Menjadi pedagang antar dua dunia? Apakah itu memungkinkan?
Setelah kepergian kakeknya, Sagara mewarisi sebuah rumah mewah tiga lantai yang dikelilingi halaman luas. Awalnya, Sagara berencana menjual rumah itu agar dapat membeli tempat tinggal yang lebih kecil dan memanfaatkan sisa uangnya untuk kebutuhan sehari-hari. Namun, saat seorang calon pembeli datang, Sagara tiba-tiba mengurungkan niatnya. Sebab, dia telah menemukan sesuatu yang mengejutkan di belakang rumah tersebut, sesuatu yang mengubah pandangannya sepenuhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kata Pandu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 4 : Kediaman Adyatama
Matahari mulai merambat turun saat anak panah jarum jam menunjuk angka dua belas, menandakan detik terakhir saat jam mata kuliah itu telah berakhir. Sagara mengemasi buku-bukunya dengan pikiran yang setengah melayang. Kemudian dia keluar dari ruang kuliah dengan langkah yang terasa berat. Otaknya masih sibuk memikirkan rencananya untuk mengunjungi rumah warisan kakeknya. Ketika dia melangkah keluar dari belakang gedung kampus dan berjalan menuju tempat parkiran, Lucas sudah menunggunya di samping mobil sport merah miliknya, melambaikan tangan dengan antusias ke arahnya. Sebelumnya anak itu sudah sempat mengabari lewat pesan singkat bahwa dia akan menjemput Sagara setelah kuliahnya selesai.
"Lu dari mana aja? Kok tadi ga masuk kelas?" tanya Sagara heran.
"Iya, gua kesiangan bangun," balas Lucas sambil cengengesan.
Memang ada-ada saja alasan Lucas setiap kali dia tidak masuk kelas, Sagara hanya bisa menghela napas dan menggelengkan kepalanya karena heran. Padahal hari itu kelas dimulai jam sepuluh, bagaimana ceritanya dia kesiangan sampai tidak bisa hadir bahkan terlambat? Apa dia sapi? Sampai bangun lebih siang dari itu?
"Dah lah terserah lu, gua dah ingetin ya, kehadiran di mata kuliah Pak Leo ini menentukan kelulusan mata kuliahnya. Jadi lu jangan sering-sering skip," ucap Sagara.
"Siap Pak Bos! Jangan serius-serius gitu atuh, kan kita mau jalan-jalan."
Sagara mengangkat alisnya dan setengah tersenyum. “Heh, lu itu cuma nganterin gua sampe halte bus, jadi gak usah lebay.”
Lucas menepuk kap mobilnya, “Ayolah, Ga. Gua bisa anter lu sampai depan rumahnya loh. Gak repot juga buat gua.”
Sagara menggeleng pelan, lalu melempar tasnya ke kursi belakang mobil Lucas. “No! Kita udah ngomongin ini dari kemarin ya. Gua mau pergi sendiri. Lu tahu kan, ini pertama kalinya gua ke rumah itu. Gua mau tau kondisinya dulu."
Lucas merenggut, lalu mengangkat bahu. “Oke, fine. Tapi kalo lu butuh apa-apa, langsung telpon gua. Serius, jangan sungkan.”
Sagara mengangguk, tersenyum kecil. “Pasti, tenang aja.”
Mobil sport itu pun melaju meninggalkan tempat parkiran. Lucas mengendarai mobilnya sembari mengobrol dengan Sagara. Begitu sampai di tempat tujuan, Lucas menepikan mobilnya di dekat halte bus yang sepi. Kemudian Sagara membuka pintu mobil dan melangkah keluar. Angin sore menerpa wajahnya saat dia berdiri di atas trotoar.
"Lo yakin ga mau gue anterin sampe rumahnya?" tanya Lucas lagi dari dalam mobil, dia membantu mengangkat koper milik Sagara dan menyerahkannya.
Sagara menggeleng dengan yakin. "Makasih udah nganterin sampe sini."
Lucas menarik napas panjang, lalu tersenyum. "Oke, Bro. Kalo ada apa-apa, lu telepon gua ya. Jangan sok jadi pahlawan, biar gua aja."
Sagara tertawa kecil. "Gampang, santai aja."
Lucas mengacungkan jempolnya sebelum melaju pergi. Sagara menunggu sampai mobil itu hilang di tikungan sebelum menaiki bus yang akan membawanya ke kota seberang.
Sekitar satu jam kemudian, Sagara turun dari bus dan menemukan dirinya di depan sebuah gerbang besar yang tampak kuno namun kokoh. Dia mengernyit saat melihat gerbang itu sedikit terbuka. Tidak ada tanda-tanda seseorang yang menjaganya, hanya keheningan yang menyelimuti halaman luas di balik gerbang tersebut.
"Hmm, aneh," gumamnya pelan.
Dengan hati-hati, Sagara mendorong gerbang itu lebih lebar dan melangkah masuk. Langkahnya nyaris tidak terdengar saat dia berjalan menuju bangunan megah yang ada di ujung sana. Sesampainya di halaman depan, Sagara terpesona oleh pemandangan yang terhampar di depannya. Taman yang terawat dengan rapi, pepohonan besar yang menaungi beberapa sudut, dan rumah besar bergaya klasik yang berdiri megah di tengahnya. Segala sesuatu di tempat ini memancarkan aura kejayaan di masa lalu.
"Gila! Gua tau kakek itu kaya, tapi ga nyangka bakal sekaya ini," bisik Sagara pada dirinya sendiri.
Sagara mulai menjelajahi halaman rumah itu dengan perasaan canggung, seperti maling yang takut ketahuan. Dia mendekati pintu depan yang besar dan berat, dan saat hendak mengetuk, pintu itu tiba-tiba terbuka dari arah dalam. Seorang pria berusia sekitar lima puluh tahun dengan wajah ramah muncul dari balik pintu.
"Selamat datang, Tuan Sagara," katanya dengan suara tenang namun penuh wibawa. "Saya Fransiskus, asisten pribadi mendiang kakek Anda."
Sagara terkejut. "Anda tahu siapa saya?"
Fransiskus tersenyum tipis. "Tentu saja. Kami sudah menunggu Anda."
"Silakan masuk," lanjutnya.
Sagara melangkah masuk, dan seketika itu juga dia disambut oleh beberapa wajah lain yang muncul dari berbagai penjuru rumah. Ada Emma, si kepala pelayan wanita dengan wajah keibuan, Brigita dan kawan-kawan pelayan wanita yang segera berkumpul dengan penuh hormat, serta beberapa pria lain yang tampaknya memiliki peran berbeda di rumah ini.
"Eh, rame juga ya?" gumam Sagara, merasa sedikit gugup dengan perhatian yang tiba-tiba tertuju padanya.
Emma mendekat dengan senyum lembut. "Kami sangat senang akhirnya Anda datang, Tuan Sagara. Rumah ini telah lama menanti kehadiran pewarisnya."
Sagara mengangguk kikuk. "Iya, Gua... eh, maksud saya, saya ke sini mau lihat-liat dan... emm... berhubung ada banyak pekerja yang berkumpul di tempat ini, jadi sebaiknya sekalian saya ingin membicarakan banyak hal mengenai rumah warisan ini dan keadaan saya yang sekarang."
Para pekerja saling pandang, dan Fransiskus yang pertama kali berbicara lagi. "Kami paham, Tuan Sagara. Tentu ada banyak hal yang perlu dibicarakan. Mengapa tidak kita mulai dengan sedikit tur di rumah ini?"
Sagara mengangguk lagi. "Boleh, kalau begitu."
Fransiskus pun dengan senang hati memimpin jalan, menunjukkan setiap sudut rumah yang megah namun terasa dingin dan sepi ini. Sesekali Sagara mencuri pandang ke arah pekerja lain yang tampak ingin tahu tapi juga waspada.
"Saya ga bohong, ini rumah besar banget," kata Sagara sambil menggaruk kepala. "Tapi saya ga tau apa bisa ngurusnya. Apalagi sekarang keadaannya lagi… yah, begini."
Fransiskus berhenti di tengah aula besar dan memutar tubuhnya menghadap Sagara. "Kami paham situasi Anda, Tuan Sagara. Jika saya boleh bertanya, apa rencana Anda untuk rumah ini?"
Sagara menghela napas. "Jujur saja ya, Pak Fransiskus. Kondisi keuangan saya saat ini sangat buruk. Saya ga mungkin bisa menggaji orang-orang yang bekerja di sini, apalagi mengurus pengeluaran rumah sebesar ini. Saya pikir jalan satu-satunya adalah menjual rumah ini."
Wajah Fransiskus tak menunjukkan banyak perubahan, tetapi Emma dan beberapa pekerja lain yang diam-diam menguping tampak terkejut dan berubah cemas.
"Tapi, Tuan, rumah ini sudah menjadi bagian dari keluarga Adyatama selama bertahun-tahun," kata Emma dengan nada memohon. "Kami sudah lama mengabdi di sini. Banyak dari kami tidak punya tempat lain untuk pergi. Kami... tidak ingin meninggalkan rumah ini. Saya pribadi tidak masalah jika tidak digaji."
Sagara menatap ke arah mereka, dirinya mendadak menjadi merasa serba salah. "Saya ngerti, tapi saya benar-benar tidak memiliki uang. Saya tidak bisa menggantikan peran kakek saya yang kaya raya, hidup saya selama ini sangat miskin. Saya juga ga akan mungkin memaksa kalian buat kerja tanpa digaji."
Fransiskus mengangkat tangan untuk menenangkan suasana. "Mungkin ada cara lain yang bisa kita pertimbangkan, Tuan. Mari kita bicara lebih lanjut, tapi untuk sekarang, mungkin sebaiknya Anda beristirahat dulu. Perjalanan Anda pasti melelahkan."
Sagara ragu-ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk setuju. "Oke, saya juga merasa sedikit cape. Pak Fransiskus, tolong antarkan saya untuk istirahat."
"Baiklah," kata Fransiskus sambil memberi isyarat pada yang lain untuk melanjutkan tugas mereka. "Mari, saya antar ke kamar yang sudah kami siapkan untuk Anda."
Sagara kemudian mengikuti Fransiskus, dia merasa sedikit lebih tenang, tapi tetap bingung dengan segala hal yang harus dia pertimbangkan. Hari ini mungkin baru saja dimulai, tapi perasaan berat itu sudah mulai menghimpit lagi.