NovelToon NovelToon
Gamer Siblings Who Become The World'S Apocalypse

Gamer Siblings Who Become The World'S Apocalypse

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Pemain Terhebat / Penyeberangan Dunia Lain / Fantasi Isekai
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Alif R. F.

Samael dan Isabel, dua bersaudara yang sudah lama tinggal bersama sejak mereka diasuh oleh orang tua angkat mereka, dan sudah bersama-sama sejak berada di fasilitas pemerintah sebagai salah satu dari anak hasil program bayi tabung.

Kedua kakak beradik menggunakan kapsul DDVR untuk memainkan game MMORPG dan sudah memainkannya sejak 8 tahun lamanya. Mereka berdua menjadi salah satu yang terkuat dengan guild mereka yang hanya diisi oleh mereka berdua dan ratusan ribu NPC hasil ciptaan dan summon mereka sendiri.

Di tengah permainan, tiba-tiba saja mereka semua berpindah ke dunia lain, ke tengah-tengah kutub utara yang bersalju bersama dengan seluruh HQ guild mereka dan seisinya. Dan di dunia itu, di dunia yang sudah delapan kali diinvasi oleh entitas Malapetaka, orang-orang justru memanggil mereka; Kiamat Dunia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alif R. F., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

#4 – New World

"Pakai lagi, pakai lagi! Cepat!" teriak Jezebel sambil menutup wajahnya.

Dengan sigap, Mikael segera mengenakan kembali seluruh zirahnya. "Oke, oke, sudah, aku sudah pakai semuanya, hahaha."

Mendengar tawa lepas Mikael, Jezebel langsung melemparkan bantal ke arahnya sambil tetap menutup wajahnya.

Whoosh!

Bantal itu melesat cepat, namun Mikael dengan sigap menghindarinya. Bantal pun meluncur keluar jendela yang terbuka. Menyadari bahwa lemparan itu terasa seperti serangan, Mikael segera menghunus pedangnya.

"Loh, kenapa kamu pakai serangan?" tanya Mikael, menempatkan pedang besarnya di depan tubuhnya.

Jezebel membuka tangan yang menutupi wajahnya dan melihat ke arah Mikael dengan bingung. "Mana? Aku hanya melempar bantal biasa kok, Kak, aku tidak menggunakan serangan apa pun."

Mikael memasukkan kembali pedangnya ke dalam inventaris sambil berkata, "Benarkah? Tapi tadi lemparanmu keras sekali, seperti mode bertarungmu aktif."

"Hm? Aneh, padahal sejak awal aku tidak mengaktifkan mode bertarungku. Saat aku memukul kepala dan tanganmu, apakah itu terasa seperti terkena damage?" tanya Jezebel, bingung.

Mikael menggelengkan kepalanya. "Tidak, tidak ada damage sama sekali."

Merasa keadaan mereka di dalam game semakin aneh, Jezebel mencoba membuka jendela menu menggunakan gestur tangannya. Sementara itu, Mikael berbalik memandang keluar jendela.

"Indah sekali … aku bisa merasakan dinginnya angin dan aroma segarnya. Ini terasa seperti dunia virtual," kata Mikael sambil memandang jauh ke arah daratan bersalju di bawah mereka.

Dari jendela, terlihat hamparan salju putih yang memantulkan cahaya terang dari matahari buatan mereka. Di balik pegunungan yang mengelilingi daratan es, tampak malam hari sedang berlangsung di sisi lain.

"Tampaknya HQ kita tiba di malam musim dingin," gumam Mikael, tidak dapat melihat matahari asli. Dia kemudian menoleh ke Jezebel yang masih mencoba membuka jendela menu. "Apakah berhasil?"

Dengan wajah cemberut, Jezebel menggelengkan kepala, kecewa. "Tidak, Kak. Aku tidak bisa membuka jendela menu sama sekali. Sepertinya kita terjebak di sini."

Melihat Jezebel yang tampak murung, Mikael mendekatinya dan mengusap kepalanya. "Tenang, tenang, mungkin ini hanya bug. Sebentar lagi kita pasti akan dikeluarkan paksa oleh sistem game."

Mikael duduk di samping Jezebel dan merangkulnya. "Chup, chup, chup, santai saja. Biasanya begini setiap kali habis update."

Kepala Jezebel yang bersandar di pauldron keras Mikael langsung terangkat. Dia menggeser posisinya. "Tunggu … siapa bilang aku mau menangis? Aku cuma … hm … tunggu, aku tidak merasakan apa-apa. Padahal tadi aku benar-benar ingin menangis karena panik."

"Tuh, kan, kamu akhirnya mengaku," balas Mikael sambil mengganti zirahnya dengan pakaian linen yang lembut, lalu hendak merangkul Jezebel lagi.

Namun sebelum tangannya menyentuhnya, Jezebel menahannya. "Tunggu … ada yang aneh. Tiba-tiba saja aku tidak merasakan apa-apa, seakan emosiku ditekan oleh sesuatu."

Mikael memiringkan kepalanya, menatap Jezebel heran. "Serius? Hmmm, mungkin ada tambahan di update-nya. Semacam sistem peredam emosi mengingat game ini sekarang berperingkat 18+."

"Ayo lah, Kak … kamu pikir aku tidak tahu apa-apa soal game dan DDVR? Aku memang tidak sehebat kamu, tapi tidak terlalu awam juga, kok," balas Jezebel dengan senyum miring. "Kalau teknologi DDVR sudah sejauh itu, seharusnya di dunia virtual tidak ada lagi yang trauma karena kebebasan berlebihan atau penjahat kelamin."

Mikael teringat mengapa mereka jarang memasuki dunia virtual, kecuali untuk urusan bisnis.

Meski di dunia virtual orang tak bisa disakiti secara fisik, trauma mental dari lingkungan kriminal seperti penculikan, pemerasan, dan pemerkosaan sering terjadi karena konsekuensi hukum yang ringan. Dunia virtual yang kini diakses melalui DDVR sudah menjadi dunia kedua bagi banyak orang, dengan populasi yang bahkan dua kali lipat dari dunia nyata, setengahnya terdiri dari AI.

Namun, sistem perlindungan emosi yang dapat mencegah trauma mental belum bisa diwujudkan karena keterbatasan otak manusia. Jika terlalu banyak data yang diterima, otak bisa mengalami overload, bahkan kematian.

"Benar juga, ya. Peredam emosi memang pernah diusulkan, tapi sampai sekarang otak kita belum bisa menampung semua data DDVR," ujar Mikael.

"Lalu kenapa aku tiba-tiba tidak merasakan apa-apa?" tanya Jezebel sambil menunjuk kepalanya. "Serius, emosi aku benar-benar diredam."

"Oke, aku percaya. Mungkin kamu mengalami shock yang membuat emosi hilang sementara," jawab Mikael, masih bingung. "Kita tunggu saja sampai kita dikeluarkan paksa," katanya sambil membaringkan diri di ranjang.

Jezebel ikut membaringkan diri, menggunakan lengan Mikael sebagai bantal. "Haaa … semoga tidak lama, ya."

Mikael menoleh, melihat wajah Jezebel yang mulai memejamkan mata, lalu kembali memandang langit-langit kamar dan menutup matanya juga.

***.

Satu jam berlalu. Mikael dan Jezebel masih berbaring dengan santai, sesekali berbincang ringan. Mikael mencoba membuka beberapa topik, namun Jezebel hanya menjawab singkat. Meski sudah satu jam terlewati, mereka belum juga keluar dari game.

“Kak, kita terjebak di sini, ya? Bagaimana dengan tubuh kita di dunia nyata?” tanya Jezebel tiba-tiba, memecah keheningan dengan suara tenang. "Aku ingat ada berita tentang pemain yang pakai cheat, tapi otaknya overload dan mati seketika. Kalau orang itu merasakan hal seperti ini sebelum mati, apa mungkin kita juga mengalami hal yang sama?”

“Stop, jangan overthinking,” potong Mikael. Ia memiringkan tubuhnya dan mengarahkan kepala Jezebel hingga mereka saling bertatapan. Sambil menepuk lembut pipi adiknya, ia melanjutkan, “Aku sebenarnya punya teori, tapi takut terdengar terlalu nerd. Apalagi mengingat aku yang suka berlebihan soal game dan teknologi zaman sekarang.”

Jezebel tersenyum manis, memiringkan tubuhnya menghadap Mikael. “Ya sudah, katakan saja, Kak. Aku ingin dengar. Setidaknya bisa memberikan sudut pandang lain … dan mungkin bikin aku lebih tenang.”

Mikael menghela napas panjang. "Oke, tapi janji jangan ketawa, ya? Sepertinya ... kita pindah ke isekai."

Jezebel menatapnya dengan tatapan putus asa. "Kak ... sejak kapan kamu baca manga lagi?"

"Tuh, kan!" Mikael memasang wajah pasrah.

"Hehehe, iya, maaf," Jezebel tertawa kecil, kemudian mengubah posisi tidurnya dengan kepala bersandar di lengan besar Mikael. "Tapi kalau dipikir-pikir, kemungkinannya memang tidak nol, kan?"

Mikael mengangguk. “Benar. Kalau memang begitu, kita harus lebih berhati-hati mulai sekarang. Semua yang terjadi ini mungkin nyata. Kalau kita mati di sini, mungkin kita tidak akan hidup kembali.”

Jezebel mengangguk setuju, lalu mengingat sesuatu. "Tadi … kamu melihat sosok entitas yang terbang mendekat, kan? Kamu bilang tidak bisa membaca level-nya, tapi job-class-nya terbaca, benar?”

Mikael tiba-tiba menjadi serius. "Benar. Wanita elf itu punya spesies yang belum pernah kita temui di game."

“Apa itu?” tanya Jezebel, ikut serius.

"Aetherial Elf. Kamu tahu apa artinya?"

Jezebel duduk di ranjang dan menatap keluar jendela. "Kalau aku ingat, 'aetherial' itu terkait dengan sesuatu yang halus atau surgawi."

"Seperti makhluk gaib?"

"Iya," angguk Jezebel, lalu menoleh ke Mikael. "Kamu dapat informasi lain?"

“Iya, aku bisa membaca latar belakangnya, meski levelnya tetap tidak terbaca.”

"Itu aneh," kata Jezebel sambil menyilangkan kakinya. "Biasanya, kalau NPC musuh jauh lebih kuat dari kita, latar belakang mereka juga blank, bukan cuma levelnya. Tapi kenapa latar belakang elf itu bisa terbaca?"

“Mungkin … mungkin karena dia bukan NPC, tapi makhluk nyata di dunia ini. Jadi, mungkin beberapa sistem dan skill yang kita bawa dari game termodifikasi begitu kita pindah ke isekai.”

"Seperti aku tadi, tiba-tiba masuk mode pertempuran tanpa menekan simbol di antarmuka? Itu maksudmu?"

"Iya … dan itulah kenapa sekarang antarmuka atau HUD kita hilang. Tidak ada mini map, simbol gear, bar status, penunjuk arah, atau jendela quest yang biasanya di kiri layar."

Mendengar itu, Jezebel terlihat bersemangat dan punya ide. Ia bangkit dari ranjang dan berjalan anggun ke arah jendela yang terbuka.

Mikael mengamati Jezebel dari belakang, merasa sedikit tergoda namun segera mengurungkan niatnya dengan menggelengkan kepala. "Mau apa kamu?"

"Tunggu sebentar …." Jezebel memejamkan mata, mengangkat tangan ke depan, dan dari telapak tangannya muncul bola hitam kecil, sihir [Apocalypse dot]. Namun, sebelum sihir itu sepenuhnya aktif, Jezebel menutup telapak tangannya, membatalkannya.

"Wow, kok bisa?" tanya Mikael, terpukau. Sihir yang sudah aktif biasanya tidak bisa dibatalkan, tapi Jezebel melakukannya dengan mudah.

"Sepertinya kamu benar, Kak," kata Jezebel sambil tersenyum. "Cobalah, cepat!"

"Aku sebenarnya sudah tahu cara kerjanya saat pakai [eye of omniscience] tadi. Seharusnya aku pakai gestur seperti biasa, tapi rasanya pikiran terhubung langsung ke tubuh. Aku bisa pakai skill tanpa gestur atau perintah suara," jawab Mikael.

"Hah? Curang! Kenapa tidak bilang dari tadi, Kak?" Jezebel cemberut sambil menyilangkan tangan di depan dadanya.

"Hehehe … aku mau bilang, tapi kamu sudah keburu mencoba sendiri. Sekarang, apakah kamu bisa merasakan skill dan sihir seolah sudah menjadi bagian dari tubuh kita? Kamu bisa merasakannya, kan?"

Jezebel mengusap dagunya, berpikir. "Iya, benar juga. Dan sekarang, sepertinya sistem cooldown pada skill dan sihir juga sudah ikut menghilang."

Mikael mengangguk. "Betul. Meskipun aneh, dengan tapi tiba-tiba saja semua sistem, skill, dan sihir tertanam di tubuh kita, tapi kita tetap bisa merasakannya seakan sudah lama menjadi bagian dari tubuh kita. Kalau ini masih dalam DDVR, otak kita mungkin sudah overload karena terlalu banyak informasi."

Jezebel setuju, lalu kembali duduk di samping Mikael. "Kalau begitu, aku jadi kepikiran. Menurutmu, Kak, apa yang terjadi dengan tubuh kita di dunia nyata? Bagaimana dengan Ayah dan Ibu? Apakah mereka akan mencarikan kita?"

"Soal itu … ah, ngomong-ngomong tentang mereka. Kapan mereka peduli dengan kita? Mereka cuma peduli soal pewaris perusahaan."

“Tsk, kamu memang selalu begitu kalau soal mereka,” gumam Jezebel sambil menyandarkan kepalanya di bahu Mikael. "Semoga mereka tidak menemukan tubuh tak bernyawa kita."

“Hm,” Mikael membalas singkat.

Bersambung ....

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!