Penasaran dengan kisahnya yuk lansung aja kita baca....
Yuk ramaikan...
Sebelum lanjut membaca jangan lupa follow, like, subscribe , gife, vote and komen yah....
Teruntuk yang sudah membaca lanjut terus, dan untuk yang belum hayuk segera merapat dan langsung aja ke cerita nya....
Selamat membaca....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Malam beranjak larut. Perutku rasanya lapar sekali. Tadi makan bersama Arumi dan mama, sampai sekarang tidak masuk sesuatu apapun lagi ke dalam lambungku.
Aku berjalan ke dapur, mencari apa saja yang bisa dimakan sebagai pengganjal perut. Di dalam kulkas hanya tersimpan bahan mentah. Lalu kubuka-buka lemari untuk mencari mie instan.
"Mas ngapain?"
Aku terlonjak. Arumi sudah berdiri di belakangku.
"Ada mie instan?" Sekarang sudah larut malam, mungkinkah Arumi juga lapar sepertiku?
Ah, kebiasaannya saja aku tak paham.pasangan yang akan saling melengkapi? Rasanya tidak akan mungkin. Bagaimana mungkin kami menjadi pasangan yang saling melengkapi rasanya tidak mungkin ?
"Rum nggak pernah menyetok mie instan. Aku buatkan nasi goreng ya?" dia menawarkan.
"Nggak usah. Kamu belum sembuh benar."
"Sudah sembuh kok. Kan sudah minum obat. Aku buatkan dulu ya? Kebetulan aku juga lapar. Mas duduk dulu di sini. Nggak akan lama, sepuluh menit." Arumi merentangkan kesepuluh jemarinya.
Aku terpaksa menurutimu, menarik kursi dan duduk menghadap meja untuk menunggu Arumi. Jujur, aku tak menyukai nasi goreng. Tapi, karena Arumi sudah menawarkannya, jadi tidak mungkin aku tolak. Lagipula, mungkin bagi Arumi, nasi goreng adalah makanan paling simpel yang bisa ia buat untuk makan kami.
Aku memperhatikan punggung wanita yang bergerak bebas kesana-kemari. Mersci bumbu, mengambi telur, dadarnya, lalu berganti menggoreng bumbu yang sudah dihaluskan hingga terciuman aroma sedap yang menggunggah selera. Tiba-tiba aku merasa tidak sabar ingin segera mencicipinya. Padahal sebelumnya, makan nasi goreng adalah kesempatan yang paling kuhindari. Sekarang, hanya mencium aroma bumbu yang digoreng Arumi saja, aku sudah tak sabar lagi.
Arumi bergerak cepat mencampurkan nasi ke dalam penggorengan, menambah bumbu-bumbu yang entah tak bisa kuhafal satu persatu. Mengaduknya hingga beberapa saat, mencicipi dan berakhir dengan mematikan kompor.
Arumi berbalik,menatapku.
"Aku baru ingat kalau Mas Aris nggak suka nasi goreng."
Tau darimana dia? Aku takpernah sebocor itu menceritakan hal sepele seperti ini.
"Mama yang bilang. Aku ganti membeli mie instan ya? Mini market di depan rumah sepertinya masih buka."
"Jangan, nggak usah. Aku mau mencicipi nasi goreng buatanmu."
"Tapi, Mas kan nggak suka? Jangan dipaksa. Aku keluar sebentar saja—“
"Nggak usah, Rum," selaku melarangnya. "Nggak suka bukan berarti nggak doyan. pindahkan ke piring. Aku sudah lapar."
"Em, iya-iya. Tunggu sebentar."
Arumi malah terlihat gugup. Ia buru-buru mengambil dua piring, memindahkan nasi dan menambahkan telur ceplok di atasnya, menghidangkan di depanku. "Sudah siap," ucapnya. Dia beralih meraih dua gelas dan air putih.
"Makanlah, Mas." Dia menawarkan.
Aku menatap sepiring nasi goreng porsi menggunung. Di di dalamnya ada campuran sosis ayam suwir. Paling atas ada taburan bawang goreng dan telur ceplok. Menggiurkan kelihatannya.
"Dicicip dulu. Kalau nggak suka, jangan memaksa di makan," ucap Arumi.
Tak ada salahnya mencicipi. Kuarahkan sendok ke gundukan nasi, menyendok dan menyuapkan ke dalam mulut. Aku mengunyah dalam diam, terinjak Arumi memperhatikan gerak bibirku. Lalu kepergok olehku, dia buru-buru mengalihkan pandangan pada nasi goreng di depannya.
"Enak,” celetukku.
Sontak, Arumi mengangkat wajah. Meskipun tertutup cadar, aku yakin dia sedang tersenyum puas. Setidaknya dari gerak matanya.
Aku menggerakkan sendok, menyuap lagi dan lagi, hingga gundukan nasi yang berwarna kemerahan perlahan menyusut. Kupikir, aku hanya akan mencicipi beberapa sendok saja hanya untuk menghargai Arumi. Tetapi nyatanya,piring di depanku saat ini sudah kosong.
Sendok kuletakkan, kuamati Arumi yang menatapku dalam diam. Kurasa,dia sedang heran.
"Aku lupa kalau kamu jago di dapur. Tapi kupikir, kamu cuma mahirnya membuat kue saja. Enak, kok. Nasi gorengnya enak. Ini pertama kalinya aku menghabiskan nasi goreng, porsi jumbo lagi."
Arumi meletakkan sendoknya, lalu menjawab, " Tadinya, Rum sudah khawatir kalau-kalau Mas Aris nggak doyan."
Seenak ini, mana mungkin aku bilang nggak doyan?
"Sudah aku bilang, nggak suka bukan berarti nggak doyan ."
"Lain kali, aku buatkan lagi untuk Mas Aris."
Haruskah kukatakan padanya, Kapan-kapan kalau aku menginap lagi di sini lagi?
Rasanya, kok tidak lantas sekali.
"Ya, kalau menginap lagi di sini."
"Mas ini lucu sih! Ini kan rumahmu, kenapa jadi segan begitu? Setiap hari di sini juga nggak apa-apa kali, Mas. Atau aku kirimkan makannya ke kantor?"
Ke kantor? Arumi ke kantorku, begitu maksudnya?
"Eh, jangan. Maksudku, nggak usah repot-repot. Aku akan ke sini lagi besok."
"Nggak usah dijadwalkan, Mas. Kapanpun Mas mau datang, ya datang aja."
Arumi beranjak membawa serta dua piring bekas makan kami.
"Aku tau kok," ucapan Arumi sengaja dijeda, dia menoleh sesaat, seperti memastikan kalau aku juga memandangnya. Setelah itu, melanjutkan lagi perkataannya,
"Mas Aris tidak mungkin mau aku datang ke kantor. Mas malu mempunyai istri seperti Rum kan? Tapi nggak apa-apa. Rum nggak
akan tersinggung. Wajar Mas melakukan itu. Memang tidak semua orang bisa memahami keadaanku. Aku juga tidak mungkin
memaksakan orang-orang harus mengerti kondisiku. Jadi, tenang saja. Rum tidak akan
menuntut apa-apa dari Mas Aris."
Kok, rasanya sakit begini mendengar pengakuan Arumi. Tak dapat kupungkiri, bahwa ucapannya adalah sebuah fakta.
" Maaf, maafkan aku Rum," jawabku sangat menyesal. Tapi memang demikianlah kenyataannya.
"Aku nggak marah kok, Mas. Nggak apa-apa. Seperti Mas Aris yang memahami kekeliruanku, aku juga begitu. Bisa memaklumi keputusan Mas Aris."
"Kekeliruanmu yang mana ?" tanyaku tak dapat menebak.
"Aku yang belum bisa membuka cadar di depanmu sehingga membuat Mas Aris malah enggan bersamaku."
"Sudah, jangan dibahas. Dibuka semakin berkata jujur, semakin sakit hati nanti kamu, Rum. Sudah malam. Istirahatlah. Besok kalau masih sakit kepala, periksa saja ke dokter. Mungkin ada benturan di kepalamu."
Ucapanku menjadi penutup percakapan kami tentang diri masing-masing. Selanjutnya hanya basa-basi menjelang tidur yang sama-sama kami tunjukkan.
Aku dan Arumi berada di dalam satu kamar yang sama, satu ranjang dan satu selimut. Namun, rasanya tetaplah asing, kami seperti orang lain. Arumi miring menghadapku, masih mengenakan cadarnya. Aku sendiri nyaman dengan posisi terlentang.
Wanita di sampingku memejam, mungkin sudah terlelap. Tapi aku masih saja gelisah begini. Kutatap wajah yang hanya menampakkan bagian mata saja. Dalam bayanganku, seluruh wajah Arumi dapat kulihat dengan jelas, bagaimana bentuk bibirnya, pipi putihnya, dagunya yang panjang dengan tai lalat di tengahnya, kemudian hidungnya yang bangir.
Arumi benar-benar membuatku tidak bisa tidur malam ini.
Aku berangkat ke kantor dengan kepala yang berdenyut. Semalam, aku tidur hampir subuh. Baru memejam beberapa menit, Arumi sudah membangunkan aku untuk sholat.
****************