Yao Chen bukanlah siapa-siapa. Bukan seorang kultivator, bukan pula seorang ahli pedang. Pangeran hanya memiliki dua persoalan : bela diri dan istrinya.
Like dan komen agar Liu Xiaotian/Yao Chen dapat mencapai tujuan akhir dalam hidupnya. Terimakasih.
Peringatan! Novel berisi beberapa adegan yang diperuntukkan bagi orang dewasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WinterBearr, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 - Pil Peningkat Xuanhua
Yao Chen tak butuh alasan. Pemuda itu mengetahui hampir semua keburukan yang telah dilakukan oleh Dinasti Yao. Upacara pemakaman yang dipenuhi tangis setiap anggota keluarga yang ditinggalkan, seharusnya memang layak dirayakan secara meriah bagi musuh-musuhnya. Namun langit biru di atas sana, seakan berkabung pada pemakaman sore hari ini.
Tentu saja mereka salah, Suku Baifeng nyatanya telah menduduki dataran pegunungan ini lebih dari tujuh ribu tahun. Namun Kerajaan Lianyun membantai habis setiap manusia berdarah iblis, mulai dari Desa Shenyuan sampai ke Desa Bailong yang berada di puncak Gunung Baishan. Peristiwa itu menjadi salah satu bukti dosa terbesar Dinasti Yao dan Lianyun yang tidak akan pernah terhapus dari benak para korban.
Pembantaian adalah pilihan kata yang paling bermoral, sangat berbeda dengan kenyataan yang terjadi di lapangan. Pembantaian wanita, lansia, anak di bawah umur bahkan pemerkosaan begitu lumrah terjadi kala itu. Salah satu korbannya adalah keluarga Hua Huifang. Mendalangi upayanya untuk balas dendam.
"Istriku, ayo pergi ke Toko Ruolan... ," gumamnya lagi, kali ini lebih mengedepankan bahasa tubuh. Mata hitamnya seperti kolam tak berdasar, rambut panjangnya di sanggul rapi ke atas dan wajahnya seakan berpendar di bawah barisan lilin. Sebuah pemikiran yang terbetik di benak Yao Chen—Hua Huifang semoga tidak marah karena kejadian semalam.
Liu Xiaotian atau Yao Chen berlatih intonasi, berusaha menyesuaikan diri menjadi Yao Chen yang sesungguhnya. Ia tidak ingin orang-orang menyadari perubahan sifatnya, terlebih istrinya. Namun ibarat mengukir di atas pasir pantai, usahanya lantas terhapus oleh ombak, karena Liu Xiaotian tidak begitu mengenal sosok Yao Chen. Peran tokoh ini sangat minim di dalam novel.
Pegal kedua kakinya berdiri di tempat ini sampai hampir dua setengah jam, mondar-mandir. Aroma wangi dari dupa hio begitu menusuk hidung. Semua itu dilakukan untuk mengiringi mereka yang telah mati. Ibarat pahlawan, keluarga yang berkabung kompak mengenakan pakaian serba putih, membawa pernak-pernik maupun benda istimewa yang akan mereka tinggalkan untuk mereka.
Ribuan nyawa melayang akibat pertempuran kemarin dan kesedihan di lokasi begitu kental, bahkan Yao Chen pun mulai merasakannya. Namun dia tidak dapat berbuat apapun, ini memang harga yang harus dibayar oleh bangsa penjajah.
Di balkon wang fu atau yang biasa disebut duan, Yao Chen masih bergumam sendiri. Seperti halnya kelinci yang ketakutan, pemuda itu benar-benar takut dengan istrinya. Hingga tangan dinginnya mendadak hangat, setelah tangan lain menggandengnya lembut dan mulai memeluk seluruh lengan kiri Yao Chen dengan cheongsam putih yang berbalut gaun sutra tipis. Beberapa bagian tubuh yang melekat juga menambah kehangatan. Padahal Yao Chen sudah berjanji bahwa dirinya tidak akan tersentuh oleh wanita itu, walaupun hanya sedikit.
Namun tubuhnya begitu hangat dan harum, itu yang pertamakali terlintas di benak Yao Chen. "Ayo mampir ke Toko Ayah—"
"Ayahmu punya toko?" timpal Hua Huifang, mendongak ke atas, menatap wajah Yao Chen dengan kerutan heran di keningnya.
Otak udang! padahal aku sudah berlatih kurang lebih dua setengah jam, batin Yao Chen, mulai berkeringat.
"Suamiku... kenapa kau tidak bercerita kepadaku jika kau mempunyai masalah?"
Yao Chen terkesiap ; dia berfikir Hua Huifang mulai menyadari keanehan dari perilakunya. "Maafkan aku, perang panjang kemarin benar-benar merubah pola pikirku." Terkesan kaku dan dipaksakan, tapi setidaknya Yao Chen dapat menyelesaikan kalimatnya.
"Apa aku kurang cantik bagimu?"
"Tentu saja kau yang paling cantik," balas Yao Chen dengan cepat.
Pelukan hangat Hua Huifang di lengan kirinya tidak kendor, malahan sebaliknya. "Aku mengerti," katanya. "Tapi kau harus terbiasa dengan ini, suamiku. Qingyuan memang selalu diselimuti oleh pertumpahan darah, terlebih saat ini kita tinggal di Baishan."
Suaranya begitu lembut, membuat Yao Chen terlelap di dalam setiap ucapan istrinya. Belakangan ini Yao Chen memang sedang bertanya-tanya, apakah Ratu Iblis benar-benar seburuk yang diceritakan? Hanya waktu yang dapat menjawab semua itu—sekarang waktunya untuk pergi.
"Sebenarnya... ayah memintaku untuk mengajakmu pergi ke Toko Ruolan," ujar Yao Chen dengan serius.
"Toko Ruolan? Jika hanya untuk membeli beberapa ramuan peningkat, aku tidak ikut, aku tidak membutuhkannya."
"Bukankah ramuan semacam itu penting untuk seorang kultivator sepertimu?"
Hua Huifang berpikir tanpa berkata-kata, membuat kedua mata Yao Chen tertuju padanya cukup lama. "Dari dulu, kami selalu membuat ramuan kami sendiri. Itu sudah menjadi tradisi dari Suku Baifeng." Senyuman manis merekah di bibirnya. "Namun sekarang... aku sudah memiliki suami yang pandai meramu berbagai macam obat peningkat. Walaupun ilegal, aku lebih menyukai ramuan buatanmu."
Seolah petir menyambar, bersamaan dengan naga api yang menghujam turun membakar sekujur tubuhnya. Liu Xiaotian tak habis pikir, karakter Yao Chen ternyata dapat meramu obat-obatan khusus.
"I-ilegal?" Yao Chen menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. "Apapun untuk istri tercinta... pasti akan aku buatkan." Ekspresi wajahnya benar-benar tidak tulus, walaupun sejujurnya Yao Chen merasakan sedikit sentuhan dari pernyataan istrinya.
"Benarkah?! Suamiku, kalau begitu... aku ingin Pil Peningkat Xuanhua. Yang bisa meningkatkan kultivasi selama sebulan penuh! Kau selalu menolak jika aku memintamu untuk membuatnya."
Yao Chen membisu, kepanikan menghantam dirinya seperti badai yang ditambah dengan tsunami beserta angin tornado. Dia tidak mengerti apa yang dikatakan Hua Huifang, tidak sedikit pun. "Pil Peningkat Xuanhua?"
Hua Huifang mengangguk cepat seperti anak kecil. "Kau pernah memberitahuku jika ramuannya memerlukan biji Bunga Jiwa Emas yang tumbuh di puncak Gunung Baishan. Setiap kelopak bunga ini berkilauan seperti embun di pagi hari. Selain itu, kita butuh tujuh tetes air dari mata air murni di Lembah Timur. Dan jangan lupakan Akar Pohon Abadi yang terletak di Hutan Mistis bagian Barat gunung. Walaupun sepele, tapi akan fatal jika kita tidak menggunakannya. Pil ini akan sangat membantu meningkatkan kultivasiku bulan depan, bahkan dapat meningkat sampai ke ranah Pendekar Surgawi!"
Apakah Yao Chen sedang membual? Bagaimana dia mengatakan hal semacam itu kepada Hua Huifang?Mungkin aku yang akan lebih dulu masuk ke surga, batin Yao Chen.
Setidaknya isi kepalanya saat ini bagaikan kerja rodi, terus berputar tanpa henti sekedar untuk mencari solusi. Dia tahu dia tidak mungkin bisa mengabulkan permintaan istrinya. Disisi lain, Yao Chen juga berfikir jika momen ini adalah sebuah kesempatan yang tersirat. Alur yang tertulis di dalam novel harus diubah bagaimana pun caranya. Yao Chen tidak ingin mati secepat yang dituliskan.
Setelah cukup lama hening dan mulai terasa canggung, akhirnya Yao Chen mengangkat tangan kanannya sejajar dengan bahu. "Baiklah, jadi hanya itu yang istriku inginkan? Aku dapat membuatkan sepuluh pil untukmu," ujarnya tanpa ragu.
Hua Huifang senang bukan main, dia memeluk Yao Chen dengan erat sambil melompat-lompat kecil. Sangat kontras dengan suasana hati orang-orang yang sedang berkabung di bawah sana.
"Tapi ada syaratnya."
"Apa syaratnya?" tanya Hua Huifang dengan memiringkan wajahnya, masih terlihat antusias.
Yao Chen membalasnya dengan senyuman kalem, tidak menyeringai, tidak juga terlihat tulus, lebih seperti seseorang yang sedang berusaha untuk bertahan hidup. Pemuda itu menyeka rambut istrinya yang berantakan akibat terlalu banyak melompat. "Syaratnya hanya satu," bisiknya di balik rambut. "Kau harus ikut mencari semua bahannya bersamaku."