Seorang laki laki yang bekerja produser musik yang memutuskan untuk berhenti dari dunia musik dan memilih untuk menjalani sisa hidupnya di negara asalnya. dalam perjalanan hidupnya, dia tidak sengaja bertemu dengan seorang perempuan yang merupakan seorang penyanyi. wanita tersebut berjuang untuk menjadi seorang diva namun tanpa skandal apapun. namun dalam perjalanannya dimendapatkan banyak masalah yang mengakibatkan dia harus bekerjasama dengan produser tersebut. diawal pertemuan mereka sesuatu fakta mengejutkan terjadi, serta kesalahpahaman yang terjadi dalam kebersamaan mereka. namun lambat laun, kebersamaan mereka menumbuhkan benih cinta dari dalam hati mereka. saat mereka mulai bersama, satu persatu fakta dari mereka terbongkar. apakah mereka akan bersama atau mereka akan berpisah??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @Hartzelnut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ep. 4
*****
Malam itu terasa sunyi di dalam mobil, meski di luar, kota masih ramai dengan perayaan tahun baru. Natalia duduk diam di kursi baris kedua, wajahnya memandang ke arah jendela. "Srek... srek..." Suara lembut dari wiper yang menghapus embun di kaca mengiringi tatapannya yang kosong, memperhatikan pasangan-pasangan yang berjalan bersama, menikmati suasana malam dengan senyuman bahagia. Kilau lampu jalan memantul di kaca jendela, menciptakan bayangan lembut yang berbaur dengan tatapan hampa Natalia.
Manajer Lu, yang duduk di kursi pengemudi, melirik ke spion tengah. "Apa yang sedang dia pikirkan?" gumamnya dalam hati. Dia menghela napas pelan sebelum memulai percakapan. "Apakah kau memikirkan masalah penawaran Produser Zhang?" tanyanya dengan nada lembut, berharap bisa mengalihkan pikiran Natalia dari suasana berat yang menyelimuti.
Natalia mengalihkan pandangannya perlahan dari jendela, matanya masih dipenuhi bayangan malam. Dia menarik napas dalam, "Sedikit..... Heaven Music... tawaran itu memang yang paling menarik dibandingkan label lainnya," jawabnya, meskipun suaranya terdengar tenang, ada keraguan yang jelas di baliknya. "Label itu sekarang sedang menjadi sorotan karena berhasil melahirkan banyak penyanyi berbakat." Srek... srek... Jari-jarinya secara tidak sadar menyentuh ujung gaunnya, memainkan kain dengan lembut saat dia berbicara.
Manajer Lu mengangguk sambil terus memperhatikan jalan. "Ya, Heaven Music sedang populer sekarang. Banyak artis yang bermimpi untuk bergabung di sana," katanya dengan tenang. Vrooom... Suara mesin mobil yang meluncur pelan di jalan kosong menambah suasana hening yang mengiringi percakapan mereka.
Natalia menghela napas panjang, matanya kembali menatap jalanan yang penuh dengan cahaya. "Akupun juga memikirkan hal tersebut," lanjutnya dengan nada yang lebih rendah, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. "Tapi ada banyak hal yang memberatkanku kalau aku masuk ke sana." Srek... Tangannya bergerak pelan menyusuri kaca, seolah mencoba menyingkirkan bayangan keraguan yang menghantui pikirannya.
Manajer Lu menatap Natalia melalui spion, menunggu Natalia melanjutkan kalimatnya. "apa lagi yang menjadi bebannya?" tanya Manajer Lu hati-hati, takut memancing emosi lebih jauh, namun dengan nada penuh perhatian.
Natalia menggigit bibirnya sejenak sebelum melanjutkan. "Angelina... Dia sudah ada di sana," ucapnya dengan nada yang mulai berat. "Dia akan membuat masalah kalau aku bergabung." Huff... Natalia menghembuskan napas panjang, seolah mencoba melepaskan beban yang menekan dadanya. Matanya kembali memandang keluar, tapi kini penuh keraguan.
Manajer Lu mengangguk pelan, mulai memahami sumber keraguan yang dialami Natalia. "Aku mengerti... Kau takut terjebak dalam drama yang tidak perlu," gumamnya lebih kepada dirinya sendiri, matanya fokus pada jalan di depan. "Itu memang situasi yang sulit. Kau butuh ruang untuk berkarya, namun disatu sisi kau harus berhadapan dengan hal tersebut."
Suara mesin mobil dan suasana sepi di jalan membuat percakapan mereka semakin intim. "Tapi kalau bukan Heaven Music," lanjut Manajer Lu, mencoba membuka opsi lain, "Label mana yang akan kau pertimbangkan?"
Natalia terdiam, menatap keluar jendela dengan tatapan kosong. "Aku belum bisa menentukan," akhirnya dia menjawab, suaranya terdengar lebih berat. "Heaven Music memang kuat, tapi pasti akan berat. Di sisi lain, label-label lain... rasanya tidak cukup untuk mendukung karierku yang sekarang." Srek... srek... Tangannya bergerak pelan menyusuri kaca jendela, seolah mencari jawaban di balik tetesan embun yang menempel di sana.
"Setidaknya aku masih punya waktu satu bulan untuk memikirkannya," lanjutnya dengan nada yang lebih pelan. "Aku tidak mau terburu-buru."
Manajer Lu mengangguk lagi, suaranya tetap lembut dan mendukung. "Benar, aku setuju denganmu, namun perhatikan lagi waktumu." Klik... Manajer Lu mematikan lampu kabin, membiarkan cahaya dari jalan yang memantul di kaca mobil menjadi satu-satunya penerang.
Natalia tersenyum tipis, meski perasaannya masih berat. "Hmmmmm," ucapnya, suaranya dipenuhi bimbang. Tatapannya kembali ke luar jendela, memandangi lampu-lampu jalan yang berkelap-kelip, orang-orang yang berjalan berpasangan, dan keceriaan yang terasa begitu jauh dari dirinya. "Aku merasa begitu terasing di tengah keramaian ini, sampai kapankah?" pikirnya, sebuah pertanyaan yang menggantung di udara malam.
Secara refleks, tangannya meraih liontin yang tergantung di lehernya—sebuah liontin berbentuk pick gitar yang selalu dia kenakan. "Srek..." Jemarinya meraba liontin itu dengan lembut, seolah mencari kekuatan atau kenangan yang tersimpan di dalamnya. Matanya tertuju pada liontin itu dengan intens, seperti tenggelam dalam kenangan yang mulai muncul ke permukaan.
Dalam keheningan mobil, Natalia menggenggam liontin itu lebih erat, tangannya mengepal dengan hati-hati di atas benda kecil tersebut. "Dimana dia sekarang?....... apakah dia baik baik saja?" bisiknya pelan, hampir tak terdengar, tapi penuh dengan rasa rindu yang mendalam.
Manajer Lu melihat gerakan kecil itu melalui spion, menyadari perubahan di wajah Natalia yang tiba-tiba menjadi lebih serius. Dia memilih untuk tidak bertanya, memberikan ruang bagi Natalia untuk merenung dalam keheningannya sendiri.
Di luar jendela, suara tawa dari orang-orang yang merayakan malam tahun baru terdengar samar di kejauhan. Namun di dalam mobil, hanya keheningan yang mengiringi Natalia, tertutup oleh bayangan masa lalu dan keraguan yang menyelimuti hatinya. Wussh... Suara angin yang menyapu kaca mobil seolah menjadi satu-satunya saksi atas perasaan yang tak terucapkan.
*****
Grey keluar dari kamarnya dengan langkah tenang, matanya kosong menatap lantai seolah tenggelam dalam pikirannya. "Tap... tap... tap..." Suara langkah kakinya menggema di ruangan, menuju sofa di ruang tengah. Setelah sampai, dia duduk perlahan, membiarkan tubuhnya terbenam dalam kenyamanan sofa. Wajahnya tetap datar, namun pikirannya dipenuhi dengan berbagai rencana untuk hari esok.
Di sudut ruangan, White sedang duduk di depan komputernya, memetik gitar dengan santai. "Ting... ting... ting..." Suara senar gitar yang dipetik mengalun lembut, menyatu dengan suasana malam yang tenang. Namun, perhatian White segera teralih ketika melihat ekspresi Grey yang tampak sedang merenung.
White menghentikan petikan gitarnya dan menatap Grey dengan penasaran. "Apa yang sedang kau pikirkan?" tanyanya dengan nada penuh rasa ingin tahu, mencoba mencairkan keheningan di antara mereka.
Grey mengangkat wajahnya, namun tetap dengan tatapan dingin. "Aku akan kembali ke China besok," jawabnya singkat, suaranya tanpa emosi.
Mendengar itu, White terdiam sesaat, terkejut dengan jawaban yang baru saja didengarnya. "Whattt?" White segera menaruh gitarnya di samping, "Thud..." suara gitar yang diletakkan tergesa-gesa di kursi. White cepat bangkit dan berjalan menuju Grey. "Tap... tap... tap..." Langkah cepatnya terdengar jelas saat dia mendekat.
Setelah berada tepat di depan Grey, White menatapnya dengan cemas. "Serius?" tanyanya sambil berusaha memastikan apa yang baru saja ia dengar. "Kau benar-benar akan kembali ke China?"
Grey, tanpa banyak ekspresi, mengangguk. "Ya. Aku serius. Aku akan kembali." jawabnya dengan nada tegas dan dingin, seolah sudah memutuskan semuanya tanpa keraguan.
White menghela napas, lalu bertanya lagi, "Memangnya kau sudah ada tempat tinggal di sana? Dan... bagaimana dengan label ini? Apa kau benar-benar akan meninggalkannya?" Ada rasa khawatir dalam suaranya, khawatir akan masa depan mereka sebagai rekan kerja.
Grey mengangguk lagi, kali ini lebih tenang. ".....Aku sudah membeli apartemen di China sejak tahun lalu," jawabnya singkat. "Dan soal label... Aku memutuskan untuk keluar. Bukankah semua proyek sudah selesai." Srek... Suaranya terdengar dingin dan tegas, seolah dia benar-benar telah memutuskan untuk melepaskan semuanya.
White terdiam. "Sial... Apa yang harus aku lakukan tanpa dia?" pikirnya. Dia merasa sedikit kehilangan arah, namun dia tahu bahwa Grey tidak mungkin berubah pikiran begitu saja. "Dia benar-benar gila," gumam White dalam hati, merasa sedikit tertekan oleh kenyataan itu.
Grey bangkit dari duduknya. "Srek..." Suara kain sofa yang bergesekan dengan pakaiannya terdengar ketika dia berdiri dan berjalan menuju kulkas. "Tap... tap... tap..." Langkahnya pelan tapi mantap, seperti tidak ada yang bisa menghentikannya. Setelah sampai di dekat kulkas, Grey membuka pintunya, "Klik..." dan mengambil sebotol beer. Dengan gerakan santai, dia membuka tutup botol, "Sssst..." suara gas yang keluar terdengar ketika dia meneguknya. "Gulp... gulp..."
Sementara itu, White tetap diam, merenung di tempatnya. Ia berpikir keras tentang apa yang akan terjadi setelah Grey pergi. "Aku tau apa yang harus aku lakukan.....," gumam White dalam hati. Tiba-tiba, senyuman kecil muncul di wajahnya. Dia menatap Grey dengan ekspresi yang penuh keyakinan.
Grey, yang memperhatikan White dari sudut matanya, mulai merasa bingung melihat ekspresi senyuman di wajah White. "Kenapa kau tersenyum?" tanya Grey, nadanya tetap datar, tapi ada sedikit kebingungan.
White bangkit dari tempatnya dengan semangat yang tak biasa, lalu berjalan mendekat ke arah Grey. "Aku akan ikut denganmu," kata White dengan nada tegas, penuh keyakinan.
Grey berhenti meneguk beer-nya dan menatap White dengan ekspresi datar. "Haaa?" tanya Grey, kali ini suaranya sedikit meninggi, meskipun tetap dingin.
White melanjutkan dengan antusias, "Aku akan bekerja di sana, dan kita akan membuka label rekaman baru. Kita tutup label lama kita dan mulai dari awal di sana."
Grey meletakkan botol beer di meja, "Clink..." Suara botol menyentuh meja terdengar tajam. "Kau gila," ucap Grey, menatap White dengan sedikit jengkel. "Aku sudah bilang aku ingin berhenti dari musik."
White tersenyum lebar, tidak terpengaruh oleh sikap Grey yang dingin. "oh yaa.... satu lagi.... aku bisa numpang di apartemenmu juga kan," candanya, sambil tertawa kecil.
Grey mendengus kesal. "Kau benar-benar gila," jawabnya sambil memutar matanya, merasa tak habis pikir dengan sikap santai White. Huff... Napasnya terdengar berat, menahan rasa jengkel yang makin menjadi.
Grey kemudian berjalan ke arah jendela, "Tap... tap... tap..." Langkah kakinya terdengar pelan saat ia mendekati jendela, lalu menatap keluar, memandang langit malam yang sunyi. "Penerbangan besok pukul 15.00," katanya dengan suara datar, tanpa melihat ke arah White.
Mendengar itu, White tersenyum puas. "Akhirnya kau mengizinkanku ikut," gumam White dalam hati, merasa lega bahwa Grey tidak menolak sepenuhnya. Mereka memang sahabat sejati, meskipun sifat mereka sangat berbeda.
Grey, masih memandang keluar jendela, berkata dengan nada dingin, "Satu lagi, aku hanya memberikan tumpangan satu bulan saja, tidak lebih...!"
White tertawa kecil, merasa lega meskipun batas waktunya singkat. "Baiklah, cukup bagiku," jawabnya santai. "Tapi jangan lupa, aku akan tetap merekrutmu sebagai produser saat di China nanti."
Grey menghela napas kesal, menoleh sejenak ke arah White. "Jangan pernah berharap," ucapnya dengan nada dingin, penuh ketegasan.
Tanpa berkata lebih lanjut, Grey meninggalkan jendela dan berjalan kembali ke kamarnya. "Srek..." Suara pintu kamarnya yang terbuka terdengar ketika dia berbalik untuk melihat White satu terakhir kalinya. "Siapkan pengumumannya," perintah Grey dengan nada tajam.
White tersenyum lebar, masih dengan sikap santainya. "Jangan khawatir, aku akan urus semuanya besok," jawabnya dengan santai.
Grey hanya mengangguk sekali sebelum masuk ke kamarnya, membiarkan White dengan rencananya yang penuh sem angat untuk masa depan mereka di China.
*****