NovelToon NovelToon
Sebatas Istri Bayangan

Sebatas Istri Bayangan

Status: tamat
Genre:Tamat / Mengubah Takdir / Keluarga / Suami Tak Berguna / Penyesalan Suami / Ibu Mertua Kejam
Popularitas:11.6k
Nilai: 5
Nama Author: rose.rossie

Kirana, seorang wanita lembut dan penyabar, merelakan hidupnya untuk menjadi istri dari Dion, pria pilihannya. Namun, kebahagiaan yang diharapkan tak kunjung datang. Sejak awal pernikahan, Kirana dibayangi oleh sosok mertuanya, seorang wanita yang keras kepala dan suka mengontrol. Mertuanya tak pernah menganggap Kirana sebagai bagian dari keluarga, selalu merendahkan dan mencampuri setiap keputusan Kirana.

Kirana merasa seperti boneka yang diatur oleh mertuanya. Setiap pendapatnya diabaikan, keputusannya selalu ditolak, dan kehidupannya diatur sesuai keinginan sang mertua. Dion suaminya, tak pernah membela Kirana. Ia terlalu takut pada ibunya dan selalu menuruti segala permintaan sang ibu. Ditengah konflik batinnya, akankah Kirana kuat mengarungi bahtera rumah tangganya? Atau akhirnya ia menyerah dan memilih berpisah dengan suaminya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rose.rossie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4

Pagi itu, setelah semalaman tidak berbicara dengan Dion, aku mencoba untuk mengalihkan perhatianku. Mungkin, pikirku, dengan melakukan hal-hal kecil untuk diriku sendiri, aku bisa meredam perasaan kecewa yang mengganjal di hati. Maka, pagi-pagi sekali aku bangun, menuju dapur, dan mulai memasak. Memasak selalu memberiku rasa tenang.

Aku memutuskan untuk membuat nasi uduk lengkap dengan lauk pauk yang kusuka. Kupikir, ini bisa jadi kesempatan untuk mengisi hari dengan sesuatu yang positif, sekaligus menunjukkan pada Dion bahwa aku masih berusaha menjadi istri yang baik, meskipun hatiku masih terluka oleh percakapan malam sebelumnya.

Sekitar pukul sepuluh pagi, makanan sudah siap di atas meja. Nasi uduk dengan tempe orek, ayam goreng, telur balado, dan sambal kacang. Semua tersaji rapi dan hangat. Aku membayangkan makan siang bersama Dion, mencoba melupakan sedikit perdebatan yang tadi malam.

Saat aku sedang mengatur meja makan, tiba-tiba pintu depan rumah terbuka tanpa ada ketukan lebih dulu. Aku langsung menoleh, dan seperti yang sudah kuduga, mertuaku, Ibu Dion, datang tanpa pemberitahuan.

“Oh, Kirana, kamu di rumah?” sapanya dengan nada ceria yang terlalu akrab bagiku.

“Iya, Bu,” jawabku singkat. Aku berusaha tersenyum meskipun hatiku merasa risih dengan kehadirannya yang tiba-tiba.

Dia masuk ke dapur, langsung memeriksa apa yang ada di meja makan. “Wah, sudah masak? Banyak juga ya makanannya,” komentarnya sambil menatap hidangan yang baru saja kususun rapi.

“Iya, Bu. Saya masak untuk makan siang nanti,” kataku, berusaha tetap tenang. Aku tahu arah percakapannya akan menuju sesuatu yang tidak kuinginkan.

“Oh, kebetulan sekali,” katanya tiba-tiba. “Tadi pagi, si Rani—menantu jauh itu—datang ke rumah. Dia bilang lapar, jadi aku akan bawa makanan ini untuk dia. Kasihan kan, dia habis melahirkan dan butuh nutrisi lebih.”

Aku tertegun, tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. "Bu, ini untuk makan siang saya dan Dion..." suaraku mulai bergetar, tapi aku mencoba menahannya agar tidak terdengar kasar.

"Ah, tak apa, kan?" Ibu Dion menyela tanpa peduli. "Kamu bisa masak lagi nanti. Rani itu perlu makanan lebih banyak daripada kamu, lagipula dia baru saja melahirkan. Kamu mengerti kan, Kirana?"

Aku ingin protes, ingin mengatakan bahwa ini tidak adil. Bahwa aku telah bekerja keras menyiapkan semua ini untuk keluargaku sendiri, bukan untuk orang lain yang tiba-tiba datang tanpa permisi. Tapi, matanya yang menatapku penuh tuntutan membuatku tak mampu mengeluarkan kata-kata. Perasaan terjebak dan tak berdaya mulai merayap di dadaku.

Tanpa menunggu jawabanku, mertuaku mulai mengangkat piring-piring dan memasukkan makanan ke dalam kantong plastik. Aku hanya bisa berdiri di sana, menyaksikan nasi uduk dan lauk yang susah payah kubuat dipindahkan ke dalam kantong dengan tanpa rasa bersalah sedikit pun.

"Terima kasih ya, Kirana. Kamu memang menantu yang pengertian," katanya sambil tersenyum lebar seolah-olah yang dilakukannya adalah hal yang sangat wajar. "Nanti kalau Rani sudah kenyang, aku akan bilang sama Dion, kamu istri yang hebat."

Aku tidak menjawab. Hanya mengangguk pelan, berusaha menahan emosi yang mendidih dalam diriku. Setelah selesai mengumpulkan semua makanan, Ibu Dion beranjak pergi tanpa menoleh lagi, meninggalkan aku berdiri di dapur yang sekarang tampak kosong.

Aku menarik napas panjang, mencoba mengendalikan diri. Tapi perasaan marah, kecewa, dan frustasi bercampur aduk dalam hatiku. Rasanya seperti semua yang kulakukan tidak ada artinya. Bahkan untuk makan siang sederhana pun aku tidak punya kendali.

Aku mengambil gelas berisi air dan meneguknya perlahan, berharap air dingin itu bisa menenangkan pikiranku. Namun, suara pintu depan yang tiba-tiba terbuka membuatku langsung menoleh. Dion pulang lebih awal hari ini, mungkin dia berniat makan siang bersama.

"Hai, Kirana," sapa Dion sambil melemparkan tasnya ke sofa. "Ada makanan? Aku lapar."

Aku menelan ludah, bingung harus menjawab apa. “Tadi ada…” suaraku pelan, hampir tak terdengar. “Tapi ibumu baru saja mengambil semuanya untuk Rani.”

Dion berhenti sejenak, lalu menatapku dengan wajah datar. “Oh, ibu datang tadi?”

“Iya,” jawabku singkat. Aku menatapnya, berharap dia akan menunjukkan sedikit rasa peduli atau setidaknya menyadari ketidakadilan ini.

Dia hanya mengangguk. “Ya sudah, kamu masak lagi aja kalau begitu.”

“Masak lagi?” aku mengulang kata-katanya, tak percaya dengan reaksinya yang begitu santai. “Dion, aku sudah memasak sejak pagi. Semua sudah siap, dan sekarang ibumu datang tanpa permisi dan mengambil semuanya. Bagaimana bisa kamu hanya berkata aku harus masak lagi?”

Dia menatapku dengan sedikit kesal. "Kenapa harus dibesar-besarkan, Kirana? Ibu cuma ambil makanan. Apa masalahnya? Rani butuh lebih dari kita."

Aku merasakan amarah mulai menguasai diriku. “Masalahnya adalah ini bukan pertama kalinya, Dion! Setiap kali aku berusaha membuat sesuatu untuk kita, ibumu datang dan mengambilnya. Aku bahkan tidak pernah diminta pendapat, dan kamu selalu membela dia!”

Dion menatapku dengan mata tajam. “Kirana, itu ibuku. Dia punya hak untuk datang ke rumah kita kapan saja. Dan kalau dia butuh sesuatu, aku akan memberikannya. Kamu yang terlalu sensitif.”

Aku tidak percaya dengan apa yang kudengar. "Aku yang sensitif? Dion, ini bukan tentang makanan! Ini tentang bagaimana aku diperlakukan, bagaimana rumah ini tidak lagi terasa seperti milikku juga. Seolah-olah aku tidak pernah dihargai sebagai istrimu!"

Dion menghela napas panjang, jelas sudah muak dengan percakapan ini. “Kirana, kamu selalu membesar-besarkan hal kecil. Ibu sudah tua, dia butuh bantuan kita. Kalau dia mengambil makanan atau barang, itu bukan masalah besar.”

“Bukan masalah besar?” aku menatapnya tajam. “Dion, setiap kali aku mencoba menjaga rumah ini, membuat sesuatu untuk kita, ibumu selalu datang dan merusaknya. Aku merasa seperti tamu di rumahku sendiri!”

“Kalau kamu tidak suka, mungkin kamu yang harus menyesuaikan diri, Kirana. Keluargaku adalah bagian dari hidup kita. Kalau kamu tidak bisa menerima itu, aku tidak tahu harus berkata apa.”

Hatiku terasa seperti ditusuk-tusuk. Lagi-lagi, Dion memilih keluarganya di atas aku, istrinya. Aku hanya ingin dihargai, diperlakukan dengan adil. Tapi sepertinya, baginya, aku tidak lebih penting dari ibunya.

Aku menghela napas panjang, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk mataku. “Dion, aku ini istrimu. Aku juga punya hak untuk merasa nyaman di rumah kita.”

Dia menatapku lama, lalu dengan nada yang lebih dingin dari sebelumnya, dia berkata, “Kalau kamu tidak bisa mengerti, Kirana, mungkin kita memang tidak cocok.”

Kata-katanya mengiris hatiku seperti pisau tajam. Untuk pertama kalinya, aku merasakan perasaan asing yang mulai tumbuh dalam diriku. Sebuah perasaan bahwa mungkin, aku harus mulai mempertimbangkan hidup tanpa dia.

Dan di saat itulah, aku tahu. Ini bukan hanya tentang makanan atau barang-barang yang diambil ibunya. Ini tentang bagaimana aku diperlakukan. Bagaimana pernikahan ini semakin terasa seperti penjara, dan aku, tanpa sadar, telah menjadi tawanan di dalamnya.

1
Welsa Putri
dtggu lanjutannya
roserossie: Tunggu malam ini ya😘
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!