Nadia, seorang siswi yang kerap menjadi korban bullying, diam-diam menyimpan perasaan kepada Ketua OSIS (Ketos) yang merupakan kakak kelasnya. Namun, apakah perasaan Nadia akan terbalas? Apakah Ketos, sebagai sosok pemimpin dan panutan, akan menerima cinta dari adik kelasnya?
Di tengah keraguan, Nadia memberanikan diri menyatakan cintanya di depan banyak siswa, menggunakan mikrofon sekolah. Keberaniannya itu mengejutkan semua orang, termasuk Ketos sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Banggultom Gultom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Pagi itu terasa dingin dan penuh ketegangan, seperti cuaca yang mencerminkan suasana hati di sekolah. Nadia berjalan cepat melewati gerbang sekolah, mengabaikan bisikan-bisikan siswa yang saling memandang dan mencoba menghindari tatapan yang penuh rasa ingin tahu. Ibunya, Dewi, melambaikan tangan dengan kekhawatiran, tetapi Nadia hanya menanggapi dengan senyum kecil yang dipaksakan sebelum melangkah masuk ke dalam sekolah, hatinya berdebar dengan cemas dan penasaran.
Sesampainya di kelas, Nadia mengarahkan langkahnya ke meja tanpa melihat ke sekeliling. Udara di dalam kelas terasa tebal, penuh dengan bisik-bisik dan pandangan yang memperhatikan. Namun, Cici, Imel, dan Dina sudah menunggunya di dekat meja, wajah mereka penuh dengan keangkuhan dan niat buruk yang tak terucapkan.
Imel menangkap rambut Nadia dengan kasar, menariknya hingga Nadia terhenti di tempat. Kelas yang semula riuh mendadak sunyi. Semua mata tertuju pada mereka dengan rasa ingin tahu yang menyesakkan. Dengan kasar, Imel dan Dina memaksa Nadia duduk di kursi di tengah kelas, sementara Cici berdiri dengan senyum jahat di wajahnya, matanya berkilau penuh kemenangan.
“Nadia, lihat! Kancing bajumu terlepas. Ternyata ini bagian dalam dari ‘body gitar’ Indonesia kita,” cibir Cici sambil tertawa, diikuti oleh tawa Imel dan Dina yang membuat suasana di kelas semakin menegangkan. Siswa-siswa saling berpandangan, beberapa menahan napas, sementara lainnya menatap ke arah Nadia dengan rasa simpati dan rasa takut.
Tiba-tiba, tanpa berpikir panjang, Nadia mengangkat kaki kanannya dan menendang Cici dengan keras. Cici terhuyung, darah mengalir dari sudut bibirnya, tetapi alih-alih merasa kesakitan, Cici malah tertawa terbahak-bahak, suaranya menyebar ke seluruh kelas. Itu membuat Nadia semakin marah, darahnya mendidih melihat tingkah laku mereka yang tak punya rasa malu.
“Jangan hanya diam, Nad!” teriak Cici, seolah menantang, matanya yang tajam menatap dengan penuh kebencian.
Dengan penuh keberanian, Nadia berdiri dan menampar Cici, Imel, dan Dina satu per satu. Suara tamparan yang keras mengisi kelas, membuat para siswa terkejut dan terdiam, beberapa bahkan menutup mulut, tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. “Kalian pikir ibu dan ayah kalian tidak kecewa melihat kalian seperti ini? Ayahku yang sudah tiada, masih mengajarkan sikap melalui mimpiku. Kalian? Ayah kalian yang hidup itu, seorang pengusaha, donatur terbesar beasiswa, tapi kalian malah bodoh dan gila,” ujar Nadia dengan amarah yang membara, suaranya menggema di seluruh ruangan.
Cici terpana, wajahnya berubah terkejut, mulutnya terkatup rapat. “Apa kecewa? Tentu tidak, Nad! Cukup ceramahmu itu, yang tidak tahu apa-apa! Kau tahu ibu Desi sudah lama tidak mengajar? Kau tahu ibu Mira yang ingin menggantikan ibu Desi juga pergi? Kau tahu apa yang aku lakukan agar kamu kalah dalam menjadi anggota OSIS kedisiplinan?” Cici melontarkan kata-kata itu dengan penuh kebencian, setiap kata seolah menusuk, memperlihatkan kekesalannya yang mendalam.
Nadia memandang Cici dengan mata yang menyala, mata itu tidak hanya penuh kemarahan, tetapi juga penuh kebencian dan kesedihan yang mendalam. “Itu semua sudah saya atur, Nad. Kau hanya bisa menikmati apa yang sudah saya siapkan untukmu, bodoh!” teriak Cici, suara penuh tantangan dan amarah.
Nadia menghembuskan napas panjang, menatap Cici, Imel, dan Dina dengan mata penuh kebencian dan kesedihan yang sulit diungkapkan. “Tutup mulutmu yang kotor itu, Cici. Kau sama seperti ayahmu, hanya mampu menindas orang lain tanpa pernah introspeksi diri,” kata Nadia, suaranya keras dan penuh penekanan, membuat seisi kelas terdiam, seolah waktu berhenti sejenak.
Kelas itu sunyi, udara terasa menekan dan sepi, seakan menghormati ketegangan yang sedang terjadi. Beberapa siswa menatap Nadia dengan rasa kagum dan ketakutan, sementara Cici, Imel, dan Dina hanya bisa terpaku, tidak tahu harus berkata apa, wajah mereka berubah pucat dan tanpa daya. Nadia menatap tajam ke arah Cici, lalu kembali duduk di kursinya, tubuhnya bergetar tetapi matanya tetap penuh tekad dan api semangat yang menyala.
Hari itu, Nadia tahu bahwa ia telah melawan, dan ini baru permulaan. Ia tak hanya menunjukkan keberanian, tetapi juga melepaskan sebagian dari beban berat yang sudah terlalu lama dia tanggung. Ada perasaan lega yang mengalir dalam dirinya, sebuah sinyal bahwa dia tidak lagi takut untuk berdiri di atas kakinya sendiri.
semangat