Karie yang ingin menjadi Sikerei kesatria Maya demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik semua halangan ia lewati, namun kakaknya selalu menghalangi jalannya dalam Menjadi Sikerei pilihan merelakan atau menggapainya akan memberikan bayaran yang berbeda, jalan mana yang ia pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Io Ahmad, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Salju pertama dan...
Tetua berdiri di tengah ruangan yang gelap, hanya diterangi oleh cahaya lilin yang berkelap-kelip. Suaranya menggema dengan penuh emosi, “Seribu tahun aku menunggu, membagi setiap Maya yang aku miliki pada setiap darahku yang mengalir, hanya untuk mendapati cangkang kosong?!”
Pengikutnya, dengan kepala tertunduk, menjawab penuh penyesalan, “Maafkan aku, Ibu. Selanjutnya, akan kucari kembali orang yang mewarisi sifat Maya yang Ibu maksud.”
Tetua menghela napas panjang, lalu berkata dengan lembut namun tegas, “Angkat kepalamu. Memang belum tiba saja takdirnya, namun mengintip dari pintu langit penglihatanku, ia telah lahir beberapa tahun terakhir. Ia sangat dekat, lebih dekat dari dua simpul yang terikat. Nampaknya bukan kita saja yang mencari ras kita. Temukan sebelum mereka yang terlebih dahulu mendapatkannya. Pergilah.”
Pengikut itu mengangguk dan bergegas keluar. Tetua kemudian memanggil salah satu pengawalnya, “Ia menyembunyikan sesuatu…” (memanggil salah satu pengawalnya) “Kirim surat ini padanya.”
Di tempat lain, seorang wanita berbicara dengan suaminya dengan nada cemas, “Sampai kapan, sayang, kita bisa menyembunyikannya?!”
Suaminya menjawab dengan tenang, “Supaya tidak curiga, kamu pergi saat aku membawa persembahan bulan depan pada Ibu. Kamu pergi terlebih dahulu bersama anak, aku akan menyusul.”
Ras Floral yang bersembunyi akhirnya ditemukan oleh aliansi Insani, Siluman, dan Nagha. Ketika diketahui bahwa ras Floral tidak bisa mengembalikan wujud Siluman dan Nagha tanpa bantuan Pohon Suci yang telah lama hilang, pemimpin Insani memperingatkan agar tidak memohon kepada Pohon Suci, karena hanya akan memperburuk keadaan. Akibatnya, terjadi pembantaian yang mengerikan terhadap ras Floral. Tanpa pandang bulu, baik perempuan maupun laki-laki, tua atau muda, semuanya dibantai dengan kejam. Kepala-kepala mereka dipenggal tanpa ampun. dan kepala yang terakhir, “Karie!!!”
Erin terbangun dengan napas tersengal-sengal, keringat dingin membasahi dahinya. Mimpi itu terasa begitu nyata, seolah-olah ia benar-benar berada di sana, menyaksikan setiap kejadian dengan mata kepalanya sendiri. Mimpi itu terasa seperti peringatan, sebuah pesan yang harus dipahami.
“Karie, di mana kamu?” Erin memanggil adiknya dengan suara gemetar.
Karie terbangun di pagi buta, matanya masih setengah tertutup. “Ada apa, Kak… Eh!!!” Tanpa aba-aba, Erin langsung memeluk tubuh Karie, memeriksa setiap bagian tubuhnya dengan cemas. “Kau baik-baik saja, tidak ada luka apapun, kan?”p
Karie yang keheranan hanya bisa berkata, “Iya, Kak. Aku baik-baik saja. Ada apa sebenarnya?”
Setelah perbincangan kecil di antara mereka dan sembari membersihkan diri, Erin mencoba menenangkan diri. “Kamu mau pergi ke mana, Karie?”
Karie menjawab dengan menghela nafas, “Aku mau ke pasar untuk membeli beberapa bahan makanan. Ini giliran ku untuk membuat sarapan, kan?”
Erin menatap Karie dengan mata yang masih menyimpan kekhawatiran, namun ia menutupinya dengan tersenyum. “Bagaimana kalau kita pergi bersama atau makan di luar sembari melihat persiapan festival musim dingin? Sepertinya akan menyenangkan.”
Karie mengangguk, meskipun masih terlihat sedikit bingung. “Tentu, Kak. Itu bisa jadi ide bagus. Aku juga ingin melihat persiapan festival.”
***
Malam itu, salju turun perlahan, menyelimuti jalanan dengan karpet putih yang memantulkan cahaya lentera. Orang-orang mulai keluar, bersemangat menanti kembang api yang akan menghiasi langit.
Hani menatap keluar jendela, matanya berbinar melihat keindahan malam itu. “Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang? Pembukaan malam ini pasti spektakuler. Tapi, kakakmu melarang kita keluar lagi?” tanyanya dengan nada kecewa.
Karie menghela napas panjang, duduk di sofa dengan wajah murung. “Aku juga bingung,” jawabnya pelan. “Kadang dia sangat menyenangkan, mengajak kita jalan-jalan atau makan di luar. Tapi, tiba-tiba saja dia bisa berubah, melarang ini dan itu.”
Hani mendekat, duduk di samping. “Mungkin ada alasan yang baik. Tapi, kita bisa menikmati malam ini dari sini juga, kan? Lihat, salju dan lentera itu indah sekali, bahkan kembang api masih dapat terlihat.”
Waktu terasa lebih cepat, dan malam pun semakin larut. Namun, larutnya malam tidak mengurangi semangat untuk menikmati festival musim dingin. Di distrik Seide, yang terkenal dengan rumah bordilnya, orang-orang berkumpul, mencari kehangatan jiwa dan raga di tengah dinginnya malam. Lampu-lampu berwarna-warni menghiasi jalanan, sementara suara musik dan tawa menggema di udara.
Senna memandang sekeliling dengan tatapan penuh cemooh. “Kenapa kau mengajak ke tempat rendahan seperti ini?” tanyanya dengan nada tajam.
Eon, yang tampak lebih santai, hanya tersenyum tipis. “Perjalanan dari Eden dan naik kapal kau pikir tidak melelahkan?!” jawabnya, sambil melangkah mendekati pintu rumah bordil. Seorang wanita dengan gaun mencolok menyambut mereka dengan senyum lebar.
“Pilar seperti ku butuh hiburan seperti ini untuk tetap tegak.” lanjut Eon, matanya terpaku tak berkedip sedikitpun. “Merpatiku memberitahu salah satu dari mereka ada di sini.”
Senna menghela napas panjang, namun mengikuti Eon masuk ke dalam. Di dalam, suasana lebih hangat dan ramai. Orang-orang tertawa, berbicara, dan menari, seolah-olah dunia luar yang dingin tidak ada. Senna tetap waspada, matanya terus mengawasi setiap sudut ruangan.
“Jangan terlalu tegang,” bisik Eon, mencoba menenangkan Senna. “Kita akan menemukan mereka. Ini akan lebih cepat dari yang kamu pikirkan.”
“Terserahlah…” jawab Senna dingin, tanpa sedikit pun menunjukkan emosi.
Eon tertawa kecil dan mencubit pipi Senna dengan lembut. “Jangan cemberut seperti itu. Tenang saja, semuanya akan berjalan dengan lancar, dan perhatiannya hanya akan tertuju padamu, Puteri Penakluk.”
Setelah satu mangkuk sup dan tiga gelas coklat panas, Senna merasa lelah menunggu. Akhirnya, ia memutuskan untuk mendatangi kamar tempat Eon berada. Saat membuka pintu, ia mendapati Eon yang tengah tertidur telanjang bulat, mengagetkan wanita di sampingnya.
“Maaf, aku hendak menjemputnya,” kata Senna dengan nada datar, tampak biasa melihatnya.
Wanita itu tampak terkejut, namun seketika menguasai diri. “Ah… iya, tapi sebelum itu izinkan saya membersihkan tubuh Tuan Eon terlebih dahulu. Nona bisa tunggu sebentar di luar,” jawabnya dengan sopan.
Wanita berambut perak tersebut membantu menenteng Eon sampai pintu keluar dan tak lama Eon terbangun, namun Senna menyadari sesuatu.
Senna memejamkan mata sejenak. Ketika ia membukanya kembali, pola bunga Peony yang indah muncul di matanya, memberikan kilatan merah muda. Ia langsung menatap Eon.
“Kenapa kamu menatapku dengan mata aneh itu?” tanya Eon, merasa sedikit tidak nyaman dengan perubahan mendadak pada Senna.
Senna tidak menanggapi perkataan Eon, hanya tersenyum tipis dan berkata, “Begitu ya… Bolehkah aku yang melakukannya untuk yang ini?” Wajahnya berubah menjadi kegirangan yang hampir tidak pernah terlihat sebelumnya.
Eon, masih kebingungan dengan perubahan sikap Senna, mengangguk perlahan. “Tentu?” jawabnya, nada suaranya penuh kebingungan.