Yessi Tidak menduga ada seseorang yang diam-diam selalu memperhatikannya.
Pria yang datang di tengah malam. Pria yang berhasil membuat Yessi menyukainya dan jatuh cinta begitu dalam.
Tapi, bagaimana jika pacar dari masa lalu sang pria datang membawa gadis kecil hasil hubungan pria tersebut dengan wanita itu di saat Yessi sudah ternodai dan pria tersebut siap bertanggung jawab?
Manakah yang akan di pilih? Yessi atau Putrinya yang menginginkan keluarga utuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Baby Ara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Yessi dan Mentari tiba di apartemen di antar Bima. Sedang Bimo sudah lebih dulu pulang karena ada urusan mendadak. Dibalik kursi kemudi mobil Yessi, turun Bima dengan sigap merangkul Yessi, mengantarnya hingga depan lobby.
"Makasih sekali lagi, Bim."
Bima mengangguk sekilas. "Langsung istirahat, ya. Besok gue jemput. Gue pulang dulu."
Mentari menyenggol lengan Bima. "Perhatian banget sih. Jadian gak ya?" godanya. Menghadirkan senyum kecil Bima.
"Pasti. Tunggu aja," balas Bima menatap dalam Yessi. Yang di tatap, berpura-pura tidak mendengar.
"Bim, lo pulang dengan apa? Pake mobil gue aja. Takutnya lama nunggu taksi kan?"
Bima mengusap kepala Yessi. "Pake taksi aja, pacar. Gue telpon, angkat ya nanti. Jangan lupa minum obat biar cepat sembuh."
Tadi, Yessi berbohong. Berkata perutnya yang sakit. Sangat tidak mungkin Yessi mengatakan payudara kan?
Di balik pilar tepat di sudut gedung. Pria berjaket hitam mengasah pisau lipatnya. Matanya menyorot begitu tajam tangan Bima yang lancang menyentuh gadisnya.
Ya, dia sudah mengklaim Yessi sebagai miliknya dan tidak boleh ternodai sentuhan pria manapun.
"Patahkan atau potong?" gumamnya menyeringai.
Di otaknya sudah tersusun berbagai rencana sadis. Pastinya akan membuat lutut orang-orang bergetar jika mengetahuinya. Ia pun memutuskan pergi dari sana.
Malam hari.
Yessi memutuskan berendam lumayan lama di bathtub dengan air hangat untuk mengurangi nyeri di dadanya. Yessi juga sesekali mengecek ponselnya. Gadis itu tanpa sadar begitu menunggu panggilan dari Bima.
Yessi cukup heran. Bima tidak pernah ingkar janji. Tapi kali ini, sudah jam sembilan. Laki-laki muda itu belum juga menelponnya seperti janji Bima siang tadi.
"Apa Bima lupa ya? Duh, kok gue jadi ngarap gini sih." Yessi menatap langit-langit. "Apa gue ... tanpa sadar udah suka Bima ya?" gumamnya menerawang.
Lama menyelami perasaan sendiri, Yessi tampa sadar tertidur. Ia tidak tahu seseorang kembali menyelinap di apart-nya. Pria itu masuk dalam kamar mandi. Bibirnya di balik topeng, menyeringai melihat tubuh indah Yessi terbungkus busa sabun.
Saat akan mendekat, ia tidak sengaja melihat pantulan jaketnya berdarah-darah dari kaca wastafel.
Dengan cepat, di bukannya lalu melempar kelantai hingga dada bidang dengan perut penuh otot itu terekspos sempurna.
Ia lalu berjongkok di samping bathtub. Membelai dengan jarinya batang hidung Yessi lalu turun ke bibir lembab gadis itu.
"I miss you, Baby," ucapnya berat lalu melabuhkan ciuman di cuping telinga kiri Yessi dengan sedikit menjilatnya.
Mata elang itu melihat sekitaran dada Yessi yang memerah. Ia tahu, itu hasil perbuatan brutalnya semalam dan ia yakin, Yessi pasti kesakitan.
Timbul secuil penyesalan dihatinya.
"Salah kan dirimu terlalu menggoda, baby."
Yessi melenguh. Entah apa yang terjadi di mimpi gadis remaja itu.
"Shit! jangan goda aku, sayang," ucapnya lalu sedikit mengangkat tubuh Yessi agar ia bisa berada di balik punggung gadis itu.
Ia tahu, Yessi jika tertidur akan sulit untuk bangun. Sebab itu, dia tidak takut aksinya ketahuan.
Tangan kekarnya, melingkari perut ramping Yessi di bawah sana. Kulit halus dan kulit liat itu bergesekan.
Hidung mancungnya hinggap di leher Yessi. Menghirup kuat aroma mawar menguar pekat disana. Seketika nafsu membunuhnya tadi perlahan mereda.
"Ah, aku suka aroma tubuhmu, Yessi ... Mau tahu satu rahasia? Aku mendapat mainan baru," bisiknya tertawa menakutkan di akhir kata.
"Dan itu, serangga yang selalu menempeli mu, baby."
"BIMA!" teriak Yessi tersentak dari tidurnya.
Jantung Yessi berdegup sangat kencang bersamaan air matanya berlomba-lomba akan menetes. Yessi bermimpi sangat mengerikan. Dalam mimpi itu, Yessi melihat Bima di siksa tak manusiawi hingga wajah dan tubuhnya di penuhi lumuran darah.
"Ya Tuhan ... Pertanda apa ini?"
Yessi mengusap wajahnya. Dilihatnya sekeliling, ternyata ia masih berada di kamar mandi. Sontak, Yessi menyelesaikan mandinya cepat-cepat.
Tapi, bau aneh tiba-tiba tercium indra penciuman Yessi yang tengah mengenakan handuk. Yessi mengendus asal bau itu.
"Noda apa ini?"
Yessi berjongkok. Memoles pelan cairan kental dilantai dengan jarinya. Mata Yessi membulat sempurna saat tercium bau anyir.
"DARAH!" pekik Yessi beringsut menjauh ketakutan.
"Disini gue sendiri. Terus itu darah siapa?"
Yessi memperhatikan sekelilingnya lagi. Karena mimpi aneh dan menemukan hal mengerikan seperti ini.
Yessi gegas keluar lalu menutup keras pintu kamar mandi dan memakai pakaian sudah di siapkannya secepat kilat.
Saat akan menelpon Bima. Yessi baru ingat ponselnya masih di kamar mandi.
"Sial! ... Gimana ini? Mana gue takut lagi mau kesana!"
Yessi mengacak kasar rambutnya masih meneteskan sisa-sisa air dari ujung rambut.
Tiba-tiba, bel apartemennya berbunyi membuat Yessi yang amat terkejut melompat ke atas ranjang.
"Brengsek! Ngagetin banget sih!" umpat kasar gadis itu. Tak urung, Yessi melangkah kelantai satu dengan kaki menghentak kesal.
Yessi membuka kasar pintunya. Seketika ekspresi kesal Yessi berubah jadi senyum kaku. Begitu terkejut akan sosok tinggi memakai kaos abu-abu oversize dengan bawahan celana jogger hitam.
"Eh ... Mas Regan. Ada apa, mas?"
"Undangan."
Yessi mengerutkan dahinya. "Untuk saya?" tunjuknya pada diri sendiri.
Tatap mata Regan semakin datar membuat Yessi menerimanya dengan cengar-cengir.
"Makasih, mas. Tapi ... Undangan dalam rangka apa ya?"
"Bisa bacakan?"
Yessi berubah cemberut. 'Nanya doang, ya elah. Galak amat,' batin Yessi.
Tak urung, ia membaca isi undangan tersebut. Ternyata, perayaan ulang tahu gedung apartemen tempatnya berada ini, besok malam dan akan di adakan di hotel mewah berbintang.
"Ya. Sekali lagi terimakasih," ketus Yessi diangguki Regan.
Pria dingin itupun berbalik untuk pergi dengan kedua tangan masuk ke saku celana. Tapi, Yessi teringat sesuatu. Reflek, Yessi menarik ujung baju belakang Regan.
"Eh, Mas. Tunggu dulu."
Regan berbalik, alisnya naik sebelah pada Yessi. Seakan bertanya 'ada apa?'
"Heheee ... Itu ...."
Mendengar penjelasan Yessi, tanpa menjawab setuju, Regan masuk ke dalam apartemen Yessi setelah gadis itu menyingkir dari depan pintu. Yessi dengan langkah pelan mengekori Regan di belakang.
"Kamarmu?" tanya Regan tanpa berbalik.
"Lantai atas, mas. Sebelah kanan!" seru Yessi dari balik punggung Regan. Suara cempreng itu membuat Regan menatapnya.
"Jangan berteriak. Saya gak budek. Suara kamu menyakiti gendang telinga," ucap Regan datar.
Yessi mengumpat dalam hati. Regan ini menurutnya terlalu kaku. Mengatakan apapun selalu tanpa ekspresi, terkesan bagi Yessi sangat menyeramkan.
"Maaf, mas."
Regan melanjutkan langkahnya. Tiba di pintu kamar Yessi. Ia langsung masuk ke kamar mandi setelah itu memberikan benda yang Yessi perlukan itu.
"Makasih, mas," ucap Yessi setelah menerima ponselnya.
Ya, Yessi meminta Regan mengambilnya. Sebenarnya, Yessi sangat tidak nyaman, apalagi Regan kini melihat isi dalam kamarnya super duper berantakan. Buku novel disana-sini, seragam dan kaos kaki dipakai Yessi tadi berada di atas tempat tidur menunjukan betapa jorok dirinya.
'Ampun! Sumpah malu banget gue!'
"Darah yang kamu bilang sudah saya basuh."
Benar, Yessi menceritakan sebab ketakutannya pada Regan. Bersyukur, pria dingin di depannya ini, mau di mintai tolong.
"Iya, mas."
Regan melangkah akan pergi, tapi telapak kakinya menginjak sesuatu yang empuk di lantai. Yessi melihat Regan berjongkok, mengikuti arah pandang pria itu.
Wajah Yessi merona bagai tomat busuk. Ditangan Regan, ada penyangga kedua buah dadanya berwarna pink dengan renda menjuntai.
Regan berbalik memberikan itu kepada Yessi dengan wajah tak terbaca.
"Harta karun mu. Simpan baik-baik," cetus Regan lalu benar-benar pergi tanpa menoleh.
Yessi ambruk di lantai. Bibirnya menjorok kebawah. Ia menangis dengan kencang.
"Gue malu banget ya, Tuhan! Hiks ... Hiks ...." Yessi sesenggukan.
Sepuluh menit kemudian, puas menangis karena malu. Yessi teringat akan Bima. Laki-laki itu belum juga menghubunginya. Yessi mengutak-atik ponselnya untuk menghubungi Bima.
Dua kali panggilan dari Yessi, semuanya tidak tersambung.
"Tumben Bima gak aktif? Dia kemana?" heran Yessi.
Ia lalu memutuskan menghubungi Mentari untuk menemaninya tidur. Tapi, sama saja. Nomor sahabatnya itu tidak aktif.
"Anjir, pada kemana sih orang-orang?" gerutu Yessi. "Gue ke apart Mentari aja deh."
Yessi berjalan keluar. Tapi, saat melewati kaca meja rias. Langkahnya total berhenti. Yessi mundur kembali untuk berkaca. Setelah itu ia berteriak bagai kesetanan.
"Yessi bego! Gaun tidur loh tembus pandang, sialan!"
Yessi mengetuk sisi kepalanya. Kenapa ia bisa lupa, jika setiap malam selalu mengenakan gaun tidur lebih mirip pakaian dinas untuk menggoda para suami itu.
Lebih gila lagi, Yessi tidak mengenakan Bh karena dadanya masih sakit.
Apa di pikiran Regan melihat penampilannya tadi?
"Huaaa!!!" tangis Yessi pecah lebih keras.
***
"Kenapa dengan wajah kamu?"
Yessi baru keluar dari apart. Dikejutkan kehadiran Sean di pintu sampingnya. Sean pasti bertanya begitu, karena wajah Yessi sembab, mata merah dengan hidung berair.
"Kelilipan, mas," sahut Yessi berusaha terlihat baik-baik saja. Meski moodnya benar-benar hancur sudah. Jaket tebal membungkus tubuh kecil Yessi. Ia tidak mau, kejadian serupa terulang kembali.
"Oh ... Saya masuk dulu."
Yessi mengangguk pada Sean. Setelahnya, dahi Yessi mengkerut sempurna. Dari lengan jaket hitam Sean, menitik suatu cairan. Sean belum masuk, menyadari apa yang di lihat Yessi. Segera, Sean menghapus cairan di lantai dengan telapak sepatu kulitnya.
( Sean Dewangga)