Tanah yang di jadikannya sandaran. Key Lin hidup di dunia yang bukan miliknya. Keras, dan penuh penindasan. Keadilan bagaimana mungkin ada? Bagi bocah yang mengais makanan dari tempat sampah. Apa yang bisa dia sebut sebagai keadilan di dunia ini?
Dia bukan dari sana. Sebagai seorang anak kecil bermata sipit penjual koran di barat, apakah di akan selamat dari kekejaman dunia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jauhadi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 Key Lin Tumbuh di Bumi Barat
"Key, makanlah selagi panas!" Seorang pemuda dengan tinggi standar, wajah tampan, rambut pirang, dan mata sipit duduk di meja makan. Menyajikan dua piring sup pada adiknya.
"Kenapa menatapku seperti hantu?" Ujar pemuda itu lagi.
"Kau masih tahu pulang? Kupikir kau tidak akan kembali kak. " Balas Key Lin pada orang yang dia panggil kakak itu.
"Aku akan disini terus jika kau mau aku disini."
Balas pemuda itu.
"Ya bukan aku pemilik rumah ini. Kau pemiliknya Alex. Jadi mau kau di sini berapa lama, itu tergantung pada kau akur dengan ayah atau tidak." Balas Key Lin pada Alex kakaknya.
"Ya baiklah."
Kakak beradik itu segera berhenti saling tegur sapa.
Tentu saja memilih untuk melanjutkan pekerjaan masing-masing itu lebih baik dari pada terus mengobrol bagi mereka.
Saat mereka berdua baru aman makan, Frederick ayah mereka baru saja pulang dari bekerja. Melihat makanan sudah tersaji, dan rasa lelah yang membuncah dari tubuhnya membuat nafsu makannya naik.
Pikirannya hanya tertuju pada makanan di depannya. Dia tidak seteliti Key Lin dalam hal mengamati.
"Kau sudah pulang pak tua." Alex muncul dari balik pintu kamar mandi.
Saat melihat putra sulungnya, Frederick tidak memperdulikan sama sekali. Dia tahu betul jika putranya yang satu itu tidak akan pulang tanpa tujuan, dan persiapan.
Melihat makanan enak di meja, mood Frederick menjadi naik. Sangat jarang menemukan meja dengan isi yang lengkap seperti itu. Tentu saja Frederick yang selalu mengeluh soal makanan tidak akan menyia-nyiakan kesempatan emas untuk makan enak.
Alex tahu betul kelakuan ayahnya. Meski tampak tidak peduli. Frederick ayah yang melakukan tanggung jawabnya di belakang. Selalu tampak buruk di hadapan putranya. Dia tidak kasar, tapi makiannya jelas akan sangat menyakitkan. Dia tak segan membunuh orang yang melukai putranya jika perlu. Namun sayangnya rasa cintanya tertutup oleh noda besar, yang entah kapan akan hilang.
Alex mengerti itu dengan pasti. Seorang ayah tidak akan menjauhi anaknya tanpa sebab. Beruntung Frederick tidak membuang Key saat kecil, dan masih mengizinkan neneknya Key kecil merawat anak itu.
Jika bukan, karena kecerobohan Frederick, itulah yang dia pikirkan selama ini.
Tiap kali mengingat masa lalu kelam kelahiran Key Lin, Frederick selalu merasa sesak. Dia merasa tak berguna sebagi laki-laki. Tapi dia juga membenci istrinya, karena tidak mau aborsi. Key Lin adalah anak haram hasil pemerkosaan. Dia sama sekali bukan darah daging Frederick. Meski begitu, Key Lin adalah anak dari mendiang istrinya, sehingga Frederick membiarkan anak itu hidup. Terutama setiap melihat bola mata Key Lin yang mirip dengan Donkey si preman, Frederick terkadang emosi.
Frederick meletakkan sendok miliknya, dia sudah selesai makan, dia pergi cuci tangan, dan mandi. Setelahnya dia akan tidur, tapi di saat itulah, Alex menahan pintu kamar Frederick.
"Kau serius tidak menyambut aku di rumahku?" Alex menahan pintu sambil tersenyum. Senyum sarkasme yang sangat jelas terpampang.
"Apa maumu?" Frederick tak mau ambil pusing. Hari itu dia lelah, dan tak ingin berdebat dengan putranya yang sangat jarang pulang itu.
"Ijinkan adikku sekolah, jangan biarkan dia bekerja sendiri." Alex melepaskan pintu yang dia tahan.
Frederick mendengus kesal saat melihat Alex. Dia pura-pura tidak dengar terhadap hal yang di sampaikan oleh Alex.
Alex kembali menahan pintu lagi. Dia benar-benar ingin membuat ayahnya marah mungkin?
"Diam sialan, jangan ganggu aku. Aku lelah, dan ingin tidur. Dia bukan anak kandungku, kalau kau mau, kau saja yang urus dia, kau sudah besar, dan bisa cari uang sendiri." Frederick berkata dengan lancar hal yang dia dia ingin katakan.
"Memangnya kenapa kalau kau pemilik rumah ini? Aku masih wali anak itu. Kau tidak bisa berbuat apapun sampai dia dewasa."
Setelah mengatakan soal rumah. Frederick pergi tidur.