SEQUEL BURN WITH YOU
Declan Antony Zinov dituduh membunuh keluarga angkatnya yang kaya raya demi sebuah warisan. Tapi semua itu tidak terbukti sehingga pria itu menjalankan bisnis keluarganya dan menjadikan Declan pria kaya raya dan juga ditakuti karena sikapnya yang kejam.
Lucyanna Queen Nikolai merupakan cucu seorang mafia yang sudah lama menaruh hati pada Declan karena telah menyelamatkan nyawanya saat kecil. Ia sering mencari tahu berita tentang pria pujaannya itu dan berniat melamar kerja di perusahaan milik Declan.
Setelah bertahun-tahun lamanya, Declan dipertemukan kembali dengan gadis yang pernah ia selamatkan. Tapi melihat bagaimana wanita itu terang-terangan menyukainya membuat Declan bersikap kasar agar Lucy tidak lagi mendekatinya.
Tapi, ketika Lucy tertembak karena berusaha melindunginya. Barulah Declan menyadari betapa berartinya Lucy di kehidupannya selama ini.
#Cerita ini lanjutan dari cerita Burn With You dimana masa kecil mereka ada di Bab akhir. Selamat membaca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Athaya Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 4
Declan mengepalkan tangannya ketika melihat airmata di pelupuk mata Lucy. Sialan, ia tidak ingin lebih banyak melukai wanita ini. Dan satu-satunya cara agar mereka tidak bersama adalah dengan saling menyakiti. "Maafkan, aku."
"Mungkin aku harus berhenti mencoba meyakinkanmu. Kupikir setelah lima tahun kita berpisah, setidaknya sekali saja kau akan datang menemuiku. Kita seharusnya menikah di usia saat ini, bukan membuat kita mengasihani diri sendiri." Lucy berkata sembari menyentuh makanan yang sudah tidak berselera untuk dimakan.
"Kita berdua bisa mendapatkan pasangan yang mungkin lebih baik dan bisa mencintai kita. Mengapa kau dan juga diriku tidak bisa melakukannya? Kau tahu pasti jawabannya" Sambung Lucy lagi kemudian beranjak dari duduknya dan membereskan bekas makan siang mereka dengan diam.
Declan tidak mampu menjawab semua ucapan Lucy dan ikut terdiam. Setelah wanita itu keluar ruangan, ia meremas rambutnya dan memaki dalam hati. Mengapa mereka harus bertemu lagi dan mengapa perasaannya pada wanita itu tidak bisa ia hilangkan.
Lucy memutuskan pulang tanpa bertemu dengan Declan lagi, ia sangat kesal hingga mematahkan sepatu heels nya dan membuang barang tak berguna di tempat sampah. Para pengawal yang ditugaskan menjaganya sudah menunggu di lobby, membuat ia terpaksa harus turun kebawah dengan bertelanjang kaki.
Beberapa karyawan melihat kearahnya, terutama kakinya yang tidak menggunakan alas kaki. "Miss Queen. Apa kau baik-baik saja?" tanya beberapa orang yang ia lewati.
"Dimana sepatumu?" Tanya Declan yang baru saja kembali dari pertemuan dengan rekan bisnisnya.
"Sudah aku buang. Aku tidak membutuhkannya lagi." Jawab Lucy tanpa menatap wajah Declan dan berhenti dimeja resepsionis untuk mengembalikan barang-barang perusahaan.
"Kau akan melukai kakimu. Stevan. Bawakan sepatu-
"Pergilah, Declan. Aku tidak membutuhkan benda sialan itu." potong Lucy dengan suara yang keras, membuat semua yang ada di lobby terdiam.
Lucy menyadari situasi dan memandang sekeliling. Beberapa orang mulai membicarakannya karena sudah berani bersikap kasar kepada Declan yang merupakan pimpinan perusahaan. Dan sekali lagi dia tidak peduli.
Declan sedang memperhatikan dengan tenang kemudian melangkah perlahan mendekatinya. Pria itu berdiri begitu dekat dengan tubuhnya dan Lucy bisa melihat matanya yang penuh amarah dan juga dingin.
"Kau terus saja menguji kesabaranku, Lucy. Apa kau berharap aku akan menggendongmu hingga sampai ke mobil mewahmu itu? Aku lihat para penjagamu sudah menunggu diluar." Bisik Declan di telinganya.
Lucy mengepalkan tangannya dan bersiap-siap melayangkan pukulan ke wajah Declan dan menyadari tubuhnya sudah berada dipundak pria itu. "Apa yang kau lakukan, sialan. Turunkan aku." Lucy berteriak sembari memukul punggung pria itu dengan kakinya yang menendang-nendang.
Declan memukul bokong Lucy dan menahan kaki wanita itu untuk diam. Ia tak menyangka wanita itu akan membuat harga dirinya jatuh di depan semua karyawannya. "Aku tidak akan membiarkan tinjumu yang terkenal itu mematahkan hidungku. Kau serius akan melakukan itu disini? Di perusahaanku sendiri?"
"Aku bersumpah akan mengacaukan hidupmu, Declan. Dan kau akan memohon-mohon padaku" Gerutu Lucy ketika merasakan pegangan pria itu melembut dan dengan hati-hati menurunkannya di samping mobil sport milik Lucy yang sudah terparkir.
Declan menatap Lucy tajam dengan mata menyipit. "Jangan datang lagi kesini dan menemuiku, Lucy. Carilah pria yang bisa membuatmu bahagia dan tidak merasa cemas setiap waktu"
"Kau serius mengatakan hal itu padaku? Kau akan melihat aku akan tidur dengan banyak pria dan menghabiskan waktuku bercinta dengan mereka sepanjang malam." Sahut Lucy sembari melayangkan tinjunya dipipi Declan dan masuk kedalam mobil. Tidak lupa mengacungkan jari tengahnya ketika ia meluncur meninggalkan pria itu.
...****************...
Sebulan berlalu, dan selama itu pula Lucy tidak pernah bertemu lagi dengan Declan. Lebih tepatnya, ia tidak lagi mencari informasi apapun tentang pria itu.
"Jadi kau akhirnya menyerah akan pria itu?" Serena berkata sembari menikmati roti gulung kesukaannya.
Mereka saat ini sedang berada di studio milik Lucy yang baru seminggu ini ia buka kembali. Dulu ia banyak menghabiskan waktunya untuk menulis dan menggambar disini, kemudian menutupnya lima tahun yang lalu setelah insiden yang menimpa dirinya dan Declan.
"Aku akan menunggu pria itu datang menemuiku. Untuk itulah aku membuka kembali tempat ini. Tempat ini adalah pemberian darinya dan sudah menjadi milikku sepenuhnya." Ucap Lucy dengan senyumannya yang dibuat semanis mungkin.
Serena tertawa dan memberikan sepotong roti untuk saudarinya itu. "Sudah kuduga kau bukan wanita yang pantang menyerah. Tapi ingat untuk berhati-hati saat kalian bersama, Lucy. Berjanjilah padaku."
Mereka saling bertatapan untuk waktu yang lama. Sama-sama mengingat bagaimana kejadian yang memilukan itu terjadi. "Tenanglah, Rena. Bukankah pimpinan mereka masih berada di penjara. Dia tidak bisa berbuat apapun jika Daddy masih berkuasa."
"Kau benar. Kadang aku merasa takut dengan keluarga kita yang masih berkaitan dengan mafia-mafia itu. Disisi lain, jika Daddy tidak ditakuti mungkin kita tidak bisa bebas kemanapun." Gumam Serena pelan dan tersenyum ketika tangan Lucy menggenggam erat tangannya.
"Daddy tidak pernah berbuat jahat, Daddy hanya melindungi kita semua dari orang-orang jahat itu. Akupun akan melindungimu selama hidupku, Rena." Ujar Lucy menenangkan adik satu-satunya yang sangat lembut itu.
Serena tersenyum dan menyandarkan kepalanya dipundak Lucy. "Aku sangat percaya dengan tinjumu, Lucy."
Beberapa saat kemudian Lucy terlihat menatap keluar jendela yang mengarah ke gang dimana banyak toko-toko kecil berjualan. Serena telah kembali ke asramanya, dan ia merasa kesepian lagi. Lucy bisa mendengar kebisingan jalanan di akhir pekan. Ia kemudian mencoba memutar musik dari ponselnya dan ikut bernyanyi.
Lucy terlihat sedang membungkuk diatas sketsa dengan goresan-goresan dari pensil ditangannya. Pemandangan itu yang Declan lihat dari luar jendela studio wanita itu. Dulu, ia sangat menyukai bagian ini. Memperhatikan Lucy yang sedang berimajinasi dengan raut wajah berubah-ubah sesuai hayalannya.
Lucy mengenakan kaos berwarna putih tanpa lengan dengan celana jins berpotongan pendek, memperlihatkan sebagian pahanya yang mulus. Dekorasi tempat itu tidak banyak berubah, masih dengan perabotan dan juga warna-warna yang mereka pilih dulu.
Setelah menyelesaikan sketsanya, Lucy melengkungkan punggungnya dan merenggangkan ototnya yang kaku. Ia mematikan musik diponselnya dan memutuskan mandi sebelum ia kembali ke rumah. Lucy berbalik dan menahan nafas ketika melihat siapa yang berdiri diambang pintu.
"Sungguh menarik melihat pemandangan ini lagi" ucap Declan sembari berjalan ke arah Lucy. "Apakah kau sedang menggambar sketsa atau sedang menulis buku?"
Lucy tahu bagaimana Declan bisa masuk kedalam studio, karena pria itu masih menyimpan kuncinya. "Apa kau datang untuk melihat-lihat? Atau kau rindu padaku, Declan?
"Kau terlihat tidak tampak terkejut dengan kedatanganku. Apa kau memang sedang menungguku?" Tanya Declan tanpa membalas pertanyaan wanita itu.