Lima tahun lalu, Liliane Lakovelli kehilangan segalanya ketika Kian Marchetti—pria yang dicintainya—menembak mati ayahnya. Dikhianati, ia melarikan diri ke Jepang, mengganti identitas, dan diam-diam membesarkan putra mereka, Kin.
Kini, takdir mempertemukan mereka kembali. Kian tak menyadari bahwa wanita di balik restoran Italia yang menarik perhatiannya adalah Liliane. Namun, pertemuan mereka bukan hanya tentang cinta yang tersisa, tetapi juga dendam dan rahasia kelam yang belum terungkap.
Saat kebenaran terkuak, masa lalu menuntut balas. Di antara cinta dan bahaya, Kian dan Liliane harus memilih: saling menghancurkan atau bertahan bersama dalam permainan yang bisa membinasakan mereka berdua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caesarikai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tetap Teguh
Kian tidak pergi. Setelah diusir oleh keluarga Kaneshiro, Kian memaksa untuk tetap berada di sana. Pria itu duduk di ruang tunggu paviliun rawat inap yang letaknya tidak jauh dari kamar rawat Kin, sehingga dia bisa memantau gerak gerik di sana meski ada beberapa bodyguard yang berjaga di depan pintu.
Kian terkekeh sinis saat melihat para bodyguard itu. Tebakannya tepat sasaran, tato phoenix api biru yang berada di samping leher para pengawal seolah menjelaskan semuanya. Kin benar-benar keturunan Kaneshiro, dan Liliane ... dia mungkin anak dari putri Takeshi, Kaneshiro Morina.
Kian mengerutkan keningnya. Selama menjalin hubungan asmara dengan Liliane sebelumnya, gadis itu tak pernah mengungkit tentang sang ibu yang meninggal setelah melahirkannya. Oleh karena itu Kian tidak tahu siapa nama ibu Liliane. Namun, melihat foto Kaneshiro Morina dan wajah Liliane yang begitu mirip, membuat Kian dapat menyimpulkannya dengan cepat.
"Tidak, kau harus segera menemukannya. Dia pasti akan bergerak cepat setelah mengetahui semuanya."
Atensi Kian direbut oleh seorang lelaki yang memasuki paviliun dengan bertelepon. Tatapan mereka bertemu, dan lelaki itu menghentikan langkahnya. Ia mematikan panggilan suara dan memasukkan ponselnya ke saku celana.
"Kenapa kau masih di sini, Tuan?" tanya Ryuu dengan tatapan bingung. Benar, lelaki itu adalah Ryuu.
Kian menghendikkan bahunya acuh. "Apa pedulimu." Balasnya dengan nada tak ramah. Tentu saja, suasana hatinya sedang buruk malam ini, apalagi setelah perdebatan yang panjang dengan Liliane dan Takeshi.
Saat Ryuu akan membalas lagi, tiba-tiba Takeshi terlihat keluar dari kamar rawat Kin. Pria paruh baya itu menghampiri mereka. Tatapannya tajam menusuk, auranya terlihat gelap. Seperti itulah Kaneshiro Takeshi.
Tanpa Kian sadari, sejak tadi Takeshi mendapat laporan dari anak buahnya yang melaporkan tentang Kian. Takeshi tidak ingin Liliane tahu jika Kian masih ada di sini, sehingga Takeshi memilih keluar untuk mengusirnya langsung.
"Pulanglah, Ryuu. Ini sudah malam. Biar aku yang menemani cucuku." Ucap Takeshi pada Ryuu setelah sampai di ruang tunggu.
Kemudian Takeshi beralih pada Kian. Matanya menatap Kian dengan sorot yang tajam. "Dan kau, Marchetti. Sebaiknya kau juga pulang. Bukankah sudah jelas yang dikatakan Yuri tadi? Lebih baik kau tidak menambah beban pikiran cucuku, jika kau mau semuanya selesai dengan kekeluargaan."
Kian berdecih sinis. "Aku tidak akan pergi. Kin juga putraku. Aku berhak untuk menemaninya di saat-saat seperti ini."
Takeshi tidak menjawab Kian secara langsung. Ia justru menatap Ryuu. "Pergilah, Ryuu."
Karena perintah halus itu, Ryuu akhirnya pergi tanpa bertanya lebih lanjut. Ia membiarkan keluarga itu menyelesaikan masalahnya lebih dulu.
Kian berdiri dengan kedua tangan di saku celananya, bahunya tegap, wajahnya tak menunjukkan sedikit pun kegundahan, meskipun pikirannya kacau. Tatapannya dingin, seakan menantang siapa pun yang berani menyuruhnya pergi.
Sementara itu, Takeshi berdiri beberapa langkah di depannya. Pria tua itu menatapnya dengan ekspresi yang sama dinginnya. Dua pria, sama-sama memiliki wibawa dan keteguhan hati, saling berhadapan tanpa ada yang ingin mengalah. Jelas, pria seperti mereka tidak pernah dituntut untuk mengalah.
"Aku akan tetap di sini," suara Kian rendah, tetapi tajam. "Kin adalah anakku. Aku tidak akan pergi begitu saja."
Takeshi menyipitkan matanya. "Tidak ada gunanya kau di sini. Dia sudah selamat dan sedang beristirahat. Terimakasih atas donor darah darimu. Tapi keberadaanmu hanya akan membuat keadaan semakin sulit."
Mendengar itu, Kian tersenyum tipis, namun terkesan meremehkan. "Sulit bagi siapa? Bagi Liliane? Atau bagi dirimu yang ikut serta dalam menyembunyikan keberadaannya dariku selama ini?"
Takeshi tetap tenang. Ia berusaha tidak terpancing oleh emosi Kian yang menggelora. "Sulit bagi Kin. Kau pikir dia membutuhkan seorang pria asing yang tiba-tiba mengaku sebagai ayahnya setelah lima tahun menghilang?"
Kian tidak bergeming. Benar, apa jadinya jika Kin tahu bahwa ia ayahnya? Apakah anaknya itu akan mempertanyakan ketidakhadirannya dalam hidup Kin selama ini?
"Aku tidak peduli seberapa lama waktu berlalu, darah tetaplah darah. Dan aku tidak pernah menghilang—kalian yang mencuri waktu dariku."
Takeshi menatap Kian lebih tajam. Ia tak menyangka bahwa berdebat dengan Kian tak akan pernah ada ujungnya. "Kau menganggap ini pencurian? Tidak, Marchetti. Ini perlindungan. Sesuatu yang kau bahkan tak tahu cara melakukannya."
Kian terkekeh pelan, tetapi tidak ada humor di dalamnya. "Perlindungan?"
Ia melangkah lebih dekat, suara rendahnya penuh dengan ancaman dingin. "Kau pikir dunia yang kau ciptakan untuknya lebih aman dari dunia yang aku jalani? Jangan munafik, Takeshi. Aku tahu betul siapa dirimu."
Takeshi tidak gentar, tidak juga tersulut emosi. Ia membalas dengan nada yang sama datarnya. "Lalu kau juga tahu bahwa aku tak akan membiarkanmu menyentuh hidupnya begitu saja."
Kian mengangkat alis, sinis. "Dan bagaimana kau berencana menghentikanku? Dengan membuangku keluar seperti seorang tamu tak diundang? Apakah dengan begitu aku akan menyerah dan berhenti?"
Tawa sinis kembali terdengar. "Ayolah, Takeshi. Jangan sok suci. Pada dasarnya kita adalah golongan yang sama. Aku tak pernah memilih menjadi don dalam klan II Fero. Dan aku yakin kau juga tidak pernah berkeinginan menjadi oyabun pada Kagutsuchi-gumi. Keadaan yang membuat kita ada dalam lingkaran ini."
"Aku mungkin bersalah di masa lalu, Takeshi. Aku menghancurkan hidup orang yang sangat kucintai demi membalaskan dendam klan mafia yang kupimpin. Aku menuntaskannya, karena kupikir dia pengkhianatnya."
"Bukankah kau juga pernah mengalami hal serupa, Takeshi? Kau seharusnya tahu kondisiku." Lanjut Kian dengan nafas yang memburu.
Takeshi tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya lama sebelum akhirnya berkata dengan nada tenang tetapi penuh ketegasan. "Jangan samakan aku dengan dirimu. Kita jelas berbeda."
"Dan jika aku perlu mengusirmu agar membuatmu pergi dari sini, maka aku akan melakukannya." Ucap Takeshi setelahnya.
Kian tersenyum kecil, tetapi dingin. Ia melangkah mundur sedikit, seolah menilai pria yang berdiri di hadapannya. Lalu, dengan suara yang nyaris terdengar seperti perintah, ia berkata. "Aku akan tetap di sini."
Takeshi tidak membalas, hanya menatapnya dalam keheningan yang menegangkan.
Kian menggeser pandangannya ke pintu ruang perawatan Kin, lalu kembali menatap Takeshi. "Aku tidak peduli seberapa banyak orang yang kau panggil untuk menyeretku keluar. Aku tidak akan pergi. Aku akan menunggu di sini, selama yang diperlukan."
Takeshi mendesah pelan, tetapi ekspresinya tidak berubah. Ia tahu Kian bukan pria yang bisa dipaksa pergi begitu saja.
"Lakukan sesukamu," kata Takeshi akhirnya. Bukannya ia menyerah, tapi ia ingin tahu seberapa teguh pendirian Kian.
"Tapi jangan pernah berpikir bahwa ini berarti aku merestui kehadiranmu." Lanjut Takeshi.
Kian tidak menjawab, hanya tersenyum tipis dan kembali memasukkan tangannya ke dalam saku celana. Ia bersandar ke dinding, tatapannya lurus ke depan, penuh kesabaran yang dingin.
Takeshi menatapnya sekali lagi sebelum akhirnya berbalik menuju ruangan Kin, meninggalkan Kian yang tetap berdiri di tempatnya, tanpa niat sedikit pun untuk pergi.[]
***
seruny......
nyesel klo g baca karya ini