerjanya cuma bikin orang ilfeel,” jawab Catherine dengan nada rendah tapi tajam, menusuk langsung ke ego Theresia.
Theresia, merasa tersentak, mencoba membalas, “Oh, jadi sekarang berani, ya? Kirain cuma gadis kutu buku pengecut.”
Catherine melangkah maju, mendekati Theresia hingga jarak mereka hanya beberapa inci. “Denger ya, Ther. Gue diem selama ini bukan karena gue takut. Gue diem karena gue muak ngeladenin cewek nggak guna kayak lu.”
Theresia tersenyum sinis, mencoba menyembunyikan kegugupannya. “Ngomong apa sih lu? Sadar diri, deh. Lu cuma bahan lelucon di sini.”
Dan itu menjadi puncak kesabaran Catherine. “Lu tahu nggak, Ther? Gue udah cukup nahan diri sama kelakuan lu!” teriak Catherine, suaranya bergema di perpustakaan. Tanpa peringatan, dia mendorong Theresia hingga tersandar ke meja terdekat. Buku-buku dan barang-barang di atas meja jatuh berserakan.
Theresia berusaha membalas, tetapi Catherine lebih cepat. Dia menarik kerah baju Theresia dan mendekatkan wajahnya. “Lu pikir lu siapa, hah? Cewek banci yang cuma bisa nyinyir sambil nyari perhatian orang? Nggak malu sama diri lu sendiri?” Catherine menghempaskan Theresia ke kursi dengan kasar.
Cicilia dan Fiorentina mencoba melangkah maju untuk membantu Theresia, tetapi Catherine menoleh dengan tatapan tajam. “Lu berdua mau ikut? Silakan! Gue lagi mood buat ngajarin orang durjana.”
Jenny, yang sedari tadi menonton, langsung mendekat sambil berseru, “Biar gue yang jagain mereka, Cat. Lu fokus aja sama si bangsat ini.”
Theresia berusaha berdiri, wajahnya memerah antara marah dan malu. “Gila lu!” teriaknya, tetapi suaranya bergetar.
Catherine menyeringai kecil, penuh kemenangan. “Iya, gue gila. Gila ngadepin cewek norak yang hidupnya cuma cari perhatian cowok karena nggak punya pencapaian lain.”
Orang-orang di perpustakaan mulai berkerumun, menonton dengan tatapan terkejut dan kagum. Theresia, Cicilia, dan Fiorentina akhirnya memutuskan untuk mundur, menghindari lebih banyak penghinaan.
Saat Theresia berjalan pergi dengan wajah penuh amarah, Catherine menatapnya sekali lagi. “Lu inget ini, Ther. Gue nggak akan biarin lu injek-injek gue lagi. Dan kalau lu berani, coba aja. Gue tunggu.”
Theresia tidak berkata apa-apa, hanya pergi dengan langkah cepat, meninggalkan perpustakaan dalam suasana tegang. Catherine kembali duduk di kursinya, menarik napas dalam-dalam. Jenny menepuk bahunya, tersenyum puas.
“Gue bangga sama lu, Cat. Akhirnya mereka kena batunya.”
Catherine hanya mengangguk kecil. Kali ini, dia merasa benar-benar menang. Tidak hanya melawan Theresia, tetapi juga melawan rasa takut yang selama ini menahannya.
Akbar Mulai Berubah
Melihat semua ini dari kejauhan, Akbar mulai memikirkan banyak hal. Dia sadar bahwa selama ini, dia adalah bagian dari masalah Catherine. Semua ejekan, semua perlakuan buruk yang diterima Catherine—meski dia tidak selalu ikut serta, dia juga tidak pernah menghentikannya.
Ketika Theresia kembali ke kelas dengan wajah kesal, Akbar mendekatinya. “Theresia, aku rasa kamu harus berhenti ganggu Catherine.”
Theresia menatapnya dengan kaget. “Apa? Kamu serius? Dia yang mulai, Akbar!”
“Nggak, Ther. Kamu yang nggak bisa terima kalau aku ngobrol sama dia. Kamu tahu Catherine nggak pernah cari masalah sama kamu, tapi kamu terus bikin dia nggak nyaman,” ujar Akbar tegas.
Theresia tertawa sinis. “Jadi, sekarang kamu di pihaknya, gitu? Jangan bilang kamu suka sama dia, Akbar.”
Akbar terdiam sejenak, tetapi tidak menjawab. Jawaban itu cukup bagi Theresia untuk merasa terancam.
Catherine Fokus pada Dirinya Sendiri
Sementara itu, Catherine mulai merasa lebih ringan setelah mengambil langkah untuk menjaga jarak. Dia menghabiskan lebih banyak waktu untuk hal-hal yang dia sukai—membaca, menulis, dan bahkan mencoba kegiatan baru seperti melukis.
Di dalam dirinya, Catherine tahu bahwa dia masih memiliki perasaan untuk Akbar, tetapi dia juga sadar bahwa perasaan itu tidak boleh menghalanginya untuk menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri.
Jenny, seperti biasa, selalu ada untuk mendukungnya. “Kamu udah jauh lebih kuat, Cat. Aku bangga sama kamu.”
Catherine tersenyum. “Aku cuma ingin hidup dengan tenang, Jenny. Itu aja.”
Dan dengan itu, Catherine terus melangkah maju, meninggalkan semua drama di belakangnya. Dia tahu bahwa perjalanan ini belum selesai, tetapi untuk pertama kalinya, dia merasa memiliki kendali atas hidupnya sendiri.
Catherine yang Baru
Hari-hari berlalu, dan Catherine mulai berubah. Dia tidak lagi membiarkan ejekan Theresia, Cicilia dan Fiorentina melukai hatinya. Sebaliknya, dia menjawab setiap sindiran dengan tajam, membuat mereka terdiam tanpa bisa membalas.
Di koridor sekolah, Catherine berjalan dengan percaya diri, meskipun di belakangnya Theresia dan gengnya sibuk mengomentari penampilannya.
“Eh, Catherine, lagi cosplay jadi apa hari ini? Nerd rebel?” cemooh Theresia sambil tertawa, diikuti oleh tawa teman-temannya yang lain.
Cicilia menyeringai, “Pasti dia pikir kalau dia kelihatan keren dengan gaya kayak gitu. Padahal, cuma makin keliatan culun.”
Fiorentina ikut menambah, “Iya, benar. Pasti dia ngerasa keren, tapi siapa yang peduli sama dia? Semua orang cuma ngelihatin dia sebagai bahan lelucon.”
Catherine terdiam sejenak, tatapan matanya berubah tajam seperti pisau. Dalam sekejap, dia mendekati Theresia yang masih tertawa meremehkan. Semua orang di sekitar mereka tiba-tiba merasa tegang, tak menyangka Catherine akan bereaksi.
Catherine berhenti tepat di depan Theresia, suaranya rendah dan penuh amarah. "Anjg, lu pikir mulut lu itu tempat sampah? Kalau iya, udah bau banget. Mending tutup sebelum gue yang bersihin."
Theresia tersentak, tetapi sebelum dia bisa membalas, Catherine melanjutkan dengan nada lebih keras. "Gue capek denger ocehan lu tiap hari. Hidup gue bukan buat jadi tontonan elu, ngtd! Lu siapa sih? Cuma cewek insecure yang butuh perhatian dari semua orang karena nggak punya apa-apa selain mulut busuk!"
Theresia mencoba membalas, tetapi Catherine lebih cepat. Tanpa peringatan, Catherine melangkah maju, menyentakkan tangan Theresia yang menunjuknya. Dalam gerakan cepat, Catherine menggunakan teknik silat sederhana untuk menjatuhkan Theresia ke lantai. Theresia terjatuh dengan keras, wajahnya penuh kejutan dan rasa malu.
Cicilia dan Fiorentina yang berada di dekatnya terperangah, tetapi Catherine berbalik menghadap mereka. "Ada yang mau nyusul? Gue bisa kasih pelajaran gratis buat siapa aja yang mau coba."
Jenny, yang menyaksikan dari belakang, mulai tertawa kecil sambil bertepuk tangan. "Bagus, Cat. Tunjukin aja siapa yang sebenarnya lelucon di sini."
Theresia mencoba bangkit dengan wajah merah padam, tetapi Catherine membungkuk mendekat, suaranya kembali rendah namun menusuk. "Dengerin gue baik-baik, Theresia. Mulai sekarang, jauh-jauh dari gue. Kalau lu masih mau cari masalah, gue bakal kasih lebih dari ini. Paham?"
Theresia hanya mengangguk perlahan, terlalu malu dan takut untuk membalas. Semua orang di sekitar terdiam, tak percaya bahwa Catherine yang dulu dianggap lemah kini berdiri sebagai pemenang.
Catherine menatap sekeliling, memastikan pesannya sampai ke semua orang. Lalu, dia berbalik dan berjalan pergi bersama Jenny, meninggalkan Theresia dan gengnya dalam kehinaan.
Ketegangan dengan Akbar
Namun, perubahan Catherine juga membawa ketegangan dengan Akbar. Suatu hari di perpustakaan, Akbar mencoba mengobrol dengannya, tetapi Catherine langsung memotongnya.
“Catherine, aku mau ngomong,” kata Akbar, mendekatinya.
Catherine mendongak dari buku yang sedang dibacanya. “Ngapain? Mau ngejek aku lagi? Kalau iya, lebih baik langsung ke intinya. Aku sibuk.”
Adam yang duduk di meja sebelah, mendengar percakapan itu dan ikut mencibir. “Wah, Catherine, sombong banget sih. Cuma sedikit perhatian, langsung kebawa angin.”
Surya, yang juga ada di situ, ikut menambahkan dengan nada meremehkan, “Iya, kan. Dari dulu juga udah gitu, nggak ngerti diri. Dikiranya, dia bisa bersikap seenaknya.”
Akbar terdiam sejenak, merasa canggung dengan sikap Catherine. Tetapi, ia juga mulai merasakan ada sesuatu yang berbeda dari Catherine yang tidak bisa dia pahami.
Akbar menghela napas. “Aku nggak mau ngejek kamu. Aku cuma—aku pengen minta maaf.”
Surya yang duduk di sebelah Akbar ikut menatap Catherine dengan serius. “Aku juga minta maaf, Cat. Kalau aku ada ngomong yang nggak enak atau bikin kamu merasa nggak nyaman,” ujarnya, mencoba terlihat tulus.
Adam, yang sebelumnya ikut mengejek, kini menunduk sejenak sebelum berkata, “Iya, aku juga minta maaf. Aku nggak seharusnya ngomong kayak gitu ke kamu.”
“Maaf?” Catherine tertawa kecil, nadanya penuh sindiran. “Setelah bertahun-tahun ikut ngetawain aku sama pacar kamu, kalian pikir kata 'maaf' cukup buat memperbaiki semuanya?”
Akbar terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Catherine melanjutkan.
“Kamu tahu, Akbar, ada luka yang nggak bisa sembuh cuma karena satu kata. Jadi, kalau kamu mau minta maaf, pastikan kamu benar-benar paham apa yang kamu minta.”
Perubahan dalam Hubungan
Setelah insiden itu, Akbar mulai berpikir ulang tentang banyak hal, terutama tentang hubungannya dengan Theresia. Dia mulai melihat bagaimana Theresia memperlakukan Catherine dan orang-orang di sekitarnya, dan perlahan, dia merasa tidak nyaman.
Namun, Catherine tidak peduli lagi. Dia tidak butuh perhatian Akbar atau pengakuannya. Setiap kali Akbar mencoba mendekatinya, Catherine semakin judes, tidak memberi ruang untuk basa-basi.
“Catherine, aku cuma mau ngobrol,” kata Akbar suatu hari di kantin, suaranya terdengar sedikit cemas.
Catherine mengangkat alis dan menatapnya tanpa ekspresi. “Ngobrol apa? Kamu mau kasih alasan kenapa pacar kamu nggak bisa berhenti ngomongin aku? Atau kamu cuma mau ajak aku ikut drama kalian?”
Akbar terdiam, tak tahu harus berkata apa. Lalu, muncul Adam yang berjalan mendekat dengan senyuman ringan di wajahnya. “Ada apa nih? Ngobrol sama siapa, Akbar?” tanya Adam sambil melirik Akbar yang tampak canggung.
Catherine menatap Adam sejenak, lalu mengalihkan pandangannya kembali ke Akbar. “Kalau bukan itu, jangan ganggu aku,” potong Catherine, kemudian melangkah pergi, meninggalkan Akbar yang masih terdiam dengan wajah penuh penyesalan. Adam hanya menggelengkan kepala, merasa tak enak melihat situasi itu.
Theresia yang Tidak Terima
Theresia mulai merasa terancam oleh perubahan Catherine. Tidak hanya Catherine lebih percaya diri, tetapi dia juga tidak takut untuk melawan. Theresia mencoba berbagai cara untuk menjatuhkan Catherine, tetapi tidak ada yang berhasil.
“Akbar, kamu harus berhenti ngomong sama Catherine,” ujar Theresia suatu hari. “Dia cuma cari perhatian, dan aku nggak suka.”
“Dia nggak cari perhatian, Theresia,” balas Akbar tegas. “Kamu aja yang nggak bisa berhenti mikirin dia.”
Theresia terkejut mendengar jawaban itu, tetapi dia tidak ingin menyerah. Dia bertekad untuk menjaga Akbar tetap di sisinya, meskipun hubungan mereka mulai terasa tegang.
Catherine yang Kuat
Di sisi lain, Catherine semakin fokus pada dirinya sendiri. Dia mulai menyadari bahwa kekuatannya bukan hanya datang dari keberaniannya melawan orang-orang seperti Theresia, tetapi juga dari kepercayaan dirinya yang tumbuh setiap hari.
Meskipun dia masih memiliki perasaan untuk Akbar, Catherine tahu bahwa dia tidak bisa membiarkan perasaan itu mengontrol hidupnya. Baginya, menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri jauh lebih penting daripada mengejar seseorang yang pernah menjadi bagian dari rasa sakitnya.
Jenny, sahabat setianya, terus mendukungnya dalam perjalanan ini. “Aku bangga banget sama kamu, Cat. Kamu udah jadi orang yang jauh lebih kuat daripada yang mereka kira.”
Catherine tersenyum, untuk pertama kalinya tanpa ada beban di hatinya.