Kanesa Alfira, yang baru saja mengambil keputusan berani untuk mengundurkan diri dari Tano Group setelah enam tahun dedikasi dan kerja keras, merencanakan liburan sebagai penutup perjalanan kariernya. Dia memilih pulau Komodo sebagai destinasi selama dua minggu untuk mereguk kebebasan dan ketenangan. Namun, nasib seolah bermain-main dengannya ketika liburan tersebut justru mempertemukannya dengan mantan suami dan mantan bosnya, Refaldi Tano. Kejadian tak terduga mulai mewarnai masa liburannya, termasuk kabar mengejutkan tentang kehamilan yang mulai berkembang di rahimnya. Situasi semakin rumit dan kacau ketika Kanesa menyadari kenyataan pahit bahwa dia ternyata belum pernah bercerai secara resmi dengan Refaldi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jojo ans, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 4
"Mbak, nggak apa-apa kita sewa sampai dengan restorannya?" tanya Lilis dengan wajah sedikit panik.
"Nggak apa-apa," balasku kalem.
Mereka tidak tahu saja bahwa aku baru saja mendapatkan uang pesangon dan hadiah fantastis dari perusahaan dan mertuaku. Eh mantan mertua maksudku.
"Nggak usah nggak enak gitu Lis, pesangon manager mah seharga mobil," seru Dedi.
"Beneran Mbak?" tanya Miranda dengan antusias.
"Ya, tambah dikit udah bisa beli cash." Jawabanku membuat hampir semua
orang yang ada di sana menjerit. "Makanya kerja yang rajin Mir," sahut Mas Gibran disertai kekehan.
"IQ di bawah 100 nggak mungkinlah sampai diangkat jadi mananger," ejek Deon.
"Ish!" kesal Miranda.
Aku malah terkekeh melihat tingkah mereka.
"Yuk pesan. Habisin uang pesangon mbak Nesa," teriak Sania yang akhirnya memutuskan perang diantara Deon dan Miranda.
"Mbak, setelah ini mau langsung pulang ke Bandung?" tanya Deon
setelah melahap sushinya. "Nggak tahu juga, tapi pengennya gitu.
Cuman kayaknya mau pergi liburan." Aku hanya memesan salad buah, hari ini lagi tidak berselera.
"Widihh, liburan pakai uang pesangon," seru Mas Dedi dan yang lain pada ikutan berseru.
"Liburan sekalian nyari penggantinya pak Adi deh kayaknya," ucap Miranda sembari menyenggol pinganggku
dengan siku tangannya. "Kalau belum nikah, aku udah menjadi
pendaftar pertama Nes." Aku menepuk pundak Mas Gibran,
lelaki yang berusia 3 tahun lebih tua dariku itu malah cengengesan. "Ingat bini dan anak Mas," tutur Lilis mengingatkan.
Tapi tenang saja, Mas Gibran itu adalah tipe laki-laki yang setia pada
istri. Dia hanya sering menggombal tapi tidak berani bertingkah lebih dari itu. Rasanya pengen dapat tipe suami seperti Mas Gibran.
"Eh ngomong-ngomong tentang Pak Adi, kok bisa ya nggak ada hubungan apa-apa sama Tatiana? Si mak lampir
malah mau tunangan sama orang lain."
Lagi-lagi Deon membuka acara rumpi,
aku jadi ragu kalau dia itu laki-laki tulen atau laki-laki jadi-jadian. Kalian bisa lihat sendiri mulutnya yang
cerewet.
"Iya, udah jadi pelakor eh malah tiba-tiba tunangan. Kalau kata Mbak Nesa jangan sampai dia nikah sama suami orang.
Mereka terbahak sementara aku hanya mengulas senyum tipis. Tidak selera juga tertawa saat ini. "Mbak kok kayak nggak senang gitu?"
Sania, orang pertama yang menyadari. "Nggak apa-apa, Mbak cuman nggak
enak badan aja," kilahku. Entah kenapa hari ini aku tidak bersemangat, padahal harusnya ini
menjadi hari bebasku. "Mbak nggak rela pisah sama Pak Adi?"
Aku melotot mendengar ucapan Miranda, enak saja dia menuduhku belum move on.
"Enak aja, Mbak malah senang terbebas dari kantor dan mantan suami. Mbak mau refreshing serta cari jodoh," belaku.
Siapa juga yang sedih karena berpisah dengan Mas Adi? Aku malah berdoa
setelah ini tak bertemu lagi dengannya. "Udah, makan dulu. Udah ditraktir
sama Mbak Nesa malah dianggurin," sahut Lilis dan kami pun kembali
dengan aktivitas makan malam.
Mataku sudah benar-benar
mengantuk, untung saja aku tadi masih
bisa mengemudikan mobil dengan baik. Sambil menunggu lift terbuka aku mengecek ponselku untuk melihat sudah pukul berapa kira-kira saat ini.
23.20 WIB
Ya ampun kami terlalu keasikan
makan malam sambil ngerumpi banyak hal hingga banyak waktu yang terlewat. Namun rasanya nggak
habis-habis bahan pembicaraan mulai dari masalah gaji, pimpinan,
sampai kisah cinta lokasi para OB
dan OG. Kapan lagi aku merasakan
momen-momen seperti ini, kalau sudah pulang ke Bandung sudah pasti
lain lagi ceritanya. Aku pasti akan merindukan mereka.
Sampai di depan apartemenku aku mengernyit pelan. Ada sebuah paket
dengan boks berwarna coklat yang sudah dirangkai dengan pita bunga di
atasnya. Apa ini?
Aku melihat ke kiri dan kanan untuk
memastikan kalau paket ini memang untukku. Tapi tidak mungkin milik orang lain sedangkan barangnya berada tepat di depan pintu
apartemenku. Tapi ini bukan bom kan?
Tiba-tiba aku jadi parno karena ingat beberapa kasus bom bunuh diri atau bom paket yang diigunakan para
teroris. Tapi tidak mungkin karena benda ini sudah pasti melewati pintu metal detector di lantai bawah.
Dengan bingung aku memutuskan itu membawa paket itu masuk ke dalam apartemenku.
Setelah membersihkan diri, rasanya aku ingin sekali rebahan karena sudah sangat mengantuk namun rasa
penasaran akan isi paket itu juga
sedang melanda pikiranku.
Dengan sedikit malas aku menyeret
kakiku sampai ke sofa ruang tengah
tempat di mana tadi aku meninggalkan benda itu. Dengan penuh hati-hati dan penuh perasaan aku membuka
paket itu dan terpampang nyatalah
di sana ada sebuah gaun yang sangat
cantik dan menggiurkan untuk segera.
dipakai.
Saat mengambil gaun itu ada sebuah surat yang jatuh dari atasnya.
Ternyata itu merupakan sebuah undangan yang di dalamnya bertuliskan pertunangannya Gisha dan
Daru.
"Pergi tidak ya?"
Tapi kemungkinan untuk bertemu dengan Mas Adi sangat-sangat tinggi,
jelaslah pemilik acara itu adalah
adiknya sendiri. Namun kalau tidak
datang rasanya tidak enak, aku pernah menjadi bagian dari keluarga mereka.
Lagian aku baru saja mendapatkan hadiah fantastis dari mami dan papi,
sangat tidak tahu malu kalau aku tidak datang.
Notifikasi pesan whatsapp di ponselku terdengar. Aku mengambil benda
persegi itu dari atas meja.
Gisha Tano Mbak Nes, udah sampai paketnya
nggak? Gaunnya Pas nggak?
Jangan sampai nggak datang ya. Kalau nggak datang, aku marah Lho!
Aku menghela napas, sepertinya aku memang harus pergi.