Bayu, seorang penyanyi kafe, menemukan cinta sejatinya pada Larasati. Namun, orang tua Laras menolaknya karena statusnya yang sederhana.
Saat berjuang membuktikan diri, Bayu tertabrak mobil di depan Laras dan koma. Jiwanya yang terlepas hanya bisa menyaksikan Laras yang setia menunggunya, sementara hidup terus berjalan tanpa dirinya.
Ketika Bayu sadar dari koma, dunia yang ia tinggalkan tak lagi sama. Yang pertama ia lihat bukanlah senyum bahagia Laras, melainkan pemandangan yang menghantam dadanya—Laras duduk di pelaminan, tetapi bukan dengannya.
Dan yang lebih menyakitkan, bukan hanya kenyataan bahwa Laras telah menikah dengan pria lain, tetapi juga karena pernikahan itu terpaksa demi melunasi hutang keluarga. Laras terjebak dalam ikatan tanpa cinta dan dikhianati suaminya.
Kini, Bayu harus memilih—merebut kembali cintanya atau menyerah pada takdir yang terus memisahkan mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Mengabaikan
Ballroom yang tadinya penuh canda tawa berubah sunyi setelah Laras mengungkap sisi gelap Edward. Semua mata tertuju pada pria itu, menunggu reaksi yang akan ia berikan. Edward memang terkejut, tapi bukan orang seperti dia jika tak bisa membalikkan keadaan.
Dengan ekspresi kecewa, Edward menatap Sherin. “Sherin, kamu percaya padaku, 'kan? Aku nggak seperti yang Laras tuduhkan…”
Sherin mengangguk cepat. “Aku percaya, Kak Laras pasti salah paham! Kakak nggak tahu seperti apa Edward sebenarnya!”
Laras menatap adiknya dengan putus asa. “Sherin, buka matamu! Edward cuma memanfaatkanmu untuk balas dendam karena aku menolaknya!”
“Cukup!” Sherin membentak, matanya penuh amarah. “Kakak hanya iri karena Edward lebih memilih aku!”
Laras terperanjat. “Iri?”
“Iya! Dari awal Kakak memang selalu merasa lebih baik dariku! Kakak nggak suka melihat aku bahagia, 'kan? Itu sebabnya Kakak menghancurkan hubungan kami di depan semua orang!”
Laras hampir tak percaya dengan kata-kata adiknya sendiri. “Sherin… bukan itu maksudku…”
Tapi Sherin tak mau mendengar. Ia berlari mengejar Edward yang sudah beranjak pergi. Di luar ballroom, Edward menghentikan langkahnya saat Sherin menarik lengannya.
“Edward, tunggu! Jangan pergi… aku tahu Kak Laras hanya ingin mempermalukanmu… Aku percaya padamu,” lirihnya dengan penuh keyakinan.
Edward menarik napas panjang, lalu memegang wajah Sherin dengan lembut. “Sherin… aku mencintaimu.”
Sherin tersentak, matanya membesar. “K-Kamu serius?”
“Ya. Tapi selama ada Laras, aku nggak bisa mendekatimu. Dia selalu mencari cara untuk membuatku terlihat buruk. Aku nggak mau kamu menderita karena pertengkaran ini…”
Sherin menggenggam tangan Edward erat. “Aku akan membuktikan pada Kak Laras kalau dia salah. Aku akan membelamu.”
Edward tersenyum tipis, lalu mengecup kening Sherin dengan lembut sebelum berbalik pergi. Sherin tetap berdiri di tempatnya, hatinya dipenuhi tekad untuk melawan Laras.
Sementara itu, Laras berdiri di pintu ballroom, menyaksikan semua itu dari kejauhan. Rahangnya mengeras. Edward berhasil memainkan kartunya dengan sempurna. Kini bukan hanya Edward yang menjadi musuhnya, tapi juga adiknya sendiri.
Malam itu, perang dingin di antara mereka resmi dimulai.
***
Laras menatap bayangannya di cermin kamar. Matanya sembab, bukan karena menangis, tetapi karena kelelahan menghadapi keluarganya sendiri. Setiap kata yang ia ucapkan untuk memperingatkan Sherin hanya dibalas dengan kemarahan. Setiap usaha yang ia lakukan untuk membuka mata orang tuanya hanya membuatnya semakin dianggap sebagai musuh.
Untuk apa?
Mereka sudah memilih untuk percaya pada Edward. Mereka sudah memutuskan bahwa dirinya adalah penghalang kebahagiaan Sherin.
Laras menghela napas panjang. Setelah berpikir dengan tenang, ia akhirnya menyadari satu hal—semakin ia menentang hubungan Edward dengan Sherin, semakin pria itu menikmati permainannya dan semakin mempermainkan keluarganya, terutama Sherin.
Ia turun ke ruang makan dengan langkah ringan, tidak seperti biasanya yang selalu dipenuhi ketegangan. Wati dan Darma sedang sarapan, sementara Sherin duduk di samping ibunya, asyik membalas pesan di ponselnya—mungkin dari Edward.
Biasanya, Laras akan memulai perdebatan. Akan ada ucapan sarkastis atau tatapan tajam untuk menunjukkan ketidaksukaannya pada pria itu. Tapi hari ini, ia hanya mengambil roti dari atas meja, mengolesinya dengan selai, lalu duduk tanpa sepatah kata pun.
"Apa?" tanya Sherin, menyadari sikap Laras yang aneh.
Laras mengangkat bahu. "Nggak ada," jawabnya santai, lalu melanjutkan makannya.
Wati meliriknya dengan curiga. "Tumben diem. Biasanya juga nyinyir."
Laras hanya tersenyum kecil. "Capek ngomong."
Sherin mendengus. "Mungkin dia akhirnya sadar kalau aku dan Edward itu beneran serius," katanya dengan nada puas.
Laras tetap tidak bereaksi. Ia hanya mengunyah rotinya dengan tenang, sesekali menyesap kopinya. Ia tidak peduli lagi. Biarkan saja.
Darma ikut tersenyum, merasa menang. "Baguslah kalau kamu sudah bisa menerima kenyataan, Laras. Edward pria yang baik, kamu aja yang nggak bisa lihat."
Laras menatap ayahnya sekilas, lalu kembali memotong rotinya dengan santai. "Iya, mungkin aku yang salah selama ini," katanya datar.
Sherin dan ibunya bertukar pandang, seolah tak percaya bahwa Laras begitu mudah menyerah. Biasanya, kakaknya akan mati-matian membantah. Tapi kini? Laras hanya tenang, tidak ada amarah, tidak ada perlawanan.
"Syukurlah kalau kamu sudah sadar, Laras," ucap Wati, tersenyum puas. "Nggak ada gunanya terus-terusan melawan."
Laras mengangguk kecil. "Ya. Nggak ada gunanya."
Setelah selesai makan, ia berdiri, merapikan piringnya, lalu mengambil tasnya. "Aku kerja dulu," katanya singkat sebelum pergi.
Sherin menatap punggung Laras dengan mata menyipit. Ada sesuatu yang aneh. Kakaknya bukan orang yang gampang menyerah begitu saja. Tapi jika Laras benar-benar berhenti peduli… bukankah itu berarti tak akan ada drama yang memalukan lagi?
***
Edward duduk di dalam mobilnya dengan wajah tegang. Tangannya mengetuk-ngetuk setir, matanya menatap kosong ke arah restoran tempat ia baru saja mengajak Sherin makan malam. Gadis itu masih di dalam, sibuk mengunggah foto mereka ke media sosial dengan caption berbunga-bunga tentang betapa romantisnya malam ini.
Biasanya, di titik ini, Laras sudah akan muncul—menatapnya dengan sinis, mengeluarkan kata-kata tajam, atau bahkan menyerangnya di depan umum seperti terakhir kali.
Tapi sudah beberapa hari ini… tidak ada reaksi.
Tidak ada kemarahan, tidak ada sarkasme, tidak ada usaha untuk menghentikan hubungannya dengan Sherin. Laras bahkan tak terlihat peduli.
"Menjauh gitu aja?" gumamnya sambil mendengus. "Dasar wanita membosankan."
Ia meraih ponselnya, membuka Instagram Sherin, lalu menggulir ke kolom komentar. Tidak ada satu pun komentar dari Laras. Bahkan, Laras sepertinya tak pernah melihat postingan adiknya sama sekali.
Ini menyebalkan.
Edward tidak mendekati Sherin untuk benar-benar menjalin hubungan. Sherin hanya alat untuk membuat Laras bereaksi. Tapi kalau Laras benar-benar tidak peduli… apa gunanya semua ini?
Ia menyalakan mesin mobilnya, lalu menarik napas panjang. Oke. Kalau Laras tak mau terpancing, ia hanya perlu menaikkan level permainan.
Keesokan Harinya
Laras duduk di ruangannya, sibuk meneliti laporan keuangan perusahaan klien. Kopinya sudah dingin, tapi ia tidak peduli. Sudah seminggu lebih ia berhenti memikirkan Edward dan keluarganya. Dan ternyata, hidup jauh lebih tenang tanpa drama itu.
Ketika ponselnya berbunyi, ia sekilas melirik layar. Nomor tak dikenal.
Ia mengabaikannya.
Tapi tak lama, pesan masuk.
"Ada kejutan buatmu di lobi kantor."
Laras mengernyit. Siapa?
Rasa penasaran akhirnya membuatnya berdiri. Ia berjalan ke arah lobi, dan begitu melihat ke luar gedung kaca kantornya, ia langsung mendesah panjang.
Di sana, Edward berdiri dengan percaya diri. Senyum khasnya yang licik terukir di wajahnya. Tapi yang lebih mengganggu adalah sosok di sampingnya—Sherin, yang terlihat begitu bahagia sambil memamerkan sebuah gelang emas di pergelangan tangannya.
Beberapa rekan kerja Laras berbisik-bisik, jelas mengenali Edward sebagai pria kaya dan berpengaruh.
Laras mendesah. Oh, jadi ini langkah berikutnya? Menciptakan drama di tempat kerjanya?
Alih-alih mendekati mereka, Laras hanya berbalik, berjalan kembali ke dalam kantor tanpa ekspresi.
Edward yang melihat itu menggeram pelan.
"Lihat tuh!" Sherin menyikutnya. "Kak Laras bahkan nggak marah. Mungkin dia akhirnya sadar kamu milikku."
Edward menatap punggung Laras yang menghilang di balik pintu kaca dengan mata menyipit. Tidak. Ini bukan Laras yang menyerah. Ini Laras yang sedang mengabaikannya.
Dan itu jauh lebih menyebalkan.
***
Boni duduk sendiri di ruang keluarga, punggungnya bersandar pada sofa tua yang mulai kehilangan empuknya. Tangannya menggenggam ponsel, sementara tatapannya terpaku pada layar yang menampilkan saldo tabungannya. Angka yang tertera di sana membuat dadanya terasa semakin sesak.
Ia menghela napas panjang, lalu menunduk, menatap kakinya yang masih terbungkus gips. Satu bulan lebih sejak kecelakaan itu, tapi rasanya seperti bertahun-tahun ia terjebak dalam kondisi ini—tak bisa bekerja, tak bisa bergerak bebas, dan hanya bisa melihat uangnya menguap untuk kebutuhan sehari-hari dan cicilan pegadaian.
"Sial…" gumamnya lirih.
Ia memijat pelipisnya, mencoba mengusir kecemasan yang terus menghantui pikirannya.
"Jangankan buat nebus rumah, buat makan aja saldo terus berkurang."
Jari-jarinya dengan ragu menyentuh layar, menghitung sisa waktu sebelum tenggat cicilan berikutnya.
"Kalau terus begini, sebelum aku bisa cari uang lagi, rumah ini bakal disita bank."
Ia menggenggam ponsel lebih erat, rahangnya mengeras.
"Harus cari cara. Harus ada jalan keluar."
Namun, dalam keadaan seperti ini, apa yang bisa ia lakukan?
...🍁💦🍁...
.
To be continued