Karin, Sabrina, dan Widuri. Tiga perempuan yang berusaha mencari kebahagiaan dalam kisah percintaannya.
Dan tak disangka kisah mereka saling berkaitan dan bersenggolan. Membuat hubungan yang baik menjadi buruk, dan yang buruk menjadi baik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elfira Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Goyah
"Haha ... tak sudi kamu bilang?" Ibu Fatma tertawa dengan kesal, dia tak menyangka Sabrina akan berkata seperti itu. Selama ini Sabrina tak pernah berani melawan ucapanmu.
"Kamu sekarang sudah berani ya melawan, dan membalas ucapan saya? Sudah merasa sukses kamu?! Kamu tuh harus ingat kalau bukan karena keluarga saya, ibu kamu sudah mati sejak 10 tahun yang lalu! Dan kamu juga enggak akan bisa bekerja di perusahaan ini, dan menjabat sebagai manager kalau kamu tak memakai koneksinya Wijaya!" Ibu Fatma begitu naik pitam, dan membahas jasa-jasanya terhadap Sabrina.
Sabrina hanya bisa menghela nafas, dan mencoba sabar, walaupun dalam hatinya dia begitu sakit hati. "Mah, kalau sudah enggak ada yang mau dibicarakan lagi, aku pamit dulu ya. Sudah waktunya aku bekerja." Sabrina hendak menyalimi Ibu Fatma, tapi Ibu Fatma menepisnya.
"Dasar menantu tak tahu aturan! Saya menyesal dulu sudah mengijinkan Wijaya menikahi kamu!" Mertuanya kembali menghujani dengan kata-kata menyakitkan. "Pokoknya mau kamu setuju atau tidak, Wijaya akan tetap menikah lagi!"
Sabrina memilih diam, dan tak membalas ucapan Ibu Fatma. Karena menurutnya meladeni orang seperti Ibu Fatma takkan ada habisnya, dan hanya akan membuang waktunya dengan sia-sia.
Tanpa bicara apapun Sabrina membuka pintu mobil, dan keluar begitu saja. Dia tak mempedulikan lagi, dan memilih pura-pura tak mendengar umpatan yang terus keluar dari mulut mertuanya.
Sabrina berpura-pura kuat di depan mertuanya, tapi begitu tubuhnya menjauh dari mobil mewah itu, pertahanannya mulai terasa runtuh. Tubuhnya seketika lemas tak bertenaga, dan hatinya terasa seperti sudah disayat-sayat. Sakit sekali hingga akhirnya perempuan berambut pendek itu menangis di sudut gedung yang sepi.
Sepuluh tahun sudah pernikahannya dengan Pak Wijaya, dan Sabrina merasa sekarang dirinya benar-benar berada dalam titik terendah dalam hubungan pernikahannya. Dia mulai kembali menyesali keputusannya yang sudah meninggalkan Tara demi menikah dengan Pak Wijaya. Namun, tak bisa dipungkiri saat itu dia juga terpaksa melakukannnya karena keadaan.
Air matanya terus membasahi pipi, pikirannya terus mengingat sosok Tara yang belakangan ini kembali dia temui. "Jika saat itu aku menikah dengan Tara, mungkin hidup aku takkan sesakit ini ... mungkinkah ini balasan untukku karena aku sudah menyakiti Tara?" isak Sabrina.
Di saat Sabrina sedang menangisi keadaannya, tak sengaja matanya melihat keluar gedung, dan tertangkap lah sosok Tara, dan Karin. Kedua pasangan itu sedang melempar senyum, dan Tara tampak mengelus pucuk kepala Karin dengan penuh perhatian. Keduanya tampak bahagia, dan hal itu sontak mengingatkan Sabrina ke masa 10 tahun yang lalu, saat dia masih menjadi kekasih Tara.
"Harusnya aku lah yang sekarang ada di hadapan Tara, bukan kamu, Karin!" ucap Sabrina, mengepalkan tangan dengan penuh rasa cemburu.
.....
Waktu kerja telah usai, dan Sabrina gegas membereskan mejanya. Dia berjalan melewati Karin yang masih sibuk dengan pekerjaannya. Dengan sengaja dia memberikan pekerjaan tambahan kepada Karin. Itu sebagai pembalasan rasa cemburunya terhadap hubungan Karin dengan Tara.
Sabrina berjalan dengan tatapan dingin, tak ada senyum terpancar menyapa orang-orang yang dia temui. Dia benar-benar sedang tak mood untuk menjadi orang ramah saat ini.
Namun, saat dia keluar dari lift, dia mulai merasa ada yang tidak beres dengan tubuhnya. Tetiba saja pandangannya menjadi berkunang-kunang, dan kepalanya terasa sangat pusing, hingga langkahnya mulai terlihat gontai.
"Ah, sepertinya aku sakit karena aku melewatkan makan siang," ucapnya memegangi perut yang juga terasa mual.
Karena pertemuannya dengan Ibu Fatma, membuat moodnya hancur dan dia tak punya semangat untuk sekedar makan di jam istirahat.
Karina mempercepat langkahnya saat keluar dari gedung. Nafasnya sudah sangat terasa sesak, dan pandangannya semakin berkelap kelip. Namun, dia berusaha kuat karena mobilnya sudah di depan mata.
Dengan tangan gemetar dia mengeluarkan kunci mobil, dan membuka kuncinya. Namun, saat hendak menggapai pintu mobil tubuhnya limbung begitu saja.
Hap!
Pandangannya mendadak gelap, dan tubuhnya terasa lemas. Namun, Sabrina merasa ada sebuah tangan yang menahannya. "Siapa?" batin Sabrina lemah.
"Sabrina!"
Suara yang tak asing baginya terdengar. Membuat Sabrina membuka matanya secara perlahan.
"Tara!" batin Sabrina. Terlihat Tara menatapnya dengan wajah khawatir.
"Tara ... apa dia mencemaskanku?" batin Sabrina lagi.
Sabrina hanya diam, dia merasa terlalu lemah untuk sekedar bersuara. Dan dengan cepat Tara menggendong Sabrina masuk ke mobil, dan membaringkan tubuh itu di samping kursi kemudi.
"Sabrina, sadarlah Sabrina!" Tara menepuk pipi Sabrina dengan pelan, dan Sabrina mengangguk dengan lemah sembari mengedipkan matanya.
Tara menyodorkan sebuah minuman miliknya ke arah Sabrina. "Ini kamu minum dulu, biar ada tenaga."
Sabrina meminum minuman manis pemberian Tara, dan dia merasa keadannya sedikit membaik.
"Ayo habiskan pelan-pelan," ucap Tara penuh perhatian.
Sabrina menghabiskan minuman itu, lalu menatap Tara sambil mengucapkan terima kasih. "Makasih ya Tara, kamu udah mau nolong aku, dan maaf aku udah buat kamu cemas."
Tara menatap Sabrina, lalu tatapan cemasnya berangsur berubah menjadi tatapan dingin. "Tak usah berterima kasih segala. Dan kamu harus tahu, aku tuh enggak mencemaskan kamu. Aku hanya kebetulan lewat di saat kamu pingsan, dan aku enggak mungkin membiarkan kamu jatuh ke aspal."
Sabrina merasa kecewa mendengar ucapan Tara. Dia mengangguk lalu menundukkan wajahnya. Namun, tiba-tiba Tara memakai seatbelt, dan berucap. "Pakai seatbeltnya, aku akan mengantar kamu pulang."
Sabrina menggeleng. "Enggak usah aku bisa pulang sendiri, lagian kamu kesini untuk menjemput Karin kan?"
Tara berdecak, lalu memakaikan seatbelt di tubuh Sabrina dengan mendadak, membuat Sabrina terhenyak dan merasa berdebar.
"Eh! Kamu--"
"Jangan protes! Keadaan kamu sedang enggak baik, kalau kamu memaksakan diri mengendara itu hanya akan membahayakan orang lain!" ucap Tara lalu menyalakan mesin mobil.
"Lalu bagaimana dengan Karin? Dia pasti nungguin kamu!" Sabrina pura-pura menolak, padahal dalam hati dia merasa senang.
"Aku akan meneleponnya dan menyuruh pulang sendiri. Dan aku minta kamu jangan beritahu soal ini sama Karin, dan juga tentang masa lalu kita," pinta Tara sambil mulai mengemudikan mobil.
Sabrina mengangguk. Sepanjang jalan dia tak henti mengamati Tara, dan melihat semua perilaku Tara, Sabrina jadi ragu kalau Tara benar-benar menyukai Karin.
"Kamu benar-benar punya hati sama Karin?" Sabrina bertanya dengan berani, dan Tara langsung menoleh.
"Kenapa kamu tanya soal itu?"
"Aku hanya ingin tahu aja. Aku hanya merasa enggak yakin sama perasaanmu terhadap Karin. Apalagi waktu itu kita sudah berciuman, dan kamu juga datang ke apartemen."
"Kamu bahkan sampai bela-belain sewa orang buat melacak aku. Aku jadi merasa kalau aku ini maish sangat penting buat kamu," ucap Sabrina dengan percaya diri.
Tara terdiam, kemudian sedetik kemudian tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Sabrina. "Haha ... Haha ...kamu ini sungguh luar biasa Sabrina, sungguh percaya diri sekali!"
"Apa maksud kamu?" Sabrina mengerenyitkan keningnya, lalu terlihat Tara menatap Sabrina dengan tatapan yang begitu dingin dan tajam.
"Ciuman itu hanya nafsu semata, dan aku sengaja mengunjungimu, karena aku ingin tahu seberapa hancurnya kamu!" ucap Tara penuh penekanan. "Kamu jangan lupa, kamu adalah orang yang pernah menyakitiku! Jadi jangan harap aku masih menyimpan perasaan sama kamu!"
Setelah berkata begitu Tara pun menepikan mobilnya ke tepi jalan. Membuat Sabrina merasa heran.
"Kenapa berhenti?" tanya Sabrina.
"Sepertinya keadaan kamu sudah sangat membaik, dan kamu bisa menyetir sendiri. Lagipula aku enggak mau kamu makin salah paham."
"Kamu juga harus tahu, kalau sekarang aku sangat mencintai Karin, dan aku akan segera menikahinya!" ucap Tara tegas, dan Sabrina hanya bisa membelalakan mata.
"Apa? Menikah!" batinnya.
"Kenapa di saat aku akan bercerai justru Tara akan menikah? Apa memang kami berdua tak ditakdirkan untuk bersama?" batin Sabrina.
Sabrina menunduk kesal, dan Tara tak mempedulikannya. Tara keluar dari mobil, dan berjalan menjauh dari mobil itu. Namun, setelah cukup jauh langkahnya mulai berhenti secara perlahan.
Dia menyugar wajahnya, dan dengan tangan mengepal dia menggeram keras. "Hah! Kenapa aku selalu goyah seperti ini! Kenapa?"