Alinea Prasasti, seorang gadis berusia 25 tahun yang mengidap gangguan skizoafektif akibat trauma di masa lalu, berjuang untuk menemukan jalan hidupnya. Di usianya yang tidak lagi muda, ia merasa terjebak dalam ketidaktahuan dan kecemasan, tetapi berkat dukungan sepupunya, Margin, Aline mulai membuka diri untuk mengejar mimpinya yang sebelumnya tertunda—berkarier di bidang mode. Setelah bertemu dengan Dr. Gita, seorang psikiater yang juga merupakan mantan desainer ternama, Aline memulai perjalanan untuk penyembuhan mentalnya. Memasuki dunia kampus yang penuh tantangan, Aline menghadapi konflik batin, dan trauma di masa lalu. Tapi, berkat keberanian dan penemuan jati diri, ia akhirnya belajar untuk menerima semua luka di masa lalu dan menghadapi masa depannya. Namun, dalam perjuangannya melawan semua itu, Aline harus kembali menghadapi kenyataan pahit, yang membawanya pada pengakuan dan pemahaman baru tentang cinta, keluarga, dan kehidupan.
"Alinea tidak akan sempurna tanpa Aksara..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AMDee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Kondisi Aline masih belum stabil.
Rumah sakit terdekat yang didatangi Dokter Gita tidak mampu menangani kondisi Aline. Mereka mengaku takut dimintai pertanggungjawaban jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada Aline. Akhirnya malam itu juga, Aline dipindahkan ke rumah sakit swasta Adiwira di Jakarta Selatan.
Hanya beberapa kilometer dari asrama Dokter Gita. Setelah menempuh waktu tempuh sekitar satu jam dua puluh menit, mobil ambulans yang mereka tumpangi pun tiba di pintu UGD. Dua orang tenaga medis langsung berlari keluar dan membawa Aline ke sebuah ruangan tertutup. Dokter Gita tampak gelisah, ia berdiri seperti mesin setrika—bolak-balik di depan pintu UGD sambil menggigit kuku-kukunya—tidak sabar menunggu dokter yang menangani Aline itu keluar dari ruangannya.
Dokter Gita sudah tidak peduli lagi dengan tatapan orang lain yang sejak tadi memperhatikan sandal kelinci berbulunya, juga piama tidurnya yang bermotif beruang dan rambut pendeknya yang kusut berantakan. Sisa-sisa darah Aline juga masih menempel di wajah dan sebagian kerah bajunya.
"Bagaimana keadaannya, Dok?" tanya Dokter Gita dengan suara gemetar. Matanya fokus menatap Dokter laki-laki yang kelihatannya masih muda itu.
Dokter laki-laki yang baru saja keluar dari ruangan Aline menggeleng lemah. "Pasien masih tidak mau merespon. Kesadarannya terus menurun. Dalam situasi ini, saya hanya bisa mengatakan bahwa Aline mungkin mengalami circling the drain." kata dokter tersebut sambil menundukkan kepalanya.
Mata Dokter Gita terbelalak, ia menggigit bibir bagian dalamnya. Apa yang dikhawatirkan Dokter Gita benar-benar terjadi. Secara tidak langsung, Dokter itu baru saja mengatakan bahwa Aline sudah di ambang kematian.
Dokter laki-laki yang sudah lama bertugas di UGD itu kemudian menjelaskan bahwa Aline sempat mengonsumsi sesuatu bersamaan dengan obat antidepresannya. Kandungan obat itu sangat berbahaya sekali dan bisa mematikan kondisi otaknya. Dokter Gita pun kemudian memohon kepada dokter itu untuk tetap menangani kondisi Aline, dan memberikan perawatan terbaik untuknya.
"Tentu saja, Bu. Saya dan pihak rumah sakit ini akan berusaha semaksimal mungkin. Dan, tolong, ibu juga bantu kami dengan doa, karena bagaimanapun, mukjizat dan kesembuhan itu datangnya dari Tuhan."
"Ya, saya akan terus berdoa untuk Aline." Dokter Gita menundukkan kepalanya. Napasnya terdengar kasar.
Dokter muda tersebut kemudian meminta izin kepada Dokter Gita untuk memberikan penanganan umum kepada Aline, yakni dengan melakukan pompa lambung untuk mengeluarkan zat-zat dari lambung, dan memberikan arang aktif yang dapat menyerap obat-obatan yang sudah ada di saluran pencernaan Aline.
Dokter Gita menyetujui apa pun yang terbaik bagi Aline. Setelah dua jam kemudian, kondisi Aline sudah mulai stabil. Hanya saja, gadis itu masih belum sadarkan diri.
Dokter Gita masih belum bisa bernapas lega. Setelah melakukan penanganan pertama, kesadaran Aline ternyata mulai menurun. Beberapa perawat berseragam hijau botol itu kembali berlarian ke ruangan Aline dan melakukan pemindaian kesehatan dengan peralatan medis. Ketika tubuh Aline kembali stabil, mereka lalu memindahkan Aline ke ruang perawatan intensif.
Tangan Aline dipasangi infus dan oksigen di mulutnya. Dokter juga memasang monitor detak jantung dan kateter urin. Dokter Gita berjaga-jaga di luar ruangan Aline semalaman. Ia sempat berpikir untuk memberi tahu Margin tentang kejadian ini. Pikirannya tidak akan tenang jika ia berusaha menyembunyikan masalah sebesar ini dari Margin.
Bagaimanapun, Margin adalah walinya Aline, ia adalah keluarga sahnya. Meskipun Margin saat ini mungkin sedang sibuk mempersiapkan Gala fashion show-nya di New York, gadis itu tetap harus mengetahui kondisi Aline saat ini.
Tekad Dokter Gita sudah bulat. Tidak peduli apa pun yang akan terjadi—apakah Margin akan marah padanya atau tidak, apakah Margin akan merasa kecewa atau tidak, Dokter Gita akan tetap memberi tahukan kabar ini padanya, apa pun risikonya.
Dokter Gita melangkah cepat menuju ruang penerima tamu. Di koridor rumah sakit, masih banyak orang berlalu-lalang, beberapa keluarga pasien tertidur di kursi tunggu dan menggelar tikar di depan ruang perawatan. Para petugas berseragam putih—juga tampak sibuk mondar-mandir membawa tabung oksigen dan brankar dari pasien-pasien lain yang akan segera dioperasi maupun memindahkan mereka ke ruang perawatan inap.
Para perawat wanita dan perawat pria yang bertugas malam itu masih keluar masuk kamar pasien untuk melakukan tugasnya mengganti infus, menyuntikkan obat, dan mengecek suhu tubuh dan tekanan darah pasien. Kegiatan ini rutin mereka lakukan menjelang pukul sebelas malam sebelum pasien benar-benar tertidur pulas.
Dari koridor tempat Aline dirawat, Dokter Gita berjalan lurus dan berbelok ke koridor lain di sebelah kanannya. Ia lalu memasuki lift, dan turun dari lantai tiga menuju ruang administrasi. Dokter Gita sempat berbincang sebentar dengan seorang pria di bagian customer servis. Sambil mengurus administrasi Aline, Dokter Gita meminjam telepon pria itu dan menekan nomor telepon Margin, bermaksud menyampaikan berita duka ini.
Namun, beberapa kali Dokter Gita mencoba menghubunginya, panggilan itu hanya masuk ke kotak suara saja. Margin tidak mengaktifkan ponselnya. Dokter Gita mendesah kecewa, lalu ia menyampaikan pesan suaranya dan menutup telepon dengan kesal.
Lagi-lagi, Dokter Gita berdiri di depan ruangan Aline. Wanita paruh baya itu memperhatikan tubuh Aline yang terbujur lemah. Tangan dan pergelangan kanannya berada di tepi selimut—dibalut dengan perban, yang panjangnya mencapai siku. Sementara tangan kirinya yang terpasang infus berada di atas perut Aline.
Wajah mungil gadis itu tampak damai dalam tidurnya yang lelap. Entah sampai kapan, sang putri yang sedang tertidur itu akan terbangun dari mimpi buruknya.
Dokter Gita mendesah. Rasanya pahit sekali. Ia melemparkan pandangannya ke luar jendela. Yang dilihatnya hanyalah malam yang gelap dan sunyi. Langit hitam sehabis hujan tampaknya mulai memudar dan digantikan oleh cahaya bulan yang mulai terlihat. Sekarang, awan-awan putih tampak bergerak perlahan membentuk berbagai bentuk yang indah. Seperti pemandangan di film-film. Sayang, Aline yang sangat mengagumi langit malam, sekarang tidak dapat menyaksikan pemandangan yang menarik itu.
Dokter Gita kembali menatap Aline dari balik kaca jendela. Di matanya, Aline sudah seperti anaknya sendiri. Hati Dokter Gita terasa perih melihat kondisi Aline saat ini. Ia tidak habis pikir. Mengapa Aline sampai menyakiti dirinya sendiri seperti itu? Mengapa Aline harus memilih mengakhiri hidupnya daripada membicarakan masalahnya seperti yang selama ini mereka lakukan?
Apakah aku tidak becus mengurus Aline?
Apa yang sebenarnya terjadi pada Aline hingga membuatnya ingin mengakhiri hidupnya?
Aline nyaris kehilangan nyawanya. Tidak—kalau itu sampai terjadi, Dokter Gita pasti akan mengalami masa-masa sulit—ia pasti akan menderita seumur hidupnya.
Dokter Gita terisak. Tangannya menyentuh permukaan kaca di luar ruangan, matanya yang tajam menatap wajah Aline yang tenang. Telapak tangannya bergerak seolah-olah ia berada di samping Aline dan membelai wajahnya.
"Maafkan saya, Aline. Seharusnya saya ada di sana ketika kamu membutuhkan pertolongan. Maaf karena saya terlambat menemukanmu...."