Setelah Danton Aldian patah hati karena cinta masa kecilnya yang tidak tergapai, dia berusaha membuka hati kepada gadis yang akan dijodohkan dengannya.
Halika gadis yang patah hati karena dengan tiba-tiba diputuskan kekasihnya yang sudah membina hubungan selama dua tahun. Harus mau ketika kedua orang tuanya tiba-tiba menjodohkannya dengan seorang pria abdi negara yang justru sama sekali bukan tipenya.
"Aku tidak mau dijodohkan dengan lelaki abdi negara. Aku lebih baik menikah dengan seorang pengusaha yang penghasilannya besar."
Halika menolak keras perjodohan itu, karena ia pada dasarnya tidak menyukai abdi negara, terlebih orang itu tetangga di komplek perumahan dia tinggal.
Apakah Danton Aldian bisa meluluhkan hati Halika, atau justru sebaliknya dan menyerah? Temukan jawabannya hanya di "Pelabuhan Cinta (Paksa) Sang Letnan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 Belum Apa-apa Sudah Beli Pembalut
Jam 16.00 Wib, Aldian dan Haliza tiba di kediaman Aldian. Rumah yang tidak seluas rumah orang tua Haliza di Yogyakarta ini, meskipun dari luar tidak terlihat mewah. Akan tetapi dalamnya sangat estetik dan rapi, meskipun tidak luput dari sentuhan berbau tentara.
Di dinding ruang tamu ada sebuah foto keluarga tergantung. Papa dan mama Aldian berserta Alda sang adik. Di ruang tengah juga ada foto Aldian, mengenakan pakaian tentaranya.
Aldian membawa Haliza ke tangga, di lantai dua terdapat beberapa ruangan. Ada beranda tamu, dua kamar, mushola, dan ruang kerja. Semua tertata rapi, meskipun bukan barang mewah, akan tetapi tetap terjaga keestetikannya.
Di sudut ruangan antara ruang kerja dan beranda tamu, terdapat sebuah lemari kaca. Di dalamnya terdapat miniatur benda-benda yang berkaitan dengan hampir semua angkatan. Di dalam lemari kaca itu juga ada miniatur berupa barang-barang properti.
Haliza sempat heran, di dalam rumah ini sepertinya tidak ada pembantu, tapi di dalamnya sangat bersih, wangi dan tertata rapi. Apakah Aldian yang selalu bersih-bersih di rumah ini sendirian? Jika memang Aldian yang melakukan semua sendiri, rasanya tidak mungkin. Bagi Haliza, rumah sebesar ini, meskipun tidak sebesar rumahnya di Yogya, tapi untuk dibersihkan sendiri, rumah Aldian termasuk luas jika dibersihkan seorang diri. Haliza yakin, Aldian pasti sesekali menyuruh orang lain membersihkan rumah ini.
"Kenapa, apakah kamu heran dengan keadaan rumah ini?" tegur Aldian dari belakang Haliza. Sontak Haliza tersentak dan refleks membalikkan badan disertai tangan yang meraba dada.
"Kenapa kamu mengejutkan aku, Mas? Gimana kalau aku jantungan? Jadi duda dihari pertama, baru tahu rasa." Haliza bukan menjawab, ia justru terkejut dengan pertanyaan Aldian yang tiba-tiba dari belakangnya.
Aldian bukannya menyesal, dia justru tertawa karena merasa lucu dengan ucapan Haliza. Jadi duda dihari pertama? Aldian tertawa geli.
"Jadi, kalau aku jadi duda dihari pertama, kamu bakal senang, nih, ceritanya?" tuding Aldian membuat Haliza terbelalak. Haliza jadi mati kutu, dia merasa terjebak dengan umpatannya sendiri. Kalau Aldian jadi duda dihari pertama, itu artinya ia ibaratnya kena serangan jantung lalu mati. Haliza bergidik ngeri dan mengucap amit-amit dalam hati. Meskipun ia tidak menyukai pernikahan ini, tapi dia tidak berharap mati lebih cepat karena jantungan dikagetkan Aldian.
Aldian lalu meninggalkan Haliza yang masih berdiri terpaku karena kaget. Aldian memasuki sebuah ruangan yang diduga kamar miliknya. Haliza tidak bermaksud mengikutinya. Dia bertekad, pokoknya dia harus tidur terpisah dari Aldian. Karena bagaimanapun dia belum siap dijamah oleh Aldian, meskipun Aldian sudah menjadi suami sahnya.
"Kenapa masih berdiri di sana, apakah kamu tidak akan menyimpan kopermu itu?" tegur Aldian menyembul dari balik pintu kamarnya.
Haliza menoleh, dia menggeleng. "Masih ada satu kamar lagi di sana, kan? Aku tidur di kamar itu saja, Mas," kata Haliza sambil menunjuk kamar satunya lagi.
Aldian mendelik lalu menatap tajam ke arah Haliza. Dia keluar dari kamarnya dengan dada sudah telanjang. Haliza sesekali menatap tubuh sixpack Aldian yang tertata rapi bagai roti sobek seperti yang digambarkan di dalam sebuah buku cerita. Sepertinya Aldian memang rajin olah raga dan menjaga betul kebugaran tubuhnya.
"Apa kamu bilang, kamu mau memperagakan kisah-kisah novel, menikah karena dijodohkan lalu tidur pisah kamar, dan bertahun-tahun tidak digauli oleh suaminya, sekali digauli langsung hamil lalu kabur, begitu?" tandas Aldian seraya meraih lengan Haliza lalu menariknya menuju kamar.
"Memangnya aku patung atau kapas yang tidak punya perasaan. Meskipun pernikahan kita adalah sebuah paksaan, tapi aku masih normal, aku juga sama seperti kucing yang lapar. Kalau sudah ada lauk dihidangkan, kenapa juga harus dibiarkan? Betapa bodohnya jadi lelaki bila seperti itu," lanjutnya sembari mendudukkan tubuh Haliza di sofa dalam kamar itu.
Aldian berlalu menuju lemari, meraih handuk bersih, lalu menuju kamar mandi tanpa menoleh lagi Haliza.
Haliza menatap takut kepergian Aldian menuju kamar mandi, sembari memegangi lengannya yang merah akibat dicekal tangan Aldian begitu kuat.
Ternyata jauh dari bayangannya. Pria yang dikatakan lembut, ramah, baik, oleh mama dan papanya juga Hanin, kakaknya itu, sama sekali tidak seperti apa yang mereka ceritakan.
Aldian menurut Haliza sangat kasar dan cenderung psikopat. Bagaimana bisa ia menjalani hidup dengan pria kasar dan psikopat seperti itu? Yang ada nyawanya bisa-bisa terancam setiap saat. Terlebih jika ia tetap membantah apa yang dikatakan Aldian, bisa-bisa sangkur tentara milik pria itu melayang mengenai lehernya.
Haliza bergidik ngeri saat membayangkan betapa kasarnya Aldian. Terlebih Aldian seorang tentara, pastinya selama pendidikan Akmil, Aldian sudah ditempa dengan keras. Bisa jadi didikan saat pendidikan Akmil, dia terapkan di lingkungan rumah. Lagi-lagi Haliza bergidik ngeri saat membayangkannya.
"Ngapain kamu bergidik seperti itu, apa yang sedang kamu pikirkan?" Lagi-lagi Haliza terperanjat dengan keberadaan Aldian yang sudah keluar dari kamar mandi. Wajah Haliza pias, tubuhnya juga terasa lemas.
"Buruan ke kamar mandi. Guyur tubuhmu yang lengket itu. Setelah maghrib, kita cari makan di luar," ujar Aldian seraya berlalu dari hadapan Haliza yang masih terkesima.
Haliza berdiri, dia tidak membantah dan segera menuju kamar mandi. Di dalam kamar mandi dia termenung lama. Haliza membayangkan berapa lama ia akan bisa bertahan dengan lelaki modelan psikopat seperti Aldian.
Haliza menjadi sedih apabila ia ingat akan nasib cintanya. Setelah diputuskan Ardian tanpa sebab, ia tiba-tiba dijodohkan dengan seorang abdi negara yang sama sekali tidak ia sukai. Abdi negara yang menurutnya kasar dan cenderung psikopat.
Haliza bagaikan terlepas dari mulut buaya, masuk ke dalam sarang singa yang lapar. Betapa getirnya nasib hidup Haliza saat ini.
"Liza, kenapa cipratan airnya belum terdengar, kamu belum mandi? Cepatlah mandi, ini hampir sore, kamu belum sholat Ashar juga, kan? Ayolah, jadi istri jangan lelet," teriak Aldian mengejutkan Haliza yang sejak tadi termenung. Haliza segera mengguyur tubuhnya yang lengket dengan air shower yang hangat. Untung saja shower itu hangat, sebab kalau tidak, ia bisa saja membeku kayak kutub utara, sebab udara kota Lembang ternyata lumayan dingin.
Haliza sudah siap dengan jaket dan rok semata kakinya. Sesuai ajakan Aldian tadi, setelah Maghrib ini ia akan mengajaknya makan di luar. Sejenak Aldian menatap Haliza untuk memastikan dandanan Haliza tidak menor.
"Bagus sih, anggun dan sederhana. Coba kalau sikapnya bisa lebih lembut, pasti dia akan bertambah sweet," bisik Aldian di dalam hati.
Aldian dan Haliza kini sudah berada di dalam mobil. Tidak ada yang berkata sepatah katapun di dalam, lagipula Haliza malas bicara dengan Aldian. Kebekuan mereka berakhir ketika mobil Aldian hampir tiba di sebuah toko serba ada.
"Berhenti, Mas. Berhenti dulu di samping toko itu. Aku mau beli pembalut," ujar Haliza menghentikan laju mobil yang dijalankan Aldian.
"Beli apa, pembalut? Belum apa-apa sudah datang bulan." Aldian terdengar merutuk saat Haliza menuruni mobil. Haliza tertawa dalam hati, kali ini dia berhasil membuat Aldian kecewa.
"Sekalian saja aku kerjain," batin Haliza berencana.