Ruby Lauren dan Dominic Larsen terjebak dalam pernikahan yang tidak mereka inginkan.
Apakah mereka akan berakhir dengan perpisahan? Atau sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PenaBintang , isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berdamai Dengan Masa Lalu
Ruby melihat Dominic tampak sibuk dengan laptopnya. Dia memandang jam yang menunjukkan pukul 4 pagi.
"Dominic, kau mau kopi? Aku bisa membuatkan kopi untukmu," ujar Ruby.
"Tidak perlu," sahut Dominic, tanpa menatap wajah Ruby.
Ruby mengangguk, dia lalu duduk di sofa dan menyalakan televisi, namun tanpa suara. Dia tidak ingin Dominic merasa terganggu dengan suara dari televisi.
Dominic yang semula sedang menatap laptop, kini menatap ke arah Ruby. "Kenapa kau tidak membuka suara televisi? Apa yang kau lihat jika seperti itu?"
"Aku hanya tidak ingin kau merasa terganggu," jawab Ruby.
"Aku tidak merasa terganggu jika kau tidak membukanya terlalu nyaring," sahut Dominic ketus.
Ruby mengangguk, dia lalu membuka sedikit suara. Sedangkan Dominic hanya menatap saja.
"Dominic, pasti rasanya sedih sekali dibuang oleh orang tua," kata Ruby tiba-tiba. Dominic mengerti arah pembicaraan wanita itu. Dia pasti mengira orang tuanya telah membuang dirinya.
"Aku sudah terbiasa, jangan membahas hal ini denganku. Aku tidak mau mengingatnya lagi," sahut Dominic.
"Maaf jika aku mengingatkanmu pada hal ini. Tapi sekarang aku merasa dibuang, Ayah, Ibu dan Kakak, mereka tidak mau menjawab panggilan telepon dariku. Sepertinya aku sengaja dijual padamu," ungkap Ruby.
Dominic terdiam, dia merasa tidak bisa menyalahkan ketiga orang itu, apalagi melihat kondisi rumah Ruby yang penuh bercak darah, ditambah lagi ada seseorang yang mengawasi rumah itu. Dominic curiga jika keluarga Ruby telah dibunuh oleh keluarga Larsen, sebab Ruby menolak meracuninya.
'Kau tidak tahu, menolak keinginan mereka, apalagi sampai menentang, nyawa taruhannya.' ucap Dominic dalam hati.
Dominic memilih mengabaikan Ruby yang tampak sedih. Dia kembali menatap laptop dan memandangi grafik yang terus meningkat.
"Bagus, Robin. Semua Bisnisku bertambah naik, aku semakin kaya," gumam Dominic, diakhiri dengan senyuman miring.
"Dominic, apa kau tidak tidur?" tanya Ruby.
"Kenapa kau selalu bersuara? Tidak bisakah kau diam sejenak?" jawab Dominic dengan ketus, sambil membakar ujung rokoknya.
Ruby berdecak kesal. "Aku hanya bertanya! Kau sendiri selalu marah-marah tidak jelas!"
"Itu karena kau berisik sekali!" balas Dominic.
Ruby tidak mau menjawabnya lagi. Dia mematikan televisi, lalu berjalan ke atas ranjang dan akan tidur lagi.
"Jangan tiba-tiba memelukku ketika aku sedang tidur!" kata Ruby.
"Percaya diri sekali bahwa aku akan memelukmu! Mengingat yang saat itu saja aku merasa merinding!" sahut Dominic.
Ruby menggerutu, lalu dia menutup seluruh tubuhnya dengan selimut tebal. "Memangnya dia pikir aku apa? Bisa-bisanya dia merasa merinding memelukku!"
...----------------...
Di pagi yang cerah, sinar matahari menembus jendela besar di ruang makan mansion megah itu. Ruby duduk di meja makan yang panjang, dengan berbagai hidangan sarapan tersaji rapi di atas meja. Dia tampak ceria, menikmati setiap gigitan roti panggang yang diolesi selai stroberi. Sesekali dia menyesap teh hangat yang mengepul dari cangkir porselen putihnya.
Dominic duduk di ujung meja, mengenakan setelan kasual namun tetap terlihat elegan. Wajahnya tetap dingin seperti biasanya, tatapan matanya tajam namun tanpa ekspresi. Dia memutar sendok kecil di dalam cangkir kopinya, tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri. Namun, matanya sesekali melirik ke arah Ruby. Diam-diam, dia memperhatikan bagaimana istrinya begitu menikmati sarapan dengan penuh antusias.
Ruby tidak menyadari bahwa Dominic memperhatikannya. Dia hanya fokus pada makanan di depannya, sesekali tersenyum kecil seolah-olah dunia di luar sana tidak ada artinya dibandingkan dengan momen ini. Dominic, tanpa sadar, tersenyum kecil melihat tingkah polos istrinya itu. Ada kehangatan yang merayap di dadanya, meskipun dia berusaha mengabaikannya.
Namun, ketika Ruby mengangkat kepalanya dan matanya bertemu dengan mata Dominic, senyum kecil di wajah pria itu menghilang seketika. Dia kembali mendatarkan ekspresinya, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Dominic segera menyesap kopinya, berusaha mengalihkan perhatian.
Ruby mengerutkan kening, sedikit bingung dengan perubahan ekspresi Dominic. "Ada yang salah?" tanyanya pelan, nada suaranya penuh perhatian.
Dominic mendongak, menatap Ruby dengan dingin seperti biasa. "Tidak ada," jawabnya singkat, sebelum kembali memandang cangkir kopinya.
Ruby menggigit bibirnya, sedikit kecewa dengan sikap Dominic yang selalu tampak menjauh. Namun, dia memilih untuk tidak membahasnya lebih lanjut. Sebaliknya, dia tersenyum kecil dan kembali menikmati sarapannya, meskipun hatinya bertanya-tanya apa yang sebenarnya ada di pikiran suaminya.
Sementara itu, Dominic melirik Ruby lagi dari sudut matanya. Dia tidak bisa mengabaikan bagaimana Ruby membuat ruang makan yang besar dan sunyi itu terasa lebih hangat. Tapi, seperti biasa, dia terlalu keras kepala untuk mengungkapkan perasaannya. Dan pagi itu berlalu dengan keheningan yang aneh, penuh perasaan tak terucap di antara keduanya.
...****************...
Malam harinya..
Langit gelap tanpa bintang, hanya suara angin yang menggesek dedaunan terdengar di sekeliling mansion besar milik Dominic. Setelah memikirkan banyak hal sepanjang hari, Dominic akhirnya pergi ke rumah kecil di belakang mansion.
Rumah itu dulunya sebenarnya adalah tempat kesayangan mendiang kekasihnya, Elisa. Setelah kepergiannya, rumah itu menjadi semacam ruang kenangan yang menyimpan banyak hal tentang masa lalu mereka.
Dominic membuka pintu kayu yang berderit. Aroma nostalgia menyergapnya, membawa bayangan-bayangan Elisa yang selalu menyambutnya dengan senyum hangat. Di sudut meja, sebuah bingkai foto Elisa tersenyum kepadanya. Wajah itu, dengan mata yang penuh cinta, selalu menghantui pikirannya. Dia duduk perlahan, mengangkat foto itu, menatapnya dalam-dalam.
“Elisa…” suaranya terdengar berat, nyaris patah. “Aku merasa jahat… sangat jahat.” Dia menarik napas panjang, menahan gemuruh emosi dalam dadanya. “Aku tahu aku berjanji akan mencintaimu selamanya. Aku tahu kau adalah satu-satunya wanita yang pernah membuat hidupku berarti…”
Air matanya yang sejak tadi dia tahan, kini terjatuh, membasahi bingkai itu. Dia menggenggamnya erat, seperti ingin meminta pengampunan.
“Tapi aku… aku sepertinya mencintai wanita lain sekarang. Ruby… dia mampu membuatku merasakan sesuatu yang berbeda, dia tulus sepertimu, Elisa.” Suara Dominic mengalir begitu saja dari bibirnya, dengan nada lembut yang sama seperti saat dia menyebut nama Elisa dulu.
Dominic menunduk, merasakan kepedihan dan kebahagiaan bercampur. “Aku tidak tahu bagaimana ini terjadi. Aku mencoba mengabaikan perasaanku, mencoba menahan diriku, tapi… semakin aku melawan, semakin aku menyadari bahwa aku benar-benar memiliki perasaan padanya. Dan itu membuatku merasa sangat bersalah padamu, Elisa.”
Dominic terdiam sejenak, mengumpulkan keberanian untuk berkata lebih jauh. “Aku ingin kau tahu, perasaan ini tidak mengurangi rasa cinta dan sayangku padamu. Kau tetap bagian dari hatiku, selamanya. Tapi Ruby… dia membuatku merasa hidup lagi. Dia menyentuh sisi diriku yang kupikir sudah mati bersamamu.”
Dominic memejamkan mata, berharap bisa merasakan kehadiran Elisa untuk yang terakhir kali. Tapi yang ada hanya kesunyian. Dalam hati, dia tahu Elisa mungkin sudah memahami dirinya, tapi bayangan kehilangan janji yang pernah dibuat tetap membebaninya.
“Aku minta maaf, Elisa. Aku sungguh minta maaf. Jika aku mencintai Ruby, itu bukan karena aku melupakanmu. Aku hanya… tidak bisa mengabaikan apa yang hatiku rasakan.”
Dia meletakkan foto itu kembali, mengusapnya dengan lembut. Hatinya terasa lebih ringan meski masih ada luka yang menganga. Dia berdiri perlahan, memandang foto itu untuk terakhir kalinya malam itu. Mungkin dia akan jarang datang ke rumah kecil itu lagi, dia ingin membuka lembaran baru tanpa ada bayang-bayang Elisa lagi.
“Terima kasih, Elisa. Untuk segalanya. Aku harap kau mengerti kali ini. Maafkan aku, kita hanya berjodoh sementara di dunia ini.”
Dominic berbalik, melangkah keluar dari rumah kecil itu. Di ujung jalan setapak, cahaya hangat dari mansion menyambutnya. Di sana, ada Ruby yang sudah pasti menunggu, wanita yang tanpa sadar telah menyembuhkan hatinya yang hancur. Dia tahu perjalanan ke depan tidak akan mudah, tapi malam ini dia telah membuat satu langkah penting untuk berdamai dengan masa lalunya.
...****************...
pasti nanti bakalan Bucin kamu dom sama ruby/Joyful/